Berbicara tentang toleransi akhir-akhir ini memang sangatlah menarik. Banyak hal yang bisa diangkat kembali untuk mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan negara dari segala perpecahan yang mungkin saja terjadi akibat banjir hoax, provokasi, sebaran dan ujaran kebencian yang makin hari makin menjadi. Tak ada lagi ruang dan waktu tersisa untuk sekedar mencerna apalagi cross check berita.
Semua hal harus segera disebarkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Benar dan tidak adalah urusan belakangan, yang penting cepat bung dan nona. Ingat ini revolusi!!!! Ho oh..revolusi dengkulmu mlocot itu.
Uhuk..oke baiklah, paragraph awal sudah terlihat agak intelektual dengan gaya bahasa mbulet yang selalu disukai tiap insan penghamba kecerdasan. Karena tulisan ini diniatkan untuk ikut memeriahkan lombanya planet kenthir, maka tak elok rasanya apabila terlalu  lama mengumbar kewarasan. Agar tak makan durasi, maka kita mulai saja dari sekarang..cekitcrot
***
Hening sejenak….
Kemudian hening lebih lama….
Sompret juga nih yang bikin lomba, udah disambi bolak balik ngemil makan kuaci, baca komik, nonton film horror, benerin genteng tetangga sampai ikutan mukulin maling jemuran tetap saja ide tak ada yang mau hinggap di kepala. Lagian bikin tema tulisan lomba juga kenthir bener sih, masak iya kita disuruh nulis toleransi dengan rasa kenthir, mesti bagaimana coba.
Tapi baiklah daripada menang-gung malu, mau tak mau harus saya teruskan cerita ini sampai tuntas tak bersisa dan diakhiri dengan memenangkan hadiah utama. Beneran koq, sekarang udah masuk intinya, kalau ndak percaya ya sudah, dilanjut aja bacanya oom tante.
***
Kisah yang sudah layak masuk museum ini terjadi waktu saya masih nyantrik di sebuah kota yang mendapat julukan sebagai kota pelajar. Sebagai manusia perantauan yang bukan anak mafia kaya raya, apalagi koruptor kelas tongkol, tentu saja saya mesti rela jadi cah kos. Demi ngirit ongkos dan sangu yang jumlahnya tak seberapa, saya juga harus cerdik dalam memilih tempat kos dengan harga terjangkau. maka pilihan akhirnya jatuh pada sebuah rumah tua yang jika sekilas dilihat dari depan lebih mirip  gudang suwung yang tak berpenguni (kemudian salim sungkem sama mantan ibu kos).
Tapi falsafah jawa kuno, don’t judge the books by it’s cover benar-benar diejawantahkan dalam kos saya ini. Penampilannya yang nampak terlalu bersahaja dari luar, ternyata menyimpan mutiara manikam yang tak ternilai harganya di dalam.
Bagian dalam rumah kos kami lumayan besar. Total ada lebih dari 30 kamar, dengan 6 kamar mandi, dimana 1,5 diantaranya tidak bisa dipakai. Kalau bingung kenapa ada bilangan setengah disini, berarti njenengan memang kurang lantip dalam berimajinasi.
Ngko sik sebentar. Ini koq saya malah cerita kondisi kamar mandi to, lha terus cerita toleransinya ada dimana? Aishh..ini juga, njenengan itu mainstream, tipikal priyayi kebanyakan yang ndak sabaran. Pinginnya koq semua hal harus ada korelasinya, padahal kan memang iya ya.
***
Dengan rasio seperti itu, otomatis kamar mandi bisa berubah menjadi padang kurusetra ketika jam kuliah pagi, apalagi semua penghuni yang bergender perempuan dikenal lebih ribet dan makan waktu dalam ritual bebersih diri. Tapi apa yang terjadi? Selama kurun waktu setengah dasawarsa mondok disana, belum pernah ada kejadian cakar-cakaran dan jambak-jambakan gara-gara rebutan kamar mandi.
Ketika rush hour dan semua ingin jadi yang nomor satu masuk kamar mandi, seketika itu pula roh tepa selira merasuk ke dalam sukma masing-masing. Alih-alih rebutan, yang terjadi malah saling menyilakan. Ndak yang sepuh maupun yunior. Supaya ndak chaos setelah itu, ya tinggal nitip perkakas mandinya di dalam, sekaligus buat penanda bahwa ini kamar mandi ada yang ngantri lho.
Oh ya, biar acara nunggunya tidak membosankan, biasanya kita duduk bareng di lincak panjang dekat sumur dengan muka rembes berkalung handuk. Ada yang ngerumpi, njahilin yang lagi nyuci, nunut nonton gossip di tivi, baca komik yang sudah diulang lima kali, telpon pacar, sampai acapella ndangdutan versus campursari. Bagi yang diberi kesempatan mandi duluan pun tidak akan memanfaatkan dengan tidak bertanggung jawab. Mereka akan mandi dengan cepat, ringkas, mangkus sakil pokoknya. Sungguh guyub rukun dan menyenangkan sekali saat melempar kenangan ke masa itu, semua bisa terjadi karena sebuah hal, toleransi.
***
Kalau toleransi dikaitkan dengan perkara mandi hanya dianggap remeh, maka kita meningkat ke hal yang lebih seriyes, ibadah. Ini perkara yang ndak sepele kakak dan adek semua, ini perkara mutlak, yang sekarang kerapkali jadi muara keributan. Jadi begini, masih nyambung dengan cerita di atas. Kos kami yang berisi tiga puluhan lebih manusia berwujud perempuan itu terdiri dari berbagai ragam suku dan agama. Bayangkan dulu pelan-pelan ya dek, sudah? yakin mudeng kan maksud saya?
Nah, saat ramadhan tiba, mayoritas penghuni yang beragama islam pun merayakannya dengan suka cita. Dari sahur bareng, buka bareng sampai tarawih bareng. Yang menarik disini adalah saat sahur dan berbuka. Rata-rata kami yang puasa, tidak ada yang memasak di kos, jadi kami pergi ke warung untuk membeli makanan. Beberapa yang tidak beragama islam pun seringkali ikut makan bareng, bahkan di saat sahur sekalipun, meski harus berjuang untuk bisa melek pagi. Tak hanya sampai disitu, kadang mereka malah membelikan makanan berbuka yang dibagi-bagikan untuk teman-temannya di kos. Sebagai tambahan info saja, meskipun sama-sama muslimah, tapi kadar kealiman kami pun berlainan. Meski begitu, yang level paling alim pun akan dengan sangat menerima dengan tangan terbuka segala hal yang diberikan oleh temannya yang berbeda keyakinan. Kami biasa makan bersama, dengan piring dan gelas yang dicuci bareng-bareng dari sumur yang sama, di bawah atap rumah yang sama pula. Hal nikmat mana lagi yang hendak kami dustakan.
Itu soal ritual makan di bulan ramadhan. Untuk hal ibadah rutin shalat, teman yang berlainan agama pun tak segan mengingatkan kami agar segera menunaikan shalat sebelum habis waktunya. Begitu pun sebaliknya, saat yang beragama lain sedang khusyu beribadah, kami yang mayoritas akan menghormatinya tanpa pernah berusaha untuk mengganggu apalagi merusak dan membuat propaganda-propaganda busuk agar mereka dikeluarkan dari lingkungan.
Ngerti maksud saya kan dek? Iya kamu itu lho yang dari tadi sudah berkerut-kerut pingin ngamuk gara-gara baca ini. gini ya dek, kami itu berteman, bersahabat, saling menyayangi, bukan atas dasar persamaan suku, agama, ras, antar golongan, antar kota antar propinsi atau antar-antar yang lain. Kami saling mencintai atas dasar kemanusiaan. Titik.
Jadi kalau adek belum sanggup mencintai manusia lain yang adek anggap berbeda alias liyan, mungkin saja karena adek belum utuh mewujud dalam sosok manusia, masih embrio berkecambah, gitu aja wis. Kemudian diserbu dedek-dedek gemez, terus kasih peluk cium pakai parutan kelapa.
***
Sebenarnya masih banyak yang bisa diceritakan tentang indahnya toleransi. Tapi karena tadi terlalu banyak intro basa-basi yang ndak mutu, maka saya cukupkan dulu sampai disini. Mungkin lain kali bisa saya sambung lagi kalau tulisan saya yang ini dimenangkan oleh dewan juri yang terhormat. Nyengir dulu.
Meski ndak tergolong dalam mahluk yang relijiyes, perkara berdoa bukanlah hal yang asing bagi saya. Namun begitu, berdoa untuk kebaikan negeri tetap saya rasa sebagai hal yang terlalu hiperbola. Tetapi, menillik kondisi sekarang, doa itu selalu saya sertakan hampir dalam setiap kesempatan. Terserah orang lain menganggap saya lebay, katrok, paranoid, paranormal bahkan parabola sekalipun saya tetap berpendapat bahwa bangsa dan negara kita sudah krisis toleransi.
Saya tak akan membatasi saja terhadap toleransi beragama, Karena kenyataan sekarang kita mudah sekali tersulut dengan segala sesuatu hal hingga yang remeh temeh sekalipun. Pokoknya saat manusia lain berbeda dengan kita (apapun itu perbedaannya) maka dia tak masuk dalam golongan kita. Jika manusia itu sudah tidak masuk dalam golongan kita, maka manusia itu boleh kita eliminir, kita kasih koper naik panggung kemudian kita suruh dadah-dadah ke penonton. Sebagai penutup, agar terkesan sebagai kaum kenthir bermartabat, maka akan saya panjatkan sebuah munajat panjang.
Semoga semua kekhawatiran saya tidak akan terjadi, semoga Indonesia tetap akan merawat kebhinekaan hingga akhir zaman. Semoga toleransi tidak hanya berhenti dalam ucapan lisan, namun diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan. Semoga kenangan kejayaan nusantara yang termasyhur berabad lampau mampu menjadi nostalgia indah untuk tetap mempertahankan ibu pertiwi dengan segala keindahan dan keberagamannya. Semoga Garuda Pancasila tetap tegar, kukuh dan kuat mencengkeram pita putih yang makin lama makin terasa memberatkan dan Semoga Gusti Allah Sang pemilik jagad semesta ini selalu melindungi langkah negeri ini…aamiin.
***
Akhir kata semoga planet kenthir lain kali mikir panjang kalau bikin tema lomba, jangan sulit-sulit gini duonk, bikin jiper ngokkk…. Terus diglundhungke juri ke got.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H