Mohon tunggu...
Ihya Aditya Fami Maarif
Ihya Aditya Fami Maarif Mohon Tunggu... Freelancer - Im Human.

Random Thoughts Are Pleasureable.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Harus Sepi Demi Keramaian Esok Hari

4 Juli 2021   09:59 Diperbarui: 4 Juli 2021   10:05 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah potret Jalan Asia Afrika yang sangat bersejarah di kota Bandung tersebut kini sedang sepi, tidak boleh ada keramaian. 

Tidak ada lagi badut hantu, tukang kopi dengan sepedanya, pengguna sepeda antik hingga elit, pasangan di ujung romansa yang sedang melakukan foto pra nikah, sekawanan muda hingga berumur yang menghabiskan waktunya, dan segala hal yang penuh keramaian itu sedang hilang. Hilang dimakan pandemi yang masih hangat.

Saya sempat merasakan atmosfir dahsyat di sekitaran Jalan Asia Afrika dan Gedung Merdeka pada tahun 2015 lalu, tepatnya pada perayaan Konfrensi Asia Afrika (KAA) ke-60. 

Atmosfir tersebut saya rasakan bersama mantan kekasih saya saat SMA, dan atmosfir tersebut menggambarkan sebuah keramaian tahunan dimana semua orang yang datang menikmati sejarah besar yang pernah terjadi di Gedung Merdeka. 

Meski kisah romansa kami telah usang dan gugur secara damai, mungkin keramaian tersebut akanlah terus membekas, dan menjadi sebuah kenangan yang kembali tergambar di masa isolasi seperti sekarang ini, terutama bagi mereka yang merindukan Parade KAA ke-60 tersebut.

Acara tahunan tersebut hanyalah satu contoh keramaian yang dinikmati ribuan orang dengan warna warni karnaval indah yang tidak mungkin dapat terulang dalam waktu dekat. Mungkin besok atau lusa, bisa jadi sepuluh tahun lagi, tergantung bagaimana kita sebagai manusia menikmati kesepian ini.

Konfrensi Asia Afrika ke-60 sumber: faktapers.id
Konfrensi Asia Afrika ke-60 sumber: faktapers.id
Sudah hampir dua tahun pandemi ini memaksa kita untuk mengikuti himbauan pemerintah yang selalu kita benci dengan beribu alasan dan pembenaran yang kita punya. Seperti Jln. Asia Afrika yang ditutup, kita dilarang kesana dan harus patuh!

Namun jika kita masih mampu untuk bijak, larangan tersebut adalah hal terbaik buat kita. Setidaknya kita tidak akan tertular melalui kerumunan yang memiliki potensi penyebaran virus. 

Karena sepi dan menetap dirumah adalah cara terbaik saat ini, "Sepi" demi "Keramaian" esok hari. Terkadang, situasi memaksa kita untuk membalikkan makna, mengubah yang buruk menjadi baik. Tidak ada benar dan salah bukan? Ketepatan lah yang sejatinya harus kita cari.

Bicara benar dan salah tidak akan pernah tuntas. Belajar daring membuat materi tidak terserap jelas, siapa yang salah? Usaha kecil menengah mengalami kemerosotan omset, siapa yang salah? Diamanatkan untuk lockdown dari tahun lalu, sungkan karena takut ekonomi merosot, sekarang ekonomi sudah merosot, siapa yang benar? Siapa yang salah? Tidak akan ada habisnya, saling menyalahkan bukanlah solusi.

Faktanya semua sektor saat ini sama-sama kesulitan, tidak perlu dijabarkan kembali, dari yang umum hingga jarang tersorot sedang merasakan perputaran situasi. Supir ambulan pun mendadak panggilannya lebih banyak dari ojek online, teknik kemudinya semakin terlihat seperti pembalap, kasihan supirnya juga penumpangnya. Kalau saya ditanya mending mana?

Menjadi pengemudi ugal-ugalan sekaligus menjadi supir ambulan, atau menjadi penumpang yang dijemput tepat waktu dengan perjalanan yang di spesialkan? Maka otak waras saya tentu memilih untuk sepi. Lebih baik dari keramaian dirumah sakit atau ruang isolasi masal.

Bukankah kita merindukan situasi dimana kita dapat berkumpul dengan orang-orang terkasih? Jika kita terlalu menekan ego kita sekarang, situasi tersebut tidak akan dapat kita alami kembali. 

Bisa saja umur kita sudah dicukupkan untuk menikmati kebersamaan seperti sediakala. Bisa saja bila kita tidak bisa menahan rasa akan keramaian, pulang-pulang kita malah membawa kesulitan, atau mungkin malaikat maut untuk orang tersayang. Semoga saja tidak.

Maka dari itu, mulailah untuk "Sepi" demi "Keramaian" yang akan datang. 

Bila tidak ada urgensi jangan keluar rumah apalagi sengaja menghampiri kerumunan. Jangan juga melakukan tindakan latah, seperti memburu susu naga dan hal-hal lainnya yang tidak penting. Tetaplah patuhi protokol yang dianjurkan, lakukan vaksin secepat mungkin. 

Ingatlah, "Badai pasti berlalu." Kita hanya perlu sabar dan menerima, segala yang kita lakukan tidak akan sia-sia. Demi kebaikan bersama, demi kebaikan untuk orang tersayang.

Semoga pandemi ini cepat usai! Serukan rindu keramaian dalam kesepian ini!

Ihya Aditya. Bandung, 3 Juli 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun