***
“Rahmi, spanduk yang kita buat kemarin kamu simpan dimana?”
Tersentak Rahmi dari lamunan panjangnya mendengar panggilan Nastiti. Seketika ia kembali ke alam nyata kesadarannya.
“Iya Ti, kuwi di bawah tumpukan kasur lipat” jawab Rahmi
“Tak ambil ya, biar nanti semuanya terkumpul jadi satu, gak kececeran”
“he em, aku tak nerusin makan dulu, nanti segera nyusul kesana” Rahmi menjawab sambil bergegas menghabiskan nasi di piringnya
***
Hari ini, entah sudah berapa kali mereka akan meneruskan perjuangan. Sudah hampir dua tahun Rahmi dan kawan-kawannya sesama ibu-ibu petani desa ini memutuskan tinggal di tenda terpal yang mereka buat bersama –sama untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tak akan menyerah. Mereka tak peduli lagi dengan cibiran, cemoohan dan sinisme orang-orang lain di luar sana yang menganggap tindakan mereka norak dan tak berbudaya.
Mereka mungkin sadar sesadar-sadarnya bahwa suatu saat mereka akan terhenti atau kalah bertarung. Namun setidaknya perlawanan mereka bisa memberi kabar kepada khalayak bahwa orang kecil seperti mereka bukan untuk diinjak-injak. Bahwa mereka meski tak ber-uang tapi tetap memiliki harga diri dan tak melulu bisa dibeli.
Mereka, Rahmi dan ibu-ibu lainnya bukannya tak pernah merasa takut dengan semua yang telah mereka lakukan. Di awal-awal perjuangan bahkan mereka sempat berjibaku dengan para aparat yang mendadak keras, padahal mereka tak sekalipun menyuguhkan polah anarkis dalam setiap aksi. Namun tak lantas itu menjadikan nyali ciut dan perlawanan surut. Apapun yang terjadi, mereka akan bertahan disini.
***