Oleh: Iin Indriyani
Nusantara tidak akan menjadi milik kita, jika kita tidak terlebih dulu tahu siapa kita.Â
Jika kita tidak terlebih dulu menghargamatikan NKRI.
Jika kita tidak terlebih dulu menjayakan Pancasila.Â
Dan, jika kita tidak terlebih dulu mengAswaja-kan aqidah kita.
...
Agustus 2019,
 "Nyonya, aku izin libur minggu depan. Apakah bisa?"
"Aku tidak di Qingshui minggu depan. Banyak urusan yang harus aku selesaikan di Taipei."Â
"Lalu?" Aku berharap cemas.
"Aku tanya saudara-saudaraku yang lain. Apa mereka ada waktu atau tidak. Kamu ada acara apa, kelihatannya penting sekali?" Dia balik bertanya.
"Latihan penting untuk menjadi seorang pejuang."
"Pejuang apa?"
"Negara dan Agamaku. Aku sudah menunggu kesempatan ini selama setahun."
"Bagaimana caranya kamu berjuang untuk negara dan agamamu di sini?"Â
"Aku berjuang dengan menjaga guru-guruku yang datang sebagai tamu kehormatan di sini. Serta menjaga acara-acara keagamaan yang diadakan setiap bulannya. Keamanan keduanya menjadi tanggung jawab kami selaku anggota organisasi."
"Tapi aku mendengar ada sekelompok organisasi muslim yang tidak baik di dunia ini, bahkan mereka sangat berbahaya. Aku khawatir dengan keselamatanmu." Mimik wajahnya berubah, kali ini ia tampak serius.
"Nyonya, yang harus Anda pahami, kami bukan mereka. Kami justru bertentangan paham dengan mereka. Bisa dibilang mereka adalah musuh kami. Agama kami memang sama, yaitu Islam. Tetapi paham yang kami anut bertolak belakang. Inilah yang menuntut kami untuk berjuang demi menjaga nama baik agama kami dimana pun kami berada." Aku menjelaskan dengan tenang.
"Kalian sangat antusias sekali. Semoga kamu selalu dalam keselamatan. Kalau begitu, aku akan usahakan minggu depan kamu bisa libur."
"Terima kasih. Anda baik sekali." Aku tersenyum senang.
Satu hari sebelum Diklatsar berlangsung, aku mendapat pesan dari sahabat baikku,
"Kamu sudah lihat grup line, belum? Acara Diklat diundur minggu depannya lagi."
"Hah, yang benar? Masa sih? Alasannya apa?" Aku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin acara yang sudah direncanakan begitu matang sejak berbulan-bulan lalu bisa diundur? Â Bahkan satu hari sebelum hari-H. Marah, kesal, sedih, ingin menangis, itu yang aku rasakan.
"Katanya sih masalah visa tamu yang dari pusat."
"Kayaknya aku nggak bisa ikut lagi, soalnya pasienku dirawat di rumah sakit. Gak ada yang jaga. Aku sudah membujuk majikanku untuk libur hari minggu besok, kok malah diundur minggu depan? Majikanku akan merasa dipermainkan jika aku mengundur kembali waktu liburku."
"Yah, jangan gitu dong. Kamu harus ikut, kita kan sudah sering tugas bareng, masa pas diklat malah nggak barengan?"
"Posisiku cukup sulit, Sahabatiku. Ini masalah tanggung jawab, kita di sini terikat tanggung jawab kerja sedangkan organisasi adalah nomer dua. Aku tidak bisa ikut, Sahabatiku. Maafkan aku. Kalau pun aku tidak diakui sebagai anggota karena belum ikut Diklat, aku akan berusaha ikhlas. Yang penting Allah Swt tahu bahwa hatiku bersama Banser sampai detik ini, itu sudah cukup buatku."Â
"Nyonya, maaf. Dikarenakan akhir pekan akan ada topan yang cukup besar, bisakah hari libur saya diundur minggu depannya lagi?" Dengan sedikit ragu, kutekan tombol panah hijau.
"Hah, tidak bisa. Kami sudah menyewa perawat untuk menggantikan kamu disitu. Dan kami sudah bayar dimuka kepada mereka. Kamu gimana sih, kok seenak hati begini jadinya?"Â
"Ya sudah. Saya akan tetap keluar malam minggu besok. Maafkan saya sudah lancang kepada Anda, Nyonya." Aku pasrah. Dilema berat melanda hatiku.
Kuakhiri chatt kami. Kembali kuletakkan ponselku dengan lemas. Ya Allah, entah aku harus bagaimana saat ini. Pengunduran tanggal Diklat itu benar-benar membuatku terlena. Mau tidak mau, semua sudah terjadi. Sekarang, aku hanya bisa pasrah, ikhlas. Allah Swt yang berkehendak. Kita sebagai manusia bisa apa? Aku berusaha melepaskan saraf-saraf tegang di kepalaku. Ikhlas, ya, aku ikhlas. Toh, diklat itu sebatas pengakuan status anggota Banser di dunia. Sedang pengakuan haqiqi ialah bentuk pengorbanan manusia itu sendiri di mata Allah Swt.Â
Di sabtu pagi, seperti biasa aku melakukan aktifitasku di rumah sakit. Kurangnya waktu istirahat membuat tubuhku sakit. Kepalaku pusing, sedikit demam, dan tubuhku terasa lemas sekali. Waktu libur besok akan aku gunakan untuk istirahat sepenuhnya, pikirku. Tiba-tiba majikanku datang dari Taipei. Setelah melihat kondisi kakek, ia berbicara, "Besok, kamu tidak usah keluar. Kamu boleh libur minggu depan."
Maha Besar Tuhanku. Aku terkejut bukan main. Itu berarti aku bisa mengikuti diklat minggu depan? Ya Tuhan, Dewi Fortuna akhirnya memihakku. Betapa besar nikmat yang Engkau turunkan kepadaku. Di saat aku berusaha ikhlas, bahkan aku sudah benar-benar ikhlas. Campur tanganmu datang dan bekerja dengan begitu cantik. Airmataku meleleh.
Secepatnya aku beritahu sahabat baikku dan juga komandanku bahwa aku bisa mengikuti DTD II minggu depan. Sontak, mereka sangat senang sekali. Ah, aku merasa Allah begitu baik sekali kepadaku. Memberiku sahabat sekaligus saudara dalam ikatan organisasi sebesar ini.
...
Minggu, 1 September 2019
Bagi kami, Indonesia sudah indah dengan beragam perbedaan yang bertaburan dari Sabang hingga Merauke. Bagi kami, Indonesia sudah sempurna dengan kuatnya cinta antar sesama dan pemeluk agama lain. Bagi kami, Indonesia sudah istimewa dengan suburnya pertanian dan melimpahnya sumber daya alam dimana-mana. Dan bagi kami, Indonesia sudah merdeka dengan banyaknya gelagat tawa bahagia di seluruh penjuru nusantara setiap detiknya. Bukankah hidup merdeka itu indah? Bukankah bersatu dengan banyak perbedaan itu istimewa? Bukankah menyatukan banyak perbedaan dengan mengikat keseluruhannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu luar biasa?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H