Mohon tunggu...
Iin Ainar Lawide
Iin Ainar Lawide Mohon Tunggu... Seniman - Founder Komunitas Seni Lobo-Seniman Tari Palu

Koreografer juga penari, sekaligus Program Manager di Komunitas Seni Lobo | Ibu dari dua puteri yang keseharian mengurus seni | Hobi menulis dan punya channel podcast |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toponimi, Warisan Pengetahuan Lokal Masyarakat Kaili

13 Juli 2021   22:59 Diperbarui: 13 Juli 2021   23:11 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Palu Buatan Belanda (Koleksi : Museum Sulawesi Tengah)

Pola bertahan hidup pada manusia saat ini tidak terlepas dari konsep tempat. Sebuah tempat yang ada di bumi dan memiliki karakteristik yang khas serta berbeda dari tempat-tempat lainnya. Toponimi dari suatu tempat merupakan hasil budaya, baik secara historis maupun simbolis. Toponimi suatu tempat merupakan kesepakatan bersama dan diturunkan antar generasi, sehingga untuk mengetahui makna dari sebuah nama tempat membutuhkan kajian budaya secara historis dan simbolis. (NB. Segara, 2017). 

Toponim, secara harfiah dapat diartikan sebagai nama tempat di muka bumi. Dalam Bahasa Indonesia menggunakan istilah "nama unsur geografi" atau "nama geografis" atau "nama rupabumi"(Rais, dkk, 2008 : 4). Sementara, menurut Raper dalam Rais (2008), toponim memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, toponim adalah ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada umumnya dan tentang nama geografis khususnya. Pengertian kedua, toponim adalah totalitas dari toponim dalam suatu region.

Maryani (2010 : 11), mengungkapkan bahwa tempat memiliki karateristik fisik dan manusia yang hidup di dalamnya dengan keberadaan lokasi suatu daerah sehingga menjadi branded of place, landmark, geonomic region, indikasi geografis yang tidak dapat dipindahlan dan menjadi kekhasan serta keunikan suatu tempat. Jadi unsur penamaan tempat tidak terlepas dari unsur aktivitas manusia baik itu kesan terhadap suatu fenomena geografis, ataukah peristiwa yang terjadi masa lampau. Yulius (2004 : 2) berpendapat, toponimi adalah ilmu atau studi tentang nama-nama geografis. Toponim itu sendiri mempunyai arti, penamaan unsur-unsur geografis. Nama-nama pulau, gunung, sungai, bukit, kota, desa, dsb adalah nama-nama dari unsur-unsur geografis muka bumi.

Toponimi sangat penting menjadi pengetahuan dasar atas tempat masyarakat tinggal, sehingga pengetahuan ini menjadi kewaspadaan. Pengetahuan toponimi suatu daerah inilah yang menjadi salah satu upaya mitigasi bencana. Perkembangan pembangunan di kawasan kota besar kian pesat. Hal ini mulai nampak di awal 1980-an hingga tahun 2018, dimana perkembangan pembangunan tidak melihat kondisi geografis, banyak area yang semula rawa atau tanah yang berair, kemudian ditimbun dan diratakan untuk kebutuhan tempat tinggal. Demikian pula daerah pesisir pantai turut direklamasi.

Seperti halnya Kota Palu, kehadiran pendatang yang tinggal dan menempati suatu desa atau kelurahan tanpa mengetahui makna dari tempat tinggalnya. Melihat banyaknya peristiwa bencana alam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, daerah-daerah yang telah dipaksakan untuk dibangun dan ditempati dikembalikan oleh bencana alam pada keadaan sebelumnya. Palu berasal dari kata Topalu'e yang artinya tanah yang terangkat, karena daerah ini dahulunya adalah lautan. Saat terjadi gempabumi dan pergeseran lempeng lautan tersebut terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi kota Palu. Namun, ada istilah lain yang menyebutkan asal muasal Palu, berasal dari Bahasa Kaili, Volo yang artinya bambu. Konon, bambu ini tumbuh dari kampung Tawaeli sampai ke Sigi. Penamaan wilayah kampung/kelurahan yang ada di Kota Palu umumnya dilatarbelakangi fenomena geografis yang ada atau pernah ada di tempat tersebut, baik dari aspek fisik seperti sosial menurut Deni Karsana (2009), seperti berikut :

  1. Nama kampung yang berasal dari unsur biologi berupa flora : Siranindi artinya daun cocor bebek, Nunu artinya beringin, Kamonji artinya sukun, Kayumalue artinya pohon malo, Talise artinya ketapang, Taipa artinya mangga, Birobuli artinya tanaman rerumputan untuk membuat rasa pahit pada saguer (sejenis minuman keras khas Sulawesi Tengah), Lolu artinya bagian pucuk pohon, Tavanjuka artinya daun mangkuk, Silae artinya ruas bambu, Lambara/Lambori artinya pandan hutan berduri, Lasoani artinya pohon berduri.
  2. Nama kampung yang berasal dari unsur biologi berupa fauna : Besusu artinya siput air.
  3. Nama kampung yang berasal dari unsur air : Layana artinya genangan air, Baiya artinya kering.
  4. Nama kampung yang berasal dari unsur geomorfologis (bentuk lahan) : Tatura artinya tanah runtuh, Tondo artinya tepi atau pinggiran di atas tanah longsor, Duyu artinya tanah longsor, Ujuna artinya ujungnya/tanjungnya, Buluri artinya di gunung, Kawatuna artinya banyak batu, Watusampu artinya batu asah, Kabonena artinya banyak pasir.
  5. Nama kampung yang menyangkut tentang folklore (aspek sosial budaya) : Layana artinya orang yang kehausan dan menemukan genangan air.
  6. Nama kampung yang menyangkut tentang gagasan atau harapan : Lere artinya tenteram.
  7. Nama kampung yang menyangkut tentang sejarah : Boyaoge artinya kampung yang ramai, Mamboro artinya tiupan angin.
  8. Nama kampung yang menyangkut tentang aktivitas masa lalu : Tipo artinya menganyam tikar, Pengawu artinya mengobati.

Pengetahuan tentang toponimi dalam pendekatan mitigasi bencana sangatlah diperlukan. Pengetahuan tentang toponimi ini akhirnya baru mulai menjadi perhatian masyarakat di Palu dan sekitarnya, pasca bencana gempabumi 28 September 2018, walaupun belum secara umum masyarakat memiliki kesadaran untuk mengenali wilayahnya dalam kaitan sejarah kebencanaan di masa lampau. Menurut Arkeolog Palu, Iksam (2019) bahwa berbagai pengalaman para leluhur Indonesia, hidup akrab dengan bencana alam, sebenarnya dapat memberikan khazanah kepada masyarakat lokal pada generasi berikutnya. Misalnya, pada hal praktis, tidak menempati daerah yang pernah terjadi bencana alam untuk dijadikan pemukiman. Tempat atau daerah yang memiliki riwayat terjadinya bencana alam di masa lampau dapat terlacak oleh penamaan tersebut oleh para leluhur.

Pada abad ke 18, intelektual Belanda telah menggunakan kata Palu untuk menunjuk daerah Lembah Kaili. Palu adalah kota baru, DR. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru di huni orang (Gifvents Lasimpo : 2019). Berikut beberapa toponim kampung yang memiliki riwayat atau sejarah bencana di Sulawesi Tengah, diantaranya :

Tagari Londjo

Kisah tagari Londjo ini kembali diperbincangkan pasca peristiwa likufaksi di Perumnas Balaroa. Masyarakat Balaroa dan sekitarnya menyebut Nalodo/Nalonjo berasal dari Bahasa Kaili yang berarti tertanam, karena wilayah Perumnas Balaroa ini dahulunya adalah rawa.

Konon menurut tutura orang tua, dahulu ada larangan keras untuk melintas di daerah Londjo ini. Para pedagang yang berasal dari Marawola (sekarang berada di wilayah administratif Kab. Sigi) yang hendak menuju Pasar Tua Bambaru (wilayah administratif Palu) akan memutar jalur melalui daerah Duyu karena masyrakat takut jika melewati Londjo, mereka akan tertanam lumpur. Padahal Londjo merupakan jalur tercepat menuju Pasar Tua di Bambaru.

Perumnas Balaroa saat likuifaksi 2018 (Sumber : Basarnas Kota Palu)
Perumnas Balaroa saat likuifaksi 2018 (Sumber : Basarnas Kota Palu)

Seiring berkembangnya Kota Palu, kampung Londjo pun mulai tersisihkan. Larangan-larangan yang dahulu berlaku pada daerah ini mulai diabaikan. Pada tahun 1980-an, pemerintah daerah dan investor mulai menjadikan daerah tersebut sebagai lahan pemukiman dengan melakukan penggusuran dan penimbunan lahan agar permukaan tanah menjadi labil dan keras sehingga layak untuk ditinggali yang kemudian dikenal Perumnas Balaroa. Peristiwa gempa 28 September 2018, akhirnya mengembalikan struktur tanah Londjo menjadi labil kembali melalui fenomena likuifaksi.

Jajaki

Dalam peta buatan Etnograf Belanda, AC Kruyt yang ia tulis berdasarkan catatan perjalanannya ke Lembah Palu tahun 1897, ia menuliskan satu daerah pernama Petobo. Sebelumnya Petobo ini bernama Jajaki. Jajaki merupakan tempat polibu atau bermusyawarah. Jajaki pun sempat menjadi ibukota Sigi sebelum pada akhirnya berpindah ke Djandja (Biromaru).

Wilayah Jajaki terdiri atas beberapa bagian, yaitu : Kinta, Varo, Nambo, Ranjabori, Pantaledoke, Popempenono, dan Kaluku Lei. Penamaan Petobo didasarkan pada peristiwa Taboge Bulava yang hendak dinikahi oleh pemuda Kaili Tara, dengan mahar akan dibuatkan saluran air dari Sungai Kawatuna. Namun, saat prosesi Petambuli (proses dialog sebagai salam hormat masuk rumah) mempelai Pria meninggal dunia, sehingga daerah tempat meninggalnya disebut Petobo yang artinya jatuh tertelungkup.

Terdapat juga folklore Petobo yang turun menurun pada masyarakatnya. Dahulu penduduk Petobo tidak boleh lebih dari 60 orang, jika lebih dari jumlah tersebut maka akan terjadi bencana dan penyakit sehingga jumlah penduduknya akan kembali menjadi 60 orang. Dari fenomena ini pernah dibuat upacara adat dengan menyusun sejumlah tongkat dan Guma (parang adat) untuk dijadikan Kinta. Sejak saat itu penduduk di Kinta dapat bertambah populasinya. Fenomena tersebut kembali terulang pasca likuifaksi 2 tahun silam, dimana Petobo terbawa likuifaksi namun warga di Kinta atau yang berlari ke arah Kinta, semuanya selamat.

Bagian lain dari Petobo adalah Nambo (sebelum likuifaksi berada di sekitar Jl. Mamara) yang merupakan nama Raja Loru yang hilang. Beliau dikabarkan hilang di Daerah Aliran Sungai Nggia dari Kapopo yang kemudian bertemu dengan Sungai Kawatuna menuju arah Levonu, daerah sekitar Mall Tatura dan Dunia Baru yang kedua bangunan tersebut rubuh karena gempa 2018.

Peta Tua Palu-Petobo (Sumber : Koleksi Museum Sulawesi Tengah)
Peta Tua Palu-Petobo (Sumber : Koleksi Museum Sulawesi Tengah)

Petobo dahulu hanya dipakai sebagai tempat berperang bukan untuk tempat pemukiman, karena didalamnya terdapat wilayah bernama Pantale Doke (tempat menyimpan tombak), sementara wilayah Ranjabori juga merupakan wilayah khusus perang. Sedangkan wilayah Petobo lainnya yaitu Kaluku Lei (sekitar Rumah Sakit Bersalin Nasana Pura) terdapat banyak pohon kelapa dengan buah berwarna merah.

Kaombona

Gempa dan tsunami yang menerjang Teluk Palu, 1 Desember 1927 menyisakan penamaan wilayah terdampak di Pesisir Teluk Palu. Penduduk lokal menyebutnya Kaombona, berasal dari kata Naombo yang berarti tercekung atau runtuh. Dalam memori kolektif masyarakat pesisir Palu, penyebutan Kaombona berawal dari turunnya permukaan tanah di sekitar pesisir Teluk Palu yang diakibatkan gempa berkekuatan 6,5 SR, menyebabkan kerugian 50.000 gulden serta 14 orang meninggal dunia dan 50 orang korban luka-luka.

Saat itu tinggi tsunami mencapai 15 meter dan di dasar laut juga diamati terjadi penurunan sedalam 12 meter yang menjadi awal  daerah tersebut di sebut Kaombona (Ahmad Arif, dkk : 2007). secara spesifik Kaombona berada di pesisir, dimulai dari area Rumah Makan Heni Putri Kaili sampai ke Lokasi Polsek Palu Timur. Era 1970-an, penyebutan Kaombona mulai menghilang dan dijadikan arena Mottorcross yang dikenal dengan Sirkuit Tanah Runtuh. Namun, sejak 2016 Kaombona kembali digunakan untuk area tanah runtuh ini.

Kumbili

Kumbili merupakan nama tua dari Kayumalue yang diambil dari nama pohon yang hanya hidup di daerah itu. Selain tidak bisa tumbuh di tempat lain, pohon kumbili ini memiliki siklus hidup yang sangat unik karena hanya tumbuh dalam beberapa tahun, puluhan tahun kemudian akan mati dan sesudahnya akan tumbuh lagi.

Kumbili kemudian berubah nama menjadi Kayumalue. Kayumalue merupakan wilayah yang bersejarah karena dikenal sebagai tempat pecahnya Perang Kerajaan Palu dan Kolonial Hindia Belanda (1888) yang dikenal dengan peristiwa Kagegere Kapapu Nu Kayumalue. Saat peristiwa gempa yang disertai tsunami pada 20 Mei 1938, Kayumalue merupakan daerah yang selamat dan saat gempa 2018 banyak masyarakat yang berlari menuju Kayumalue dari terjangan tsunami karena mereka menganggap Kayumalue adalah lokasi teraman dari tsunami. Dari peristiwa 1938 ini, Kayori menjadi satu peringatan kepada sebagian masyarakat hingga saat ini.

Sumber Referensi :

Jacobs. Rais. 2008. Toponimi : Sejarah Budaya yang Panjang dari Pemukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta. Pradnya Paramita.

Lasimpo, Gifvents. 2019. Mitigasi Bencana Berbasis Pengalaman Suku Kaili di Lembah Palu. Palu. KOMIU.

Maryani, Enok. 2011. Kearifan Lokal Sebagai Sumber Pembelajaran IPS dan Keunggulan Karakter Bangsa . Bandung. Makalah pada Kovensi Pendidikan Nasional IPS.

Segara, Nuansa Bayu. 2017. Kajian Nilai pada Toponimi di Wilayah Kota Cirebon sebagai Potensi Sumber Belajar Geografi. Cirebon. Jurnal Geografi Volume 14 No. 1.

Museum Sulawesi Tengah

Komunitas Historia Palu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun