Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Rindu

27 November 2019   16:45 Diperbarui: 19 April 2022   20:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bangun, Nak. Bangun.. jangan diratapi. Biarkan Ibumu tenang di alam sana. Jangan kau beratkan ia dengan airmatamu. Ibumu jauh lebih bahagia apabila melihatmu tersenyum." Suara-suara itu silih berganti membidik telingaku. Menarik kesadaranku agar aku membuka mata lebar-lebar. Agar aku ingat bahwa ini skenario Allah Swt. 

Aku tahu, sekarang atau pun nanti, aku atau pun beliau yang terlebih dulu, semua makhluk bernyawa pasti akan kembali kepada pemilik-Nya, Allah Azza Wajalla. Tetapi terbiasa tanpa orang tercinta tak semudah kita membuka tangan lalu menutupnya kembali. Tak semudah kita menasihati kesabaran pada orang lain. Terlebih orang itu adalah orangtua kita, yang selama ini menjadi malaikat paling sabar dan bijaksana dalam menanggapi keluh kesah putra-putrinya.

Setiap kali aku masuk ke kamar beliau, selalu kuhabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar duduk di atas tempat tidurnya. Kain batik yang tergeletak di atas tempat tidur kupeluk dengan eratnya. Kerinduan demi kerinduan menari-nari di alam bawah sadarku, sedang apakah beliau di sana?

"Pulang nanti mau makan apa, Nak? Biar Ibu siapkan untukmu." Suara itu yang pertama kali kudengar dari balik telepon saat aku hendak pulang dari perantauan.

"Tempe goreng saja, Bu." Jawabku.

Satu jam sebelum kedatanganku, masakan yang kuminta sudah tersaji di atas meja. Makanan sederhana dengan balutan bumbu-bumbu cinta seorang ibu kepada anaknya jauh lebih nikmat dari makanan apa pun yang pernah masuk ke perutku. Namun kini, meja makan tempat lauk pauk terjejer itu kosong. Tak ada tempe goreng tersaji lagi di atasnya. Tidak ada semangat menggebu untuk pulang lagi jika lama ku menetap di daerah orang. Tak ada senyum dan tawa Ibunda lagi saat aku bercerita tentang gadis yang kucinta. Semuanya lenyap. Hening, tak tersisa.

***  

Bertahun-tahun kulewati masa tanpa hembusan angin surga. Kupijakkan jasadku seakan tanpa nyawa. Aku lebih senang berlama-lama menutup mata daripada bersegera membukanya saat pagi tiba. Bagai deburan ombak yang tiada bertepi. Bagai kibaran sayap yang terbang tanpa arah. Sesulit inikah hidup yang kujalani? Aku menunduk sedih. Gulungan pertanyaan memporak-porandakan isi kepala. Kapan masa itu 'kan terulang kembali walau hanya sebatas mimpi? Ya, hanya mimpi. Sungguh, aku dilema dengan kerinduan yang semakin menggerogoti hati ini. Aku rapuh.

"Bu, aku sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis." Ujarku, saat dulu yang kuyakini jodohku hadir di depan mataku.

"Yang fotonya kamu pasang di ruang tamu itu?" 

"Iya, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun