Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ujian Jati Diri (Part 2)

26 November 2019   05:55 Diperbarui: 29 November 2019   11:52 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Radio Republik Indonesia

Seperti halnya aku, tinggal sementara di tempat ini adalah pilihan. Umumnya, Tki yang proses menunggu majikan baru harus tinggal di rumah Ejensi masing-masing. Beruntung jika Ejensi mereka itu baik, dan malang bagi mereka yang Ejensinya berotak pemberontak hak-hak Tki, seperti Ejensiku sendiri.

Aku memilih tinggal di sini meski bayar sekali pun. Satu hari harus keluar uang 200NT, berkisar 90ribu rupiah. Dan itu belum tanggungan makan kami sehari-hari. Aku termasuk perempuan yang tidak suka dikekang, apalagi oleh para lintah darat yang memang seharusnya aku lawan.

Keberadaanku di tempat ini pun bukan tanpa alasan. Setelah nenek yang kujaga meninggal, aku memutuskan untuk tidak pulang. Aku mencari majikan baru dengan kontrak yang baru juga. Sialnya, aku dibiarkan menunggu job terlalu lama oleh Ejensiku. Hal itu disengaja, agar aku mau ditempatkan di majikan yang biasanya bermasalah dengan banyak Tkw.

Benar saja, aku diantar ke majikan tanpa harus cek lokasi terlebih dahulu. Majikan baruku itu sudah gonta-ganti Tkw 6 kali belum setahun. Sifat jelek majikan membuat tak ada yang betah bekerja di sana. Dia wanita berusia 45 tahunan, tidak menikah. Jobku menjaga ayahnya dari bersih-bersih rumah dan masak untuk mereka.

Aku tidur di ruang tamu dengan alas sofa panjang. Sempit sekali, jangankan kamar yang layak, kasur empuk pun tak ada.

Wanita itu sangat kasar, seperti ada gangguan di otaknya, bahkan menurutku dia memang sudah gila. Kelakuannya yang over temperamental membuat aku naik darah setiap waktu. Tidak hanya di rumah, bahkan di depan umum pun dia suka marah-marah tanpa sebab. 

Dua minggu di sana, aku selalu minta pindah sampai bertahan dua bulan. Ucapan tinggal dusta, janji tinggal janji, aku sudah muak dengan permainan Ejensi yang sekongkol dengan majikanku untuk menahanku di rumah itu.

Tapi aku tak sebodoh yang mereka pikir. Satu minggu setelah menerima gaji kedua, aku keluar untuk liburan. Satu hari penuh aku istirahat, malamnya aku tidak pulang ke rumah neraka itu. Aku kembali ke tempat ini, asrama sempit yang berada di salah satu ruang apartement lantai 16. Asrama yang sudah dua kali aku singgahi.

Ejensiku terkejut membaca chatt line-ku yang menyatakan, aku tidak pulang ke rumah majikan, dan aku sudah berada di sini lagi. Sedang semua kontak dengan majikan gila itu aku blokir satu jam sebelum aku sampai di sini. 

"Mau kamu apa sih? Pulang sana ke rumah majikanmu. Ingat, dia bisa laporin kamu kabur, lho!" Wanita yang kupanggil "penerjemah" itu memaki-makiku dengan amat puas.

"Laporkan saja, saya tidak takut. Majikan itu sudah ganti banyak pekerja. Berarti masalahnya memang ada pada dia, bukan kami. Saya punya banyak chatt dengan majikan itu juga dengan Ejensi. Dari dua mimggu di sana, saya minta pindah. Tapi kalian malah memaksa saya bekerja di sana demi kepentingan kalian sendiri. Sayangnya, saya tidak sebodoh yang kalian pikirkan!" Suaraku tak kalah keras.

"Tunggu sampai akhir bulan Juni saja, kami janji akan memindahkan kamu ke majikan lain." Dia meratap.

"Cukup lama saya ikut kalian. Saya sudah sangat paham kalian itu seperti apa. Tiga tahun ini bukankah saya tidak pernah menyusahkan kalian? Kasihlah saya job yang baik sedikit. Jangan karena saya mampu bertahan lama di job yaang cukup berat, lantas dijadikan alasan untuk kalian menempatkan saya di job yang lebih berat.!" Aku terus melawan. Bahkan, ingin rasanya aku makan ponsel yang aku pegang karena emosi. 

Penerjemahku diam seribu kata. Celotehanku membungkam mulutnya hingga ia tak meneleponku lagi. Aku yakin, Ejensi sialan itu pasti akan membiarkan aku berlama-lama di tempat ini, minimal sampai uangku habis, maksimal sampai mau tak mau aku harus menerima job terburuk yang sudah mereka siapkan lagi. Ya, aku nyaris putus asa karena aku sangat paham permainan mereka.

Dan apa yaang aku pikirkan akhirnya menjadi kenyataan. Aku kembali dilempar ke job buangan mereka. Menjaga pasien lumpuh yang tubuhnya begitu gemuk di rumah sakit. Aku bertahan lima hari saja karena sakit. Sekujur tubuhku lemas tak bertenaga. Aku bicara pada majikan baruku bahwa aku tidak mampu merawat ayah mereka. 

Untungnya, mereka paham, karena tiga orang sebelum aku pun menolak job yang sama. Aku dijemput Ejensiku dan diantar kembali ke tempat ini untuk ketiga kalinya. Perjalanan tahun ketigaku di negara ini sungguh keras luar biasa!

Sejak saat itu, semua job yang mereka berikan aku tolak mentah-mentah. Pertengkaran demi pertengkaran aku lewati dengan penerjemah dan orang kantor. Tuntutanku hanya satu, aku minta pindah Ejensi. Setelah lelah menghadapiku, akhirnya mereka melepasku pada Ejensi baruku yang aku kenal di tempat ini dengan syarat tidak gratis. 

Ejensi baruku diminta membayar 12.000NT atau bekisar 5 juta rupiahan. Setelah berpikir panjang, kami sepakat memenuhi kemauan para lintah darat itu agar proses pindahku semakin cepat.

Aku sudah lelah menghabiskan banyak uang untuk bayar asrama dan keperluan lainnya. Terutama, aku tak dapat lagi menampung rasa bersalahku pada keluargaku karena aku tak mengirim uang cukup lama.

Kukatakan aku baik-baik saja di sini. Aku tak bercerita betapa sulitnya posisiku saat ini. Aku hanya ingin cepat bekerja dan kembali melakukan tanggung jawabku pada keluargaku tercinta.

Aku tahu ujianku tidak berhenti sampai di sini. Semakin keras cobaan manusia, semakin kuat jati diri yang ia miliki. Negeri ini, yang sering terekspos media akan dunia gemerlapnya, tak banyak orang tahu betapa sulit perjuangan yang kami lewati  di setiap ceritanya. Dipekerjakan di luar job, berurusan dengan para lintah darat, dan semua itu kami lewati dengan penuh ketegaran untuk meraih kebesaran hati.

Kami tak punya siapa-siapa selain keyakinan kami kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang penuh kasih, bukan tanpa alasan Dia menurunkan banyak kesulitan pada hamba-hamba terpilih-Nya. Melainkan Dia menginginkan makhluk-makhluk-Nya untuk memiliki semangat juang yang tinggi dan membentuk jati diri yang kuat.

Jati diri yang adil untuk dirinya sendiri dalam melawan ketidak-adilan. Jati diri untuk menentang perbudakan di negara orang yang disetting oleh Ejensi-ejensi berotak binatang. Serta jati diri untuk terus berikhtiar dalam setiap kesulitan dengan bertumpu pada kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa.

Taichung City, Juni 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun