Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Rindu

27 November 2019   16:45 Diperbarui: 19 April 2022   20:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini terasa dingin. Lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Tak ada gerimis apalagi hujan. Cuaca cerah sedikit berbintang. Angin pun tak berembus hadir. Sunyi, sepi. Hanya suara-suara kecil penghias malam temani rasa dingin di kulitku. Ah, tak sebatas kulit. Rasa dingin itu menggerogoti jantung dan hatiku cukup lama. Ingin kucari penghangat ruangan namun tak ada. 

Selain kesabaran hati yang masih perkasa. Bagaimana mungkin dinginnya hati dapat mereda oleh penghangat yang telah tiada. Bagaimana mungkin dapat kupanggil mentari untuk datang ketika senja telah tiba. Mustahil. Selain hanya menunggu waktu sampai Sang khalik mempertemukan kami berdua dalam cinta-Nya. Di padang nan luas penuh rerumputan dan tanaman hias beraneka rupa. Di istana megah berdindingkan marmer beralaskan sutera. 

Tapi kapan? Sedang hati ini semakin lama semakin merapuh. Jiwa yang kukira kuat ini ternyata semakin lapuk tak terasa. Haruskah aku melambaikan tangan pada Sang Maha Pencipta? Sedang tanggungjawabku di dunia belum ada separuh yang kubawa. Aku kira dengan tersenyum, dapat kubohongi seluruh mata bahwa aku bahagia. Atau setidaknya aku baik-baik saja, tetapi tetap saja kerinduan tak dapat menutupi fakta bahwa aku sedang terluka. Hatiku tergores oleh takdir Sang Maha Kuasa. Yang memisahkan aku dengannya, bidadari tercantik yang aku punya. 

*** 

Dengan berat hati kubawa bidadari cantikku ke persemayaman terakhirnya. Sebagai seorang lelaki tentu saja aku tak sampai menitikkan airmata. Kutahan rasa sakit itu sedalam yang ku bisa. Ku hadiahkan keindahan hatiku wujud besarnya cintaku kepadanya.  Wujud cinta seorang anak yang ditinggal pergi oleh ibunda tercintanya, bidadari tercantikku satu-satunya. 

Kulantunkan azan sebagai penghormatan terakhirku kepadanya. Kupejamkan mata tanda kesadaran bahwa semua ini tak lepas dari kuasa-Nya. Hingga tubuh yang puluhan tahun merawatku itu tergeletak pasrah di atas tanah. Aku yang melihat dengan kedua mata dan hati amat tersayat. Sakit sekali. 

Kubuka ikatan kain kafan di kepalanya. Wajah dibalik balutan putih itu diam tak bersuara. Hanya ruhnya yang mungkin melihat betapa anak laki-lakinya sedang dalam kesakitan tiada terkira. Terlalu cepat. Ya, semua ini terlalu cepat aku rasa. Aku sempat berpikir ketidak-adilan benar-benar berpihak kepadaku. Aku menginginkan Ibuku terus ada di sampingku hingga bidadariku yang menggantikannya datang bersamaku. Tetapi Tuhan memanggilnya lebih dulu. Tuhan tidak mau memberiku waktu untuk bersamanya lebih lama. Tuhan lebih sayang beliau dengan mengangkat rasa sakitnya. Tuhan sangat mencintainya, aku tahu.

"Sabar,.. kami tahu kamu tegar." Tangan per-tangan menepuk pundakku dari belakang, saat pemakaman Ibundaku telah selesai. Aku tak bergeming. Selain mengedip kedua mataku tanpa makna. Hatiku kosong, rapuh. Tertinggal bersama tanah merah yang menimbun jasad bidadari tercantikku.

"Ayo pulang." Suara demi suara menyadarkan kesadaranku yang berjam-jam termenung di samping nisan Ibuku. Sekali lagi, aku tak mendengar mereka. Aku tetap bersimpuh di atas kedua lututku sebagai penghormatan terakhirku lagi. 

Sulit, pedih. Kupaksakan kedua kakiku untuk bangkit, meninggalkan peristirahatan terakhir beliau dengan batin teramat sakit. Untuk pertama kalinya aku merasakan kehampaan saat kedua kakiku menginjak halaman rumahku sendiri. Rumah itu tampak asing. Istana mungil dimana aku dibesarkan kini tak lagi hidup. Mati, tak bercahaya. 

Aku kembali bersimpuh di depan pintu. Airmata yang kutahan sejak siang tadi tumpah membasahi lantai yang membisu. Rasa sakit saat melihat jasad beliau terkubur tak lebih sakit daripada melihat rumah ini kosong. Tak ada lagi bidadari cantik yang memanjakanku setiap waktu. Wanita tercantik yang kasih sayangnya takkan bisa kubayar dengan apa pun. 

"Bangun, Nak. Bangun.. jangan diratapi. Biarkan Ibumu tenang di alam sana. Jangan kau beratkan ia dengan airmatamu. Ibumu jauh lebih bahagia apabila melihatmu tersenyum." Suara-suara itu silih berganti membidik telingaku. Menarik kesadaranku agar aku membuka mata lebar-lebar. Agar aku ingat bahwa ini skenario Allah Swt. 

Aku tahu, sekarang atau pun nanti, aku atau pun beliau yang terlebih dulu, semua makhluk bernyawa pasti akan kembali kepada pemilik-Nya, Allah Azza Wajalla. Tetapi terbiasa tanpa orang tercinta tak semudah kita membuka tangan lalu menutupnya kembali. Tak semudah kita menasihati kesabaran pada orang lain. Terlebih orang itu adalah orangtua kita, yang selama ini menjadi malaikat paling sabar dan bijaksana dalam menanggapi keluh kesah putra-putrinya.

Setiap kali aku masuk ke kamar beliau, selalu kuhabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar duduk di atas tempat tidurnya. Kain batik yang tergeletak di atas tempat tidur kupeluk dengan eratnya. Kerinduan demi kerinduan menari-nari di alam bawah sadarku, sedang apakah beliau di sana?

"Pulang nanti mau makan apa, Nak? Biar Ibu siapkan untukmu." Suara itu yang pertama kali kudengar dari balik telepon saat aku hendak pulang dari perantauan.

"Tempe goreng saja, Bu." Jawabku.

Satu jam sebelum kedatanganku, masakan yang kuminta sudah tersaji di atas meja. Makanan sederhana dengan balutan bumbu-bumbu cinta seorang ibu kepada anaknya jauh lebih nikmat dari makanan apa pun yang pernah masuk ke perutku. Namun kini, meja makan tempat lauk pauk terjejer itu kosong. Tak ada tempe goreng tersaji lagi di atasnya. Tidak ada semangat menggebu untuk pulang lagi jika lama ku menetap di daerah orang. Tak ada senyum dan tawa Ibunda lagi saat aku bercerita tentang gadis yang kucinta. Semuanya lenyap. Hening, tak tersisa.

***  

Bertahun-tahun kulewati masa tanpa hembusan angin surga. Kupijakkan jasadku seakan tanpa nyawa. Aku lebih senang berlama-lama menutup mata daripada bersegera membukanya saat pagi tiba. Bagai deburan ombak yang tiada bertepi. Bagai kibaran sayap yang terbang tanpa arah. Sesulit inikah hidup yang kujalani? Aku menunduk sedih. Gulungan pertanyaan memporak-porandakan isi kepala. Kapan masa itu 'kan terulang kembali walau hanya sebatas mimpi? Ya, hanya mimpi. Sungguh, aku dilema dengan kerinduan yang semakin menggerogoti hati ini. Aku rapuh.

"Bu, aku sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis." Ujarku, saat dulu yang kuyakini jodohku hadir di depan mataku.

"Yang fotonya kamu pasang di ruang tamu itu?" 

"Iya, Bu."

"Ibu berdo'a segala yang terbaik untukmu, Nak. Jangan lupa perbanyak baca sholawat, zikir 'ar-rahman, dan do'a dzun-nuun sebanyak 100 kali setiap salat." Beliau menasihatiku dengan yakin.

"Baik, Bu."

Aku tidak tahu takdir akan berjalan secepat ini. Nasihat beliau masih terngiang di kepalaku. Masih hidup dalam sanubariku. Lebih dari hembusan angin yang setiap waktu menampar wajahku. Seperti napas yang kuhirup tanpa jeda, sebesar itu pula peran beliau dalam hidupku. Berat? Jangan ditanya. Saat nyaris kulambaikan tangan, kesadaran siapa diriku masih bertahta di atas jalur putus asa. Aku mencoba untuk tersenyum dalam perihnya luka. Aku yakin Tuhan tidak akan meninggalkanku sendirian. Aku yakin Tuhan memiliki rencana indahnya untukku di masa depan. Semuanya hanya sekedar waktu. Dan kubiarkan diriku bermain dengan waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun