"Tunggu sampai akhir bulan Juni saja, kami janji akan memindahkan kamu ke majikan lain." Dia meratap.
"Cukup lama saya ikut kalian. Saya sudah sangat paham kalian itu seperti apa. Tiga tahun ini bukankah saya tidak pernah menyusahkan kalian? Kasihlah saya job yang baik sedikit. Jangan karena saya mampu bertahan lama di job yaang cukup berat, lantas dijadikan alasan untuk kalian menempatkan saya di job yang lebih berat.!" Aku terus melawan. Bahkan, ingin rasanya aku makan ponsel yang aku pegang karena emosi.Â
Penerjemahku diam seribu kata. Celotehanku membungkam mulutnya hingga ia tak meneleponku lagi. Aku yakin, Ejensi sialan itu pasti akan membiarkan aku berlama-lama di tempat ini, minimal sampai uangku habis, maksimal sampai mau tak mau aku harus menerima job terburuk yang sudah mereka siapkan lagi. Ya, aku nyaris putus asa karena aku sangat paham permainan mereka.
Dan apa yaang aku pikirkan akhirnya menjadi kenyataan. Aku kembali dilempar ke job buangan mereka. Menjaga pasien lumpuh yang tubuhnya begitu gemuk di rumah sakit. Aku bertahan lima hari saja karena sakit. Sekujur tubuhku lemas tak bertenaga. Aku bicara pada majikan baruku bahwa aku tidak mampu merawat ayah mereka.Â
Untungnya, mereka paham, karena tiga orang sebelum aku pun menolak job yang sama. Aku dijemput Ejensiku dan diantar kembali ke tempat ini untuk ketiga kalinya. Perjalanan tahun ketigaku di negara ini sungguh keras luar biasa!
Sejak saat itu, semua job yang mereka berikan aku tolak mentah-mentah. Pertengkaran demi pertengkaran aku lewati dengan penerjemah dan orang kantor. Tuntutanku hanya satu, aku minta pindah Ejensi. Setelah lelah menghadapiku, akhirnya mereka melepasku pada Ejensi baruku yang aku kenal di tempat ini dengan syarat tidak gratis.Â
Ejensi baruku diminta membayar 12.000NT atau bekisar 5 juta rupiahan. Setelah berpikir panjang, kami sepakat memenuhi kemauan para lintah darat itu agar proses pindahku semakin cepat.
Aku sudah lelah menghabiskan banyak uang untuk bayar asrama dan keperluan lainnya. Terutama, aku tak dapat lagi menampung rasa bersalahku pada keluargaku karena aku tak mengirim uang cukup lama.
Kukatakan aku baik-baik saja di sini. Aku tak bercerita betapa sulitnya posisiku saat ini. Aku hanya ingin cepat bekerja dan kembali melakukan tanggung jawabku pada keluargaku tercinta.
Aku tahu ujianku tidak berhenti sampai di sini. Semakin keras cobaan manusia, semakin kuat jati diri yang ia miliki. Negeri ini, yang sering terekspos media akan dunia gemerlapnya, tak banyak orang tahu betapa sulit perjuangan yang kami lewati  di setiap ceritanya. Dipekerjakan di luar job, berurusan dengan para lintah darat, dan semua itu kami lewati dengan penuh ketegaran untuk meraih kebesaran hati.
Kami tak punya siapa-siapa selain keyakinan kami kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang penuh kasih, bukan tanpa alasan Dia menurunkan banyak kesulitan pada hamba-hamba terpilih-Nya. Melainkan Dia menginginkan makhluk-makhluk-Nya untuk memiliki semangat juang yang tinggi dan membentuk jati diri yang kuat.