Mohon tunggu...
Iin Ainar Lawide
Iin Ainar Lawide Mohon Tunggu... Seniman - Founder Komunitas Seni Lobo-Seniman Tari Palu

Koreografer juga penari, sekaligus Program Manager di Komunitas Seni Lobo | Ibu dari dua puteri yang keseharian mengurus seni | Hobi menulis dan punya channel podcast |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toponimi, Warisan Pengetahuan Lokal Masyarakat Kaili

13 Juli 2021   22:59 Diperbarui: 13 Juli 2021   23:11 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perumnas Balaroa saat likuifaksi 2018 (Sumber : Basarnas Kota Palu)
Perumnas Balaroa saat likuifaksi 2018 (Sumber : Basarnas Kota Palu)

Seiring berkembangnya Kota Palu, kampung Londjo pun mulai tersisihkan. Larangan-larangan yang dahulu berlaku pada daerah ini mulai diabaikan. Pada tahun 1980-an, pemerintah daerah dan investor mulai menjadikan daerah tersebut sebagai lahan pemukiman dengan melakukan penggusuran dan penimbunan lahan agar permukaan tanah menjadi labil dan keras sehingga layak untuk ditinggali yang kemudian dikenal Perumnas Balaroa. Peristiwa gempa 28 September 2018, akhirnya mengembalikan struktur tanah Londjo menjadi labil kembali melalui fenomena likuifaksi.

Jajaki

Dalam peta buatan Etnograf Belanda, AC Kruyt yang ia tulis berdasarkan catatan perjalanannya ke Lembah Palu tahun 1897, ia menuliskan satu daerah pernama Petobo. Sebelumnya Petobo ini bernama Jajaki. Jajaki merupakan tempat polibu atau bermusyawarah. Jajaki pun sempat menjadi ibukota Sigi sebelum pada akhirnya berpindah ke Djandja (Biromaru).

Wilayah Jajaki terdiri atas beberapa bagian, yaitu : Kinta, Varo, Nambo, Ranjabori, Pantaledoke, Popempenono, dan Kaluku Lei. Penamaan Petobo didasarkan pada peristiwa Taboge Bulava yang hendak dinikahi oleh pemuda Kaili Tara, dengan mahar akan dibuatkan saluran air dari Sungai Kawatuna. Namun, saat prosesi Petambuli (proses dialog sebagai salam hormat masuk rumah) mempelai Pria meninggal dunia, sehingga daerah tempat meninggalnya disebut Petobo yang artinya jatuh tertelungkup.

Terdapat juga folklore Petobo yang turun menurun pada masyarakatnya. Dahulu penduduk Petobo tidak boleh lebih dari 60 orang, jika lebih dari jumlah tersebut maka akan terjadi bencana dan penyakit sehingga jumlah penduduknya akan kembali menjadi 60 orang. Dari fenomena ini pernah dibuat upacara adat dengan menyusun sejumlah tongkat dan Guma (parang adat) untuk dijadikan Kinta. Sejak saat itu penduduk di Kinta dapat bertambah populasinya. Fenomena tersebut kembali terulang pasca likuifaksi 2 tahun silam, dimana Petobo terbawa likuifaksi namun warga di Kinta atau yang berlari ke arah Kinta, semuanya selamat.

Bagian lain dari Petobo adalah Nambo (sebelum likuifaksi berada di sekitar Jl. Mamara) yang merupakan nama Raja Loru yang hilang. Beliau dikabarkan hilang di Daerah Aliran Sungai Nggia dari Kapopo yang kemudian bertemu dengan Sungai Kawatuna menuju arah Levonu, daerah sekitar Mall Tatura dan Dunia Baru yang kedua bangunan tersebut rubuh karena gempa 2018.

Peta Tua Palu-Petobo (Sumber : Koleksi Museum Sulawesi Tengah)
Peta Tua Palu-Petobo (Sumber : Koleksi Museum Sulawesi Tengah)

Petobo dahulu hanya dipakai sebagai tempat berperang bukan untuk tempat pemukiman, karena didalamnya terdapat wilayah bernama Pantale Doke (tempat menyimpan tombak), sementara wilayah Ranjabori juga merupakan wilayah khusus perang. Sedangkan wilayah Petobo lainnya yaitu Kaluku Lei (sekitar Rumah Sakit Bersalin Nasana Pura) terdapat banyak pohon kelapa dengan buah berwarna merah.

Kaombona

Gempa dan tsunami yang menerjang Teluk Palu, 1 Desember 1927 menyisakan penamaan wilayah terdampak di Pesisir Teluk Palu. Penduduk lokal menyebutnya Kaombona, berasal dari kata Naombo yang berarti tercekung atau runtuh. Dalam memori kolektif masyarakat pesisir Palu, penyebutan Kaombona berawal dari turunnya permukaan tanah di sekitar pesisir Teluk Palu yang diakibatkan gempa berkekuatan 6,5 SR, menyebabkan kerugian 50.000 gulden serta 14 orang meninggal dunia dan 50 orang korban luka-luka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun