Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Halo Apa Kabar? Masih Sehat kan? [Sebuah Rasan-rasan]

29 September 2020   10:14 Diperbarui: 29 September 2020   10:20 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali ke Jakarta setelah dua tahun menziarahi Yogyakarta menimbulkan macam-macam rasa yang ganjil. Perasaan bersemangat dan rindu yang aneh setiap kali menjejak ibu kota memang seketika menguap bersama hembusan kencang khas angin pancaroba.

Mungkin benar kata sebagian orang, bahwa setiap hal di dunia ini semua tentang timing. Mungkin pemilihan waktu saya untuk kembali ke kota yang saya sukai sekaligus tak saya sukai ini memang tak tepat. Tapi manusia sejatinya menjalankan lakonnya dalam hidup dengan berjalan beriringan bersama waktu, jadi masa yang menurutku tak tepat ini pun mungkin sudah tepat menurutNya. Hanya saja saya tak tahu dan tak mau tahu akan hal itu.

Di tengah pandemi tak berkesudahan ini, banyak yang menginginkan untuk bisa melewati fase tahun 2020. Banyak yang berandai-andai bisa bangun pagi dengan bugar dan berada pada rentang masa di mana pandemi tidak pernah ada di bumi.

(Hampir) tidak ada yang tidak menderita di tengah kepungan Covid-19. Hantaman bertubi-tubi harus diterima oleh hampir semua orang di hampir semua sektor pekerjaan. Mimpi-mimpi yang dirajut perlahan pun tak kuasa lagi dilanjutkan menjadi jalinan indah seperti dalam bayangan. Manusia seolah hanya berusaha bertahan sehat untuk hari ini, Kembali bangun pagi dengan sisa senyuman yang dipaksakan dan bertahan lagi untuk satu hari berikutnya. Siklus pahit yang terpaksa harus diulang agar tetap bisa menjadi penyintas yang memenangkan pertempuran tak berkesudahan.

***

Ahh, seperti biasa saya kembali meracau. Mari kita lanjutkan saja curhatan nir faedah ini supaya njenengan semua bisa kembali meneruskan aktivitas-aktivitas pentingnya. Itu pun juga kalau ada yang kurang kerjaan mampir membaca ke sini hehe.

Di masa awal-awal pandemi, sekitar bulan maret lalu saya masih sok sibuk di Jogja. Karena kebijakan perkuliahan dialihkan hanya lewat system luring, maka saya pun pulang kampung di rumah orang tua. Masa-masa awal untuk mulai beradaptasi, sekolah dari rumah, kerja dari rumah, memakai masker Ketika hendak keluar rumah dan buru-buru cuci tangan setelah selesai berkegiatan. Tak ada yang terlalu sulit saat itu. Semua dijalani dengan membiasakan diri. Agak repot, tapi ya sudah mari kita jalani saja. Begitulah dulu niatan dalam ingatan.

Sementara itu, diberlakukannya PSBB di Ibu kota selama berbulan-bulan, yang kemudian disusul dengan era normal baru yang digadang-gadang akan kembali membuat ekonomi bergeliat hanya saya lihat, saya dengar, dan saya baca dari kejauhan. Saya tahu itu, tapi saya "berjarak" dengan situasi ini. Saya berpendapat, ya Jakarta sama saja dengan kota-kota lainnya, sama-sama sedang berusaha menata hidup baru dengan adaptasi dari para penghuninya.

Hingga saat ini pun tiba, saya harus kembali lagi menjadi jakartans. Manusia-manusia yang menyesaki setiap jengkal tanah Ibu kota demi alasan klise biar bisa tetap makan. Akhirnya saya merasakan juga apa yang selama ini hanya saya ketahui dari kejauhan itu. Betapa situasi pandemi yang seolah-olah diberitakan dengan hiperbola itu nyata adanya, tepat di hadapan saya.

Bukan karena sebelumnya saya tak percaya dengan adanya pandemi ini. Saya termasuk orang yang ketat menerapkan protokol kesehatan, bahkan terkadang cenderung berlebihan. Hanya saja selama menetap di kota pelajar, suasana tak banyak berubah. Pusat perbelanjaan tetap buka, kafe dan tempat nongkrong pun tetap ramai dengan para muda mudi yang duduk manis di depan laptop sembari nunut wifi gratisan, hanya kampus yang tampak sepi karena system perkuliahan dialihkan dalam jaringan dan malioboro yang sedikit lengang tanpa hadirnya wisatawan. Selebihnya Jogja masih seperti sedia kala, sebuah kota yang kental dengan aroma nostalgia dan wangi kenangan. Tak ada kekhawatiran dan batasan sosial yang menyadarkan bahwa sebuah ancaman sedang mengintai di sekeliling, tanpa tahu kapan ia akan menyambangi mereka yang tengah bahagia di tengah gelak tawa.

***

Persepsi indah itu pun akhirnya ambyar seketika. Belum ada sehari saya menjejak tanah Batavia, tempat saya harus kembali bergiat menjadi pekerja ditutup sementara. Beberapa rekan terkonfirmasi positif Covid 19. Hal ini membuka alam kesadaran bahwa ya benar pandemi ini nyata dan benar-benar ada di hadapan saya. Sialnya, jumlah tak semakin menurun meski masih tetap harus bersyukur karena semua kenalan yang pernah terinfeksi perlahan berangsur pulih dari sakitnya. Meski tetap saja ada yang harus pergi untuk selamanya.

Bukan hendak menyalahkan keadaan, tetapi untuk diketahui saja beberapa rekan yang terkena justru adalah orang-orang yang terkenal patuh menjaga diri. Hanya saja akibat keegoisan orang-orang di sekitar yang terlampau abai dan meremehkan penyakit ini, mereka pun ikut menanggung dampaknya. Dampak yang nyata dirasakan tak hanya oleh orang yang sakit, tetapi juga keluarga, dan orang-orang yang berada pada lingkar pergaulan mereka.

Mau tak mau saya harus setuju, bahwa Covid-19 bukanlah penyakit individual, melainkan penyakit komunal. Tak ada dampak tunggal akibat penyakit ini. Ia serupa pin bowling yang Ketika jatuh akan menyenggol pin-pin di sekitarnya, dan strike semua pun berhamburan.

***

Kembali pada waktu sekarang. Kebetulan saya tinggal tak jauh dari sebuah rumah sakit daerah yang menjadi rujukan pasien Covid-19. Suara sirine ambulans yang meraung terdengar lebih sering, apalagi jika kondisi sekitar sedang sepi. Bukan hendak menebar terror dan menciptakan keresahan, hanya saja ini serupa alarm yang mengingatkan saya bahwa virus ini masih ada, ia masih sama bahayanya dengan ia 7 bulan yang lalu.

Musuh kita belum kalah, tetapi kita sudah mencoba melupakannya begitu saja. ublic lagi semangat mencuci tangan dengan sabun seperti dulu, bahkan wastafel portable yang dulu disediakan hampir di tiap-tiap rumah tangga dan fasilitas umum pun sudah mulai mangkrak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jangan bilang tentang jaga jarak, karena toh keadaannya di beberapa ruang ublic masih jamak ditemukan manusia yang berjubel. Dan poin memakai masker, sepertinya harus dikembalikan pada hati Nurani masing-masing pemakainya. Apakah masker sekadar aksesori, atau masker diibaratkan sebagai perisai yang melindungi diri dari operasi yustisi, atau masker memang mutlak diperlukan untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab masing-masing dan tidak ada contekannya.

Saya tidak tahu pasti apakah penerapan PSBB jilid kesekian yang diarahkan bisa mengendalikan laju pertumbuhan penyakit itu benar-benar efektif sebagai langkah mitigasi. Di saat kondisi kesehatan masyarakat berada dalam kondisi kepasrahan, ekonomi pun tak nampak bertambah dan bertumbuh dengan baik. Sebagai awam saya hanya bisa bergumam. Mana yang lebih penting, menyelamatkan kesehatan manusia sebagai asset sumber daya yang nantinya akan menggerakkan roda ekonomi, atau memaksa roda ekonomi terus berjalan meski sangat tertatih dan cenderung mundur karena motor penggeraknya perlahan dan pasti terus berjatuhan. Mungkin hanya para cerdik cendekia yang mulia yang bisa menjawabnya.

***

Sudah seribu karakter. Sebaiknya saya sudahi saja semua rasan-rasan ini. sebelum undur diri, izinkan saya bertanya kabar. Masih sehat-sehat kan semua? Semoga kita senantiasa diberi waktu dan tenaga untuk terus menjaga kesehatan kita dan orang-orang di sekitar kita. Semangat dan harapan memang harus terus dipupuk di tengah deraan coba yang bertubi-tubi, tetapi jangan pernah kebablasan hingga menjadi ilusi memabukkan yang kelak membunuh semuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun