"Hah, yang benar? Masa sih? Alasannya apa?" Aku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin acara yang sudah direncanakan begitu matang sejak berbulan-bulan lalu bisa diundur? Â Bahkan satu hari sebelum hari-H. Marah, kesal, sedih, ingin menangis, itu yang aku rasakan.
"Katanya sih masalah visa tamu yang dari pusat."
"Kayaknya aku nggak bisa ikut lagi, soalnya pasienku dirawat di rumah sakit. Gak ada yang jaga. Aku sudah membujuk majikanku untuk libur hari minggu besok, kok malah diundur minggu depan? Majikanku akan merasa dipermainkan jika aku mengundur kembali waktu liburku."
"Yah, jangan gitu dong. Kamu harus ikut, kita kan sudah sering tugas bareng, masa pas diklat malah nggak barengan?"
"Posisiku cukup sulit, Sahabatiku. Ini masalah tanggung jawab, kita di sini terikat tanggung jawab kerja sedangkan organisasi adalah nomer dua. Aku tidak bisa ikut, Sahabatiku. Maafkan aku. Kalau pun aku tidak diakui sebagai anggota karena belum ikut Diklat, aku akan berusaha ikhlas. Yang penting Allah Swt tahu bahwa hatiku bersama Banser sampai detik ini, itu sudah cukup buatku."Â
"Nyonya, maaf. Dikarenakan akhir pekan akan ada topan yang cukup besar, bisakah hari libur saya diundur minggu depannya lagi?" Dengan sedikit ragu, kutekan tombol panah hijau.
"Hah, tidak bisa. Kami sudah menyewa perawat untuk menggantikan kamu disitu. Dan kami sudah bayar dimuka kepada mereka. Kamu gimana sih, kok seenak hati begini jadinya?"Â
"Ya sudah. Saya akan tetap keluar malam minggu besok. Maafkan saya sudah lancang kepada Anda, Nyonya." Aku pasrah. Dilema berat melanda hatiku.
Kuakhiri chatt kami. Kembali kuletakkan ponselku dengan lemas. Ya Allah, entah aku harus bagaimana saat ini. Pengunduran tanggal Diklat itu benar-benar membuatku terlena. Mau tidak mau, semua sudah terjadi. Sekarang, aku hanya bisa pasrah, ikhlas. Allah Swt yang berkehendak. Kita sebagai manusia bisa apa? Aku berusaha melepaskan saraf-saraf tegang di kepalaku. Ikhlas, ya, aku ikhlas. Toh, diklat itu sebatas pengakuan status anggota Banser di dunia. Sedang pengakuan haqiqi ialah bentuk pengorbanan manusia itu sendiri di mata Allah Swt.Â
Di sabtu pagi, seperti biasa aku melakukan aktifitasku di rumah sakit. Kurangnya waktu istirahat membuat tubuhku sakit. Kepalaku pusing, sedikit demam, dan tubuhku terasa lemas sekali. Waktu libur besok akan aku gunakan untuk istirahat sepenuhnya, pikirku. Tiba-tiba majikanku datang dari Taipei. Setelah melihat kondisi kakek, ia berbicara, "Besok, kamu tidak usah keluar. Kamu boleh libur minggu depan."
Maha Besar Tuhanku. Aku terkejut bukan main. Itu berarti aku bisa mengikuti diklat minggu depan? Ya Tuhan, Dewi Fortuna akhirnya memihakku. Betapa besar nikmat yang Engkau turunkan kepadaku. Di saat aku berusaha ikhlas, bahkan aku sudah benar-benar ikhlas. Campur tanganmu datang dan bekerja dengan begitu cantik. Airmataku meleleh.