Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias Pelangi Terjatuh di Wajahmu, Ibu

26 November 2019   20:23 Diperbarui: 26 November 2019   20:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya Allah, Mi, hati-hati. Tapi Iin lega karena Mimi dan Dedek tidak apa-apa. Tuhan masih melindungi kita dari marabahaya. Dan semoga selamanya kita selalu dalam naungan-Nya. Aamiin.. "

"Aamiin yaa robbal 'alamiin... "

Sedih, khawatir, resah, gundah, dan gelisah. Perasaan luar biasa yang bercampur menjadi satu membuat aku sulit mengontrol kenyamanan di hatiku. Siapa yang mampu menyelami perasaan seorang Ibu ketika mendengar buah hatinya terluka, sakit, sedang ia dalam perjuangan yang jauh di negeri sebrang? Rasa takut, tidak bisa tidur, mungkin itu juga yang dirasakan Ibuku saat mendengar aku dan kakakku sakit 20 tahun silam. Ingin rasanya aku pulang secepat mungkin. Melihat keadaan putraku dan Ibuku secara langsung. Tapi, aku tak berdaya. Gunungan rasa takut membuat aku begitu lemah. Akan tetapi tak membuatku lupa, bahwa kasih Tuhan tak pernah surut sepanjang masa. Apa yang terjadi sudah menjadi ketentuan-Nya. Atas kehendak-Nya. Dengan izin-Nya. Kejadian itu adalah tamparan keras agar aku semakin rajin untuk memanjatkan do-a kepada-Nya. Tiada penjagaan paling kuat selain naungan Sang Khalik. Karena-Nya kita hidup. Dan untuk-Nya pula kita kembali.

Hari ini, 2 tahun lebih kutinggalkan keluargaku untuk berjuang di perantauan. Banyak sekali pelajaran hidup yang kudapat yang mana Ibuku sendiri yang menjadi inspiratornya. Bahwasanya menjalani pekerjaan sebagai buruh migran bukanlah hal yang mudah. Sulit, sangat sulit. Rasa rindu terhadap buah hati paling menusuk ketenangan hati setiap waktu. Beradaptasi dengan pekerjaan baru beserta keluarga majikan dengan beragam karakter yang berbeda-beda. Bersabar menghadapi pasien yang terkadang wataknya kembali seperti anak kecil. Serta kuat dalam menghadapi dunia luar dengan hiruk pikuk kebebasan yang bertebaran. Tapi aku masih beruntung. Zaman modern yang semakin canggih memudahkan aku utnuk berkomunikasi dengan keluarga terutama video call dengan buah hatiku. Sedangkan Ibuku dulu, komunikasi dengan kami hanya melalui surat setiap 3 bulan sekali. 

"Jika Mimi rindu kalian. Mimi hanya sandarkan tubuh Mimi di belakang pintu yang membisu. Kemudian Mimi tumpahkan kesedihan Mimi hingga menangis tersedu-sedu. Mimi rindu, rindu sekali. Tapi, Mimi tak dapat berbuat apa-apa. Mimi pasrahkan keselamatan kalian kepada Allah Swt. Sang Maha Segala-galanya." 

Itu ucapan beliau yang kujadikan tombak saat kumenangis di perantauan. Mimi, Engkau lbu yang sangat luar biasa. Dalam wajahmu yang mulai keriput, memancar bias pelangi yang tak akan pernah redup. Mendamaikan hati kami yang sering kalut. Semoga Allah Swt memanjangkan umurmu dan juga Ayah. Aamiin...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun