Mohon tunggu...
Imelda Rafif Aviva
Imelda Rafif Aviva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Berenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Kebo Keboan, Tujuan dan Kegiatannya Bertolak Belakang, Kok Bisa?

6 Juni 2024   18:13 Diperbarui: 7 Juni 2024   06:46 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/2023

Masyarakat Banyuwangi pasti tidak asing dengan tradisi kebo-keboan ini. Tapi ada juga yang belum mengetahui adanya tradisi ini. Lalu, apa sih sebenarnya tradisi kebo-keboan?

Dilansir dari Wikipedia, Tradisi Kebo keboan adalah salah satu upacara adat yang dilakukan warga setempat berhias diri menyerupai kerbau. Tradisi ini telah dilangsungkan sejak 300 tahun yang lalu, tepatnya abad ke 18. Dalam penanggalan jawa tradisi ini dilakukan bertepatan saat awal bulan suro. Mengapa bulan suro? Karena bulan suro diyakini sebagai bulan keramat. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas hasil panen yang melimpah dan merupakan doa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat menghasilkan panen yang melimpah.

Kebo keboan sendiri dimulai saat masyarakat Desa Alasmalang mengalami musibah "Pagebluk", dikarenakan wabah penyakit yang tak kunjung sembuh, serta hasil pertaniannya diserang hama jadi saat itu sesepuh Desa Alasmalang Buyut Karti melakukan meditasi di sebuah bukit dan saat itu beliau mendapat wangsit untuk melakukan tradisi yang sekarang kita kenal dengan sebutan Kebo keboan. Mengapa harus menyerupai hewan kerbau? Karena Masyarakat sekitar mayoritas Agraris dan kerbau dimaknai sebagai hewan yang membatu petani dalam menyelesaikan pekerjaannya

Dalam pelaksanannya, ketua adat mengambil peran sebagai orang yang memilih siapa saja yang berperan menyerupai kerbau. warga yang berperan di rias menyerupai kerbau berpenampilan dengan tubuh hitam, berlumur oli, dengan hiasan tanduk, rambut palsu dan Sebagian ada yang membawa bajak dan sehari sebelum pelaksanaan, para pemeran akan kesurupan lalu bertingkah layaknya kerbau. "Keboan" sendiri adalah istilah dari pemeran dalam tradisi ini.

Kebo keboan diarahkan ke makam sesepuh setempat untuk meminta izin diadakannya kegiatan sebelum mengelilingi desa untuk nantinya dikumpulkan di lahan persawahan. Dalam tradisi kebo-keboan menggunakan sesajen yang bertentangan dengan perspektif islam (tujuan) tetapi didukung oleh perspektif budaya.

Dalam perspektif budaya tradisi kebo keboan adalah tradisi yang harus dilesatrikan karena merupakan salah satu budaya turun menurun di Banyuwangi, juga merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan sosial. Tradisi ini biasanya diselenggarakan sebagai bagian dari upacara adat untuk memohon turunnya hujan dan kesuburan tanah. Ada beberapa alasan mengapa tradisi ini patut dipertahankan dan didukung.

Pertama, kebo-keboan merupakan bagian integral dari identitas budaya lokal. Dalam era globalisasi yang seringkali mengikis keunikan budaya daerah, tradisi ini menjadi simbol kebanggaan dan kearifan lokal yang mampu memperkuat jati diri masyarakat Banyuwangi. Dengan melestarikan tradisi ini, kita juga turut menjaga keberagaman budaya Indonesia yang kaya dan berwarna.

Kedua, tradisi kebo-keboan memiliki nilai edukatif yang tinggi. Melalui upacara ini, generasi muda diajak untuk memahami dan menghargai kearifan lokal, nilai-nilai spiritual, serta hubungan harmonis antara manusia dan alam. Pengetahuan tentang cara-cara tradisional dalam bertani dan menjaga lingkungan turut diwariskan, yang sangat relevan dalam upaya pelestarian lingkungan saat ini.

Ketiga, tradisi ini memiliki potensi besar untuk mendukung pariwisata lokal. Kebo-keboan telah menarik perhatian wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan promosi yang tepat, tradisi ini dapat dikemas menjadi atraksi budaya yang menarik, yang tidak hanya meningkatkan perekonomian masyarakat setempat tetapi juga memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada dunia internasional.

Keempat, dikarenakan kegiatan tradisinya yang di bilang cukup unik dan tidak bisa dlihat secara langsung diluar Banyuwangi, membuat banyak pariwisatawan yang tertarik, baik domestik maupun mancanegara sehingga berpotensi meningkatkan sektor pariwisata lokal yang pada akhinya memberi manfaat bagi ekonomi Masyarakat setempat.

Selain itu, kebo-keboan juga memupuk rasa kebersamaan dan gotong royong di antara masyarakat. Persiapan dan pelaksanaan upacara melibatkan banyak pihak, dari petani hingga seniman lokal, yang bekerja sama untuk suksesnya acara ini. Hal ini menciptakan solidaritas dan mempererat hubungan sosial di dalam komunitas. Tradisi kebo-keboan bukan hanya sekadar ritual adat, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai luhur masyarakat Banyuwangi yang patut dilestarikan. Dukungan terhadap tradisi ini berarti kita turut menjaga keberlanjutan budaya, edukasi, pariwisata, serta nilai-nilai sosial yang ada di dalamnya.

 

Dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis 6 Juni 2024, dengan Drs. Hery B. Cahyono, M.Si. selaku Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jember, beliau menyatakan bahwasannya dalam perspektif islam sesajen yang digunakan dalam kegiatan kebo keboan tidak sesuai dengan ajaran islam dan tidak dibenarkan, hal itu juga yang menjadi penyebab beliau tidak setuju atau kontra dengan tradisi kebo keboan ini, sedangkan maksud dari Masyarakat yang melaksanakan tradisi tersebut mereka ingin menghidupkan budaya yang ada. Beliau juga menambahkan bahwa tradisi itu mengarah pada animisme, dinamisme, sinkretisme.

"Itu yang harus dihindari atau dievaluasi karena akibatnya sangat parah sekali untuk pengembangan ajaran islam itu, saya juga tidak setuju walaupun itu sudah dimodifikasi, jadi saya sudah lama meninggalkan hal tersebut." Ujarnya saat ditanya mengenai adanya perbedaan tujuan dan kegiatan dalam tradisi kebo keboan.

Kita sebagai generasi muda harus bisa memilah mana yang harus diikuti mana yang tidak. Tugas pemuda itu mengevaluasi dan kemudian memodifikasi tradisi yang terlihat negatif, tidak boleh menjadi pengamat saja, pemuda harus berperan sesuai dengan keberadaan dan kemampuannya masing-masing. Beliau menambahkan "jika tradisi itu bisa seperti itu yang begitu, jika tidak ya jangan, jika tidak bisa datang ya jangan datang dan berkontribusi."

Generasi muda mengambil peran penting dalam menjaga dan melestarikan budaya kebo-keboan dan sebagai generasi muda kita pastinya lebih update terkait media yang dapat nantinya digunakan sebagai sarana mempromosikan budaya yang ada seperti Kebo keboan ini. karena jika bukan kita lalu siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun