Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias Pelangi Terjatuh di Wajahmu, Ibu

26 November 2019   20:23 Diperbarui: 26 November 2019   20:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Temaram rindu, 1998

Foto itu cukup usang, warnanya kekuningan. Akan tetapi wajah yang tersenyum tipis di dalamnya terlihat cantik dan menawan. Rambutnya panjang bergelombang. Sedikit ikal di bagian atasnya. Persis seperti rambutku. Aku sangat menyukai foto itu. Berlama-lama menatapnya adalah sebagian dari hobiku saat itu. 

Wajah cantik nan alami bak mutiara yang terpendam dalam kerang di lautan. Keteduhannya mampu memberikan napas walau kami berjauhan. Elok wajahnya menyinari seluruh alam. Itu bagiku. Dan aku sangat rindu dengan sosok dalam foto itu. Rindu sekali. 

Setiap kali aku masuk ke dalam kamar, hatiku tersayat. Kamar itu kosong tak bernyawa. Wanita ayu nan lemah lembut tak lagi ada di dalamnya. Aku merasa hidupku hampa. Seketika aku menunduk pilu hingga meneteskan airmata. Kerudung hitam pemberiannya kupeluk begitu erat. Bulir-bulir kesedihan menyatu dengan harapan yang masih menjadi pertanyaan. Kapan beliau akan pulang? Kapan beliau akan kembali?

"Makan, Nak. Ayah bawakan makananmu di sini, ya?" Entah untuk yang keberapa kalinya suara Ayah menegur lamunanku. Aku tak bergeming. Masih memeluk kerudung hitam dengan eratnya.

Sepiring mi goreng telah siap di depan mataku. Aku menyantap dengan gemuruh pilu di dasar jiwa. Airmataku menetes kembali. Jatuh ke dalam piring dan menyatu dengan mi goreng buatan Ayah. Ayah memperhatikanku dari balik pintu. Aku tak kuasa menahan pedih di hatiku hingga kubenamkan wajahku di atas bantal yang membisu. Ayah berhambur memelukku, erat sekali. Isak tangisku berkolaborasi dengan isak tangis Ayahku sendiri. Kami menangisi kepergian seorang wanita luar biasa untuk menjadi salah satu aliansi dari Pahlawan Devisa. Ya, wanita yang kupanggil "Mimi" sudah mengekor dengan Garuda Indonesia untuk bekerja sebagai buruh migran di Timur Tengah. Hatiku pedih sekali.

Menjadi anak seorang TKI bukanlah pilihanku dan kakakku. Pun menjadi seorang istri sekaligus buruh migran bukanlah juga pilihan Ibuku. Terlebih Ayah, yang ditinggal pergi oleh istri tercinta untuk waktu yang sangat lama. Terlebih harus menelan airmata kedua buah hatinya karena gencatan kesedihan. Semua adalah konsekuensi hidup. Sebagian drama yang memang seharusnya kami lakonkan. Susah? Tentu saja. Sejak keberangkatan Ibu, Ayahlah yang mengurus segala keperluan sekolahku dan kakakku. Dibantu Uwak untuk makan kami sehari-hari. Aku merasa iri dengan teman-teman yang ke sekolah ditemani oleh Ibunya. Sedang aku, yang merapihkan seragam hingga mengucir rambutku adalah Ayah. Dengan berlimpah kasih sayang beliau mengurus kami dengan sabar. Namun tetap saja, kami kesepian. Kami merasa kehilangan. Kami rindu belaian cinta seorang ibu yang sedang berjuang melawan arus kehidupan di perantauan. Kami haus suara-suara lembut dan mengaji ibu di setiap perputaran jam hingga larut malam. 

"Mimi, kapan engkau pulang?" airmataku menetes kembali. Foto usang wanita cantik itu sedikit mengobati kerinduanku. Ya, Ibuku cantik sekali. Tetangga bilang, kakakku lebih mirip dengan Ibuku. Sedang aku lebih mirip dengan Ayah. Aku tidak tahu, saat itu aku tak paham bagaimana menilai paras antara satu dengan yang lainnya. Yang kutahu, aku adalah anak kecil dari seorang nelayan dan buruh migran di negeri orang. Di saat makan aku berlari ke rumah Uwak dari Ibu, atau mampir di rumah Uwak dari Ayah. Karena Ayah dan Ibu adalah anak bungsu. Masa kecil kuhabiskan kesana-kemari. Melawan kerasnya dunia dengan pelbagai hiruk pikuk di dalamnya. Menerjang sudut-sudut kerinduan yang mulai melebar di dalam hati. Memanjakan gunungan pertanyaan yang menari-nari setiap waktu. Kapan Ibu akan pulang?

"Yah, aku ingin ke pasar malam. Ayo kita pergi, Yah." Aku memelas kepada Ayah. 

"Iya. Tapi sepeda Ayah, bannya kempes, Dik. Besok-besok saja, ya?"

"Aku mau sekarang, Yah." Rengekku menitikkan airmata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun