Mohon tunggu...
iim roviatul qudsi
iim roviatul qudsi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

Ibu Rumah Tangga dan juga Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Insentif Fiskal bagi Pemerintah Daerah untuk Mencegah Kebakaran Tempat Pembuangan Sampah

29 Maret 2024   10:54 Diperbarui: 29 Maret 2024   10:58 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di sepanjang tahun 2023, Indonesia mengalami musim panas berkepanjangan yang mengakibatkan berbagai bencana, baik alam maupun non alam. Salah satu bencana non alam yang muncul dan menjadi keresahan masyarakat adalah terbakarnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di banyak provinsi. Data mencatat bahwa pada tahun 2023 paling tidak terdapat 35 TPA di seluruh Indonesia yang terbakar. 

Penyebab nya adalah meningkatnya suhu di timbunan sampah yang tinggi, dimana sampah memproduksi gas metana yang ketika tidak dikelola dengan baik oleh pengelola TPA, akan mudah terbakar, terutama disaat musim kemarau dengan kecepatan angin yang mendukung cepatnya penyebaran api.

Terbakarnya TPA menimbulkan dampak yang sangat destruktif, tidak hanya kepada lingkungan, tetapi juga pada aspek lain seperti kesehatan dan layanan publik.

Asap akibat kebakaran yang mengandung karbondioksida merupakan ancaman bagi kesehatan saluran pernafasan warga yang tinggal di sekitar TPA. Selain itu asap yang membumbung tinggi dari TPA yang berlokasi relatif dekat dengan bandara, telah membuat sejumlah penerbangan dibatalkan. Kemudian dari aspek sosial, terbakarnya TPA mengganggu sumber pendapatan ribuan pemulung dan warga sekitar TPA yang hidupnya bergantung pada operasional TPA.

Dengan tidak memungkiri bahwa masalah ini adalah sebuah fenomena gunung es, dimana penyebab nya tidak hanya di TPA, melainkan juga mulai dari tahap awal pengelolaan sampah seperti rendah nya kesadaran masyarakat dalam memisahkan sampah, musibah ini diakibatkan rendahnya kemampuan pengelola TPA di daerah. 

Kebanyakan TPA di Indonesia tidak memiliki teknologi dan alur distribusi yang memadai untuk melakukan daur ulang sampah. Penyebab utama dan tipikal dari permasalahan ini adalah belum memadainya pendanaan dalam pengelolaan TPA. Selama ini TPA sebagian besar dibangun dengan dukungan dana dari pemerintah pusat. 

Pada kenyataannya, sejak tahun 2012 pemerintah pusat telah menunjukkan komitmen atas pengelolaan sampah rumah tangga, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah RumahTangga (SRT dan SSSRT). Kemudian peraturan turunannya terbit pada tahun 2017, yaitu Perpres Nomor 97 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengelolaan SRT dan SSSRT. 

Dalam Perpres tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) diharuskan memiliki Kebijakan dan Strategi Nasional/Daerah (Jakstranas/Jakstrada) dalam pengelolaan SRT dan SSSRT, yang mencakup aspek lingkungan, sosial, hingga pembiayaannya.

Target utama dari Jakstranas dan Jakstrada salah satunya adalah pengurangan timbunan sampah hingga 30% di tahun 2025. Target ini tentu perlu didukung dengan tersedianya fasilitas TPA yang memiliki teknologi pembuangan sampah yang dibiayai dari APBN maupun APBD. 

Pada praktiknya, pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR yang bekerjasama dengan Kementerian LHK, banyak membantu Pemda dalam pembangunan TPA di kabupaten/kota. Hal ini mengingat terbatas nya kapasitas fiskal dari Pemda. 

Yang sering terjadi adalah alokasi untuk aspek sekunder seperti lingkungan (termasuk persampahan) tidak mendapatkan prioritas pendanaan, karena APBD diprioritaskan untuk membiayai mandatory spending seperti pendidikan dan kesehatan.

Salah satu penyebab utama dari kebakaran TPA dalah bahwa kebanyakan TPA di daerah ini hanya berupa open dump, dimana sampah hanya ditimbun tanpa adanya pengelolaan lebih lanjut. 

Hal ini yang menjadikan timbunan sampah terus meninggi, yang mengakibatkan tinggi nya zat metana, yang ketika dihadapkan pada kemarau panjang akaibat el-nino di tahun 2023, menjadikannya sangat mudah terbakar. 

Sebenarnya ada teknik lain yang dinamakan sanitary-landfill, dimana sampah tidak hanya ditumpuk, melainkan ditanam ke permukaan cekung yang kemudian ditimbun kembali dengan tanah. Teknik ini akan mengurangi terjadinya kebakaran sampah, karena gas metana akan sangat mudah terbakar apabila ter-ekspose dengan udara.

Penerapan sanitary-landfill membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit, dimana Pemda tidak mampu membiayai operasional nya. Meskipun pemerintah pusat telah mendukung Pemda dengan membangunkan fasilitas dan infrastruktur TPA di kabupaten/kota, Pemda tidak mampu mendanai sanitary-landfill tersebut, sehingga sampah hanya dikelola dengan metode open-dump. 

Atas kendala pendanaan ini, sebenarnya pemerintah pusat telah menginisiasi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. 

Dengan kebijakan ini, sampah di TPA akan dikonversi menjadi listrik yang dapat dibeli oleh PLN, sehingga Pemda dapat memiliki sumber pendanaan untuk mengelola sampah di wilayah nya masing-masing. 

Dalam Perpres tersebut, pemerintah diharapkan melibatkan BUMN dan BUMD untuk mendukung pembangunan PLTSa. Namun dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai kendala, terutama dari segi sinkronisasi regulasi yang membutuhkan penyempurnaan dari Perpres tersebut, yang sampai saat ini sedang dilakukan bersama oleh oleh Kemen ESDM dan KLHK.

Kebijakan untuk mengkonversi sampah menjadi listrik sehingga memiliki nilai ekonomi merupakan kebijakan yang perlu didukung demi pelestarian lingkungan dan ketahanan iklim yang berkelanjutan. 

Namun pembangunan sebuah PLTsa membutuhkan kajian mendalam dalam jangka waku yang lama, dan investasi yang sangat besar, dimana BUMD di sebagian besar provinsi/kabupatan/kota belum memilii kemampuan untuk mendukung secara finansial. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah pengelolaan TPA yang lebih profesional dengan menggunakan teknik-teknik termutakhir. 

Untuk jangka pendek, akan lebih baik jika pemerintah pusat mempertimbangkan keterbatasan fiskal dari mayoritas Pemda di Indonesia, dan mengutamakan terlebih dahulu bagaimana Pemda dapat memiliki ruang fiskal yang lebih luas dalam mendananai operasional TPA. 

Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan insentif fiskal bagi Pemda yang menunjukkan pencapaian target paling progresif sesuai Jakstrada nya masing-masing. 

Mungkin kebijakan ini akan dinilai tidak berorientasi jangka panjang, namun destruksi yang diakibatkan kebakaran TPA pada aspek lingkungan, sosial dan kesehatan tidak dapat menunggu selesainya PLTSa. 

Tentu sebuah kebijakan yang baik, tidak hanya perlu berorientasi jangka panjang, tetapi juga harus solutif atas permasalahan yang terjadi saat ini. Dengan adanya insentif fiskal tersebut, diharapkan Pemda dapat secara simultan memperbaiki pengelolaan TPA serta mempersiapkan pembangunan PLTSa sebagai solusi jangka panjang bagi pengelolaan sampah di daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun