Genting malam selimuti ketegangan jiwa
Sudut kamar jadi saksi lelehan airmata
Berteriak dalam ketakutan yang mendera
Duhai wanita Sang Pahlawan Devisa
...
4 Agustus 2016,
Malam menyakitkan. Malam mengerikan. Tak pernah lagi kunikmati apa itu tidur nyenyak dalam beberapa hari terakhir. Orang itu, lelaki paruh baya yang kupanggil Tuan---memaksaku untuk memijat bagian intimnya. Gila! Tak waras!. Jelas saja aku menolak. Aku berlari ke dalam kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.
Serigala berwujud manusia itu berpura-pura naik ke atas membawakan segelas air putih untuk istrinya. Padahal niat busuk menyeringai di balik wajahnya. Dia mencariku. Aku menangis di dalam kamar dengan ketakutan yang menderaku. Ketakutan seorang wanita yang berada dalam kandang singa yang teramat ganas
 Iblis sudah menguasai akal sehatnya. Dia tak lagi ingat apa itu rasa hormat dan rasa malu. Yang lebih membuatku pedih, malam itu adalah malam ulang tahunku. Malam ulang tahun yang penuh derai airmata karena manusia berotak iblis seperti Tuan. Aku sangat muak dan benci kepadanya. Benci sekali. Aku sungkan menutup mata---khawatir Tuan masuk secara tiba-tiba ke dalam kamarku.
Bahkan pernah suatu malam aku menyimpan pisau dapur di dalam kamar untuk berjaga-jaga. Aku takut hal buruk terjadi padaku. Dalam beberapa malam itu, kedua mataku sering terlelap dengan ketakutan yang maha dahsyat seumur hidupku.
Musim panas masih memuncak. Panorama pegunungan berselimut kabut menyapa sisa ketakutanku pagi itu. Kedua mataku sembab karena menangis semalaman. Kedua kakiku bengkak karena tanggungjawab pekerjaan yang kukerjakan setiap hari. Kutatap pohon pinang bergoyang gemulai dari balik jendela. Sorotanku semakin dalam pada aliran sungai yang tertangkap oleh mata
Ingin sekali aku keluar, berlari, dan pergi sejauh mungkin dari rumah mengerikan itu. Tapi, aku tak mampu. Kesempatan untuk keluar---hanya ketika aku membuang sampah di malam hari. Itu pun beberapa menit saja. Setiap harinya, aku terkurung di dalam rumah berlantai tiga dengan satu pintu utama.
Haruskah aku kabur? Oh, tidak! Aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan akan selalu bersamaku, melindungiku dengan segenap cinta dan kasih-Nya. Aku yakin, aku akan baik-baik saja walau aku tinggal dengan seekor singa yang siap menerkamku kapan saja. Ya, aku sangat yakin itu. Hanya tawakkal yang dapat menyelamatkanku dari ganasnya musuh sebengis apa pun.
Hanya kuasa Allah Swt yang wajib kupegang erat. Aku menunduk sedih. Airmataku terus menetes. Kulihat mobil kerja milik Tuan telah pergi dari pandangan mataku. Aku merasa lega. Lega sekali. Paling tidak hingga sore nanti---aku akan aman.
Aku merawat Nyonya yang setengah lumpuh karena obesitas. Beliau gemuk sekali, badannya pun tinggi. Aku kewalahan merawat beliau, apalagi kondisinya semakin lama semakin memburuk. Tak satu dua kali kami terjatuh bersama---saat aku berusaha untuk membantu beliau ke kamar mandi. Belum lagi setiap hari aku harus membawa beliau naik turun tangga, karena Nyonya selalu menghabiskan waktu menonton televisi di ruang tamu.
Sedang kamar kami berada di lantai atas. Aku sudah tidak sanggup melakukan tanggungjawabku sebagai care giver di rumah itu. Tenagaku tak seimbang dengan badan pasien yang kurawat. Kedua kaki dan perut bagian bawahku terasa sakit sekali. Rahimku, yang dua tahun lalu menjadi tempat bersemayamnya malaikat kecil selama 9 bulan, saat itu terasa sakit setiap waktu.
Ditambah lagi kelakuan Tuan yang mirip setan, membuatku ingin cepat pergi dari rumah itu. Respon agency selalu kutunggu. Akan tetapi, mereka selalu menyuruhku untuk bersabar dan sabar.Â
"Kalau Tuan nekad memperkosaku bagaimana? Aku takut. Tidak ada siapa pun di rumah ini yang akan menolongku." Lirihku meratap.
"Kamu tidak boleh takut. Kamu harus lawan. Kamu harus berani. Ancam Bossmu bahwa kamu akan lapor kepada agency jika dia macam-macam." Tukas penerjemahku dari balik telepon.
Aku kembali menangis. Tembok yang membisu menjadi sandaran setiaku setiap hari. Kuusap airmata  yang nyaris mengering di pipi. Aku teringat betapa besar perjuanganku untuk datang kemari. Proses masuk PJTKI yang menguras tenaga. Pembuatan paspor ganda di Lampung saat aku dalam keadaan sakit. Bahkan, kondisi kesehatanku pun sangat menurun saat aku melakukan penerbangan ke Taiwan.
Yang lebih terasa pedih, rasa rinduku kepada anakku belum dapat terobati. Ya, anakku. Aku seorang ibu yang frustasi dengan rumah tanggaku hingga kubertekad merantau kemari, Formosa. Meninggalkan anak laki-lakiku yang berusia 2 tahun. Balitaku tersayang, jantung hatiku yang kurawat dengan tanganku sendiri sejak ia masih bayi.
Hati ini pedih, terasa sakit sekali. Masih kuingat betapa ia terlelap dalam tidurnya---beberapa saat sebelum aku meninggalkan dia pagi itu. Aku tak pernah berpikir bahwa itu adalah saat terakhirku melihat wajahnya secara langsung. Sejak berangkat ke penampungan untuk proses ke Taiwan, aku tak pernah pulang ke rumah hingga waktu penerbanganku datang.
Aku tak menduga Tuhan membukakan jalan untuk perjuanganku secepat itu. Hanya dua bulan tiga minggu, aku menghabiskan waktu di karantina, dan itu termasuk cepat untuk proses ke Taiwan yang semakin lama semakin rumit dan ketat. Aku berpamitan kepada Orangtua dan keluargaku hanya lewat sambungan telepon. Do'a mereka mengantarkanku pada penerbangan siang itu.
Aku mengekor dengan China Airlines membawa serta segenap angan dan mimpi bersamaku. Kondisi kesehatanku yang menurun tak membuatku lemah sedikit pun. Kutangkis segala pikiran negative yang sempat mencuri ketenanganku. Semangat dan gelora perjuangan semakin membakar dasar jiwaku. Untuk siapa lagi? Kalau bukan untuk masa depan anak, adik dan kedua Orangtua yang sangat aku sayangi.Â
Dalam alunan perjalanan pesawat yang sunyi, alam mimpi meniup manja kedua kelopak mataku. Aku terpejam sejenak, menyambut kenangan indah yang bernyanyi-nyanyi di atas kepalaku. Senyuman anakku, tawa adikku, nasihat demi nasihat orangtuaku, semua itu bagai tombak yang semakin menguatkan tekad dan niatku.Â
"Mah, aku pergi, ya? Titip Abi, tolong jaga baik-baik." Ujarku lembut, pelan sekali. Isak tangis tak kuasa kutahan di tengah kerongkongan, saat aku berpamitan kepada Ibuku untuk berangkat ke penampungan.
"Iya, hati-hati." Jawab beliau, pelan. Nyaris tak terdengar.
Kucium tangan beliau dengan derai airmata. Akan tetapi, beliau tak menoleh sedikit pun padaku. Suaranya parau. Aku yakin beliau pun merasakan sedih dengan kepergianku. Meninggalkan putraku yang masih tertidur di dalam kamar. Aku pun pergi, meninggalkan Ibuku yang melelehkan airmata sembari menyikat pakaian yang beliau cuci.
***
Malam menjelma. Landasan pesawat dengan gemerlap lampu seakan menyambut kedatangan kami. Kulihat tulisan 'Touyuan International Airport' menyapa kedua mataku samar-samar. Aku segera bangkit dari mimpiku. Memaksakan tubuh kurusku menapak tanah Formosa untuk yang pertama kalinya. Aku celingukan. Bandara besar itu mengingatkanku pada kenangan tujuh tahun silam.
April 2011, tepatnya. Aku tersesat di dalam 'Hongkong International Airport' dengan membawa barang-barang di kanan dan kiriku. Satu tas besar milikku dan satu tas lagi titipan temanku. Saat itu aku kembali setelah sepuluh hari cuti sakit. Aku pikir, majikanku-lah yang akan menjemputku di bandara.
Ternyata tidak, aku dibiarkannya begitu saja. Mencari cara untuk kembali ke rumah majikanku seorang diri. Aku bingung harus keluar lewat pintu mana. Ponselku kehabisan baterai. Malam semakin larut. Suasana dalam bandara sangat sepi. Airmataku akhirnya jatuh dengan perasaan yang tak karuan.Â
"Mamah, Bapak, aku tersesat." Lirihku ketakutan. Aku menengok kesana kemari berharap ada orang yang lewat di depanku. Akan tetapi, nihil.
"Hassbunallaah Wa Ni'mal Wakiil..." Kuucap lantunan ayat-ayat suci agar hatiku tenang. Kupuji nama Allah Swt, agar aku selalu dalam naungan-Nya. Terasa di dasar hatiku, bahwa sebentar lagi aku bisa keluar. Dan, ya, aku berhasil menemukan pintu keluar untuk menuju ke perhentian bis.
"Allaahu Akbaar..." Kukira ujianku telah usai. Ternyata belum. Tuhan masih amat menyayangiku. Aku melihat ongkos bis dari bandara menuju Yau Ma Tei, tempat tinggalku sekitar HKD. 40.00. Aku tersentak bukan main. Aku lupa tidak membawa uang koin, yang tertinggal di dalam dompetku hanya dua lembar uang seratus ribuan. Aku bodoh, benar-benar bodoh.
Tak terbesit di dalam otakku untuk menyimpan dollar Hongkong. Aku terlalu percaya diri dengan harapan Bossku-lah yang akan menjemputku di sana. Padahal, aku dibiarkannya begitu saja. Aku nyaris putus asa. Akan tetapi, Tuhan benar-benar sayang padaku. Aku membuka saku kecil di tasku. Di dalamnya banyak sekali uang koin yang aku sendiri lupa, kapan aku menyimpannya.Â
Nominalnya sangat kecil. Antara lima dan sepuluh sen. Uang-uang koin itu aku masukkan satu persatu ke dalam lubang koin yang berada di samping Pak Supir. Kulihat Pak Supir agak geram melihatku. Tapi aku tak menghiraukannya. Uang koin itu habis. Telapak tanganku kosong. Jumlah keseluruhannya genap HKD. 40.00. Tidak kurang dan tidak lebih.
Aku mencari tempat duduk dan bernapas dengan tenang. Uang-uang koin yang tak sengaja tersimpan di saku tas itu bagai mukjizat dari Tuhan untukku malam itu. Seperjalanan, aku mulai ingat bahwa uang itu adalah uang kembalian saat aku membeli sesuatu di waktu liburan. Aku menghela napas dalam-dalam. Bersyukur, akhirnya aku bisa pulang ke rumah majikan dengan tenang.
Akan tetapi, perjuangan tak berhenti di situ. Turun dari bis, aku kembali celingukan entah harus naik apa menuju rumah majikanku. Uang koin mukjizat itu habis. Mini bis khusus yang mengantar ke apartemen tak ada yang beroperasi. Dengan rasa yakin, aku berlari dari perhentian bis menuju rumah majikan dengan menenteng dua tas besar di kanan kiriku. Keadaanku mirip sekali seperti gembel yang terusir dari depan ruko. Atau persis seperti induk kucing yang ditendang orang saat kelaparan. Menyedihkan sekali!
***
Ket: sudah pernah ditayangkan di blog pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H