Mohon tunggu...
IING FELICIA
IING FELICIA Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Educator, Author, Trainer, Certified Teacher

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Praktik Disiplin kepada Anak

8 Mei 2022   16:45 Diperbarui: 9 Mei 2022   14:26 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mendisiplinkan anak (Sumber: simon2579  via parapuan)

“Aduh, gimana ya anakku kerjanya main melulu. Padahal sudah tahu PR buat besok belum dibuat. Anak kalian begitu enggak sih? Kalau dibilangin banyak alasannya. Bentar Ma, lagi asyik. Tanggung nih, belum menang dari tadi.”

“Sama, itu aku alami, pembantu di rumah setiap kali kalau aku telepon, pasti laporannya Rio enggak mau tidur siang. Habis makan siang langsung main sama Dio (sepupunya baru datang dari daerah). Mereka lagi seru main.”

“Wah, Ryan walaupun sendiri tetap aja semaunya. Bisa main gim seharinya. Betah di kamarnya. Keluar cuma buat makan. Gara-gara sudah bisa cari aplikasi gim online gratis dan menginstal di ipad.”

Salah satu percakapan emak-emak ketika hang-out atau mengobrol bareng menunggu anak pulang sekolah.

Mendisiplinkan anak persoalan gampang tapi sulit. Mudah, andaikan terjadi dialog terbuka antara anak dan orang tua.

Masalah yang sering muncul, orang tua tidak melihat dari sudut pandang seorang anak. Anak harus dengar apa kata orang tua. Aaah…

Ilustrasi dari istockphoto
Ilustrasi dari istockphoto

Bagaimana solusi yang efektif agar kesepakatan diperoleh. Anak senang dan keinginan orang tua terpenuhi.

Berikut beberapa pendapat dan pengalaman yang sudah dipraktikkan oleh orang tua murid dan wali anak usia dini di sekolah:

1.  Mengajak anak untuk membuat kesepakatan

Kesepakatan perlu disesuaikan dengan usia anak. Kesepakatan dengan anak SD atau remaja tentu berbeda dengan anak usia dini. 

Untuk anak usia dini pengenalan konsep secara konkret diperlukan. Melalui gambar, cerita dan tindakan.

Membedah dan menjelaskan rutinitas keseharian setiap anggota keluarga termasuk anak.  Buat jadwal bersama dan ditempel pada area yang mudah diakses. Sehingga kalau lupa bisa langsung lihat dan dibaca.

2. Menginformasikan tujuan kesepakatan

Anak perlu memahami kesepakatan yang dibuat. Kapan ia dapat melakukan kegiatan yang disukainya. Ajak anak merencanakan kegiatan bebas dan waktu luang. Semata-mata bukan untuk mengekang kebebasannya. Beritahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, daripada harus marah-marah.

3. Terapkan konsekuensi

Tahap berikutnya adalah mendiskusikan konsekuensi saat kesepakatan dirancang. Biarkan anak mengutarakan tindakan atau sanksi yang dikenakan bila anggota keluarga lalai melakukannya. Pastikan konsekuensi ini berlaku bagi individu anak.

Lantaran orang tua suka tidak tega mendengar anak menangis, merengek dan menjerit-jerit. Akhirnya anak lolos dari konsekuensinya. Sayang Anak boleh, tetapi tidak memanjakan dan melakukan pembiaran.

Sebaliknya saat anggota keluarga berhasil melaksanakannya selama kurun waktu tertentu. Alah bisa karena biasa. Peribahasa cocok untuk mengaplikasikan konsekuensi. Kebiasaan otomatis muncul karena pembiasaan. 

Mintalah anak mengusulkan dan memberikan ide penghargaan (reward) bila berhasil mencapainya.

5. Konsisten

Perlu menjadi catatan konsistensi adalah krusial untuk keberhasilan suatu perencanaan. Pendisiplinan memerlukan waktu untuk berproses tidak instan. 

Orang tua dan pengasuh harus sabar dan konsisten dengan cara pendisiplinan yang sama. Utamanya untuk anak usia dini. Mereka menjadi bingung dan berusaha mencari penguatan bila tindakan yang dilakukannya salah.

Kasus yang sering terjadi adalah ketidaksamaan cara disampaikan kepada anak oleh ayah, ibu, atau anggota keluarga lainnya.

“Aku tidak boleh main gim, tapi kenapa Mama boleh? Kan, jam 09.00 malam semuanya harus sudah tidur." Anak akan protes kenapa hanya dia yang harus tidur dulu.

“Papa bilang aku boleh main sekarang.” Padahal Ibunya sudah mengatakan jadwal main setelah belajar. Atau ia akan mencari perlindungan kepada kakek nenek bila keinginannya tidak diperoleh. Karena anak cerdik, selanjutnya ia akan mendatangi orang yang selalu mengiyakan permintaannya.

6. Peranan Orang tua dan dewasa

Anak peniru sejati. Anak belajar dari gerak-gerik orang tua dan dewasa di rumah dan di lingkungan ia tumbuh. Tanpa disadari perilaku dan ucapan orang tua dan dewasa menjadi model anak bertindak laku. Ia merekamnya. Dan muncul tiba-tiba.

“Bu, Rio beberapa kali kedapatan berkata kasar 'b*doh, be*o' kepada teman sebangkunya,” catatan guru saat jumpa dengan orang tua.

Ternyata ada anggota keluarga Rio sering mengucapkan kata-kata itu saat bercakap-cakap dengan asisten rumah tangga.

Jadi, pastikan sebagai dewasa selalu memberikan suri teladan seraya mendisiplinkan anak.

Penulis: Iing Felicia untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun