Dengan jiwa yang masih shock, saya segera mengisi formulir pembatalan, kemudian clingak-clinguk hunting tempat duduk. Tapi mendadak saya ingat, bahwa saya belum ngambil nomor antrian yang mesinnya tertutup sempurna oleh kerumunan massa. Begitu dapat nomor, saya tambah bengong, dengkul mendadak lemas dan hati gundah gulana. Bagaimana tidak, lha wong antrian saya 250 sekian, yang dipanggil sekarang baru 120 sekian. Wah bisa langsing saya kalau nunggu kaya gini.
Bersyukurlah, mungkin karena berkah puasa, saya mendapat tempat duduk. Sebenarnya saya mau pulang saja, tapi karena kepalang tanggung, saya harus tegar dan tetap fokus pada tujuan. Setelah entahlah berapa jam saya menunggu, tiba juga giliran saya. Dan Alhamdulillah, semua urusan bisa terselesaikan.
Jadi, begitu curhatan saya wahai PT. KAI. Mungkin kemarin itu pihak stasiun ndak bakal menduga kalau yang mau mbatalin tiket bisa segitu banyaknya. Sayangnya, dengan kondisi yang demikian, para petugas disana seperti kalah greget dengan kerumunan. Tidak semua yang datang untuk membatalkan tiket itu sudah tahu bagaimana prosedur yang harus dijalani. Mbok ya mas-mbak nya itu proaktif dan agak galakan dikit biar semua lebih tertib.
Sebagai contoh, ya itu tadi. Harusnya begitu masuk ke sana, orang-orang itu ditanya keperluannya, kemudian diarahkan untuk mengambil nomor antrian di tempat yang disediakan. Kemudian diberitahu juga untuk mengisi formulir dan persyaratan lain berupa fotokopi identitas. Karena ada beberapa orang sebelum saya yang ternyata hanya mengambil nomor saja. Akibatnya ketika sudah mendapat giliran maju ke loket masih harus mengisi formulir. Dan itu lama sekali saudara, dan itu artinya kasihan yang dapat giliran setelahnya.
Okay, sebenarnya mbak petugas sudah tidak kurang-kurang dalam memberitahukan prosedur, baik pembelian maupun pembataan tiket lewat corong pengeras suara. Tapi PT. KAI pasti mengerti kan, kalau kebiasaan orang-orang itu suka cuek dengan sesuatu yang tidak secara langsung berdampak pada dirinya sendiri.
Saya sempat mengobrol dengan salah satu calon penumpang. Beliau datang jauh-jauh dari depok sejak pagi. Tapi gara-gara ndak tahu mesti ngambil nomor antrian, akhirnya ya dapat nomor lebih buntut dari saya. Kata beliau sih, untung masih suasana ramadhan, jadi orang-orang masih kulakan stock sabar, kalo ndak, widih saya ndak bisa mbayangin, mesti jadi agak ruwet deh.
Akhir kata, surat cintanya tak cukupkan sekian ya. buat PT. KAI, kalau bisa mbok dipertimbangkan lagi untuk mengaktifkan seluruh stasiun on-line nya sebagai tempat pembatalan tiket seperti yang sudah pernah dilakukan dulu. Mbak-mas nya di loket ndak kerepotan sampai keringetan dengan klien yang membludak, calon penumpang juga ndak repot antri panjang dan jauh ke stasiun. Lha syukur-syukur kalau bisa dilakukan lewat internet gitu hehehe.
Sudah dulu ya, semoga PT. KAI ndak marah dengan kritik dan saran tak bermutu saya. Semoga pelayanan perkeretaapian Indonesia semakin maju dan membuat semakin banyak orang mencintai sepur dan PT. Kereta Api Indonesia tentunya.
Salam semboyan 35, tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H