Setiap perusahaan pasti pernah mengalami masa-masa sulit, seraksasa apapun perusahaan itu. Kondisi itu pulalah yang sedang dialami oleh beberapa perusahaan tambang hari ini, termasuk PT, CNI. Konon, krisis Finansial yang dialami oleh beberapa perusahaan itu adalah akibat dari Inkonsitensi Regulasi Pemerintah tentang ekspor mineral dan batu bara, serta pandemic covid-19.
Ok, anggap saja pendangan itu sepenuhmya benar, tetapi dalam tulisan ini bukan itu yang jadi soal. Penulis lebih tertarik pada  fenomena-fenomena soal kemasyarakatan sekitar wilayah IUP, lebih spesifik lagi, tentang lahan dan karyawan lokal, dalam pengertian para karyawan yang berasal  Kecamatan Wolo (Ring I).
Sebuah pertanyaan yang penting dijawab; "Apa yang mesti dilakukan oleh sebuah perusahaan yang sedang mengalami masa sulit sementara ia juga tak henti-hentinya mengalami tekanan dari masyarakat disekitarnya?"
Baik, sebagai staf perusahaan sekaligus sebagai bagian dari masyarakat setempat, tanpa bermaksud menggurui tetapi semata-mata keinginan mencari solusi, penulis berkesimpulan bahwa jawabannya hanya 2 (dua) hal:
- Gunakan Istrumen Regulasi
- Bangkitkan Loyalitas Karyawan Lokal agar mereka terpanggil untuk berada di garda terdepan membela perusahaan.
Namun demikian, sebelum pada kesimpulan melakukan 2 hal diatas, beberapa langkah-langkah sebelumnya mesti dilakukan, yakni:
- Memastikan bahwa perusahaan juga benar-benar bersih dari pelanggaran regulasi
- Mengidentifikasi dengan sungguh-sungguh serta dengan niat yang tulus untuk mencari solusi terkait:
- Mayarakat yang benar-benar memiliki hak atas lahan, baik secara legalitas formal maupun atas dasar saksi-saksi hidup yang meyakinkan,
- Masyarakat yang sekedar berspekulasi memanfaatkan moment
- Masyarakat yang memang tidak punya dasar tuntutan sama sekali kecuali rasa arogansi primordialismenya sebagai masyarakat lokal.
- Bagi kelompok masyarakat kategori point "a" supaya segera dibayarkan atau diberi kepastian pemenuhan hak-haknya, bagi kelompok masyarakat "b" di selesaikan dengan pendekatan-pendekatan persuasive rasional (argumen), dan bagi kelompok "C" di hadapi dengan pendekatan hukum secara tegas.
- Membangun strategi Sense of Belonging bagi karyawan lokal. Pada faktanya, dari seluruh kelompok komunitas yang ada, karyawan lokal secara kuantitas adalah kelompok masyarakat yang paling refresentatif mengatasnamakan diri masyarakat lokal.
Lanjut dari itu, fenomena lain  yang bagi penulis menarik juga untuk di cermati adalah, "Kenapa tuntutan masyarakat lokal sangat tinggi untuk bekerja di PT. CNI tetapi pada saat yang sama setelah berstatus karyawan justeru bermasa bodoh terhadap gangguan-gangguan yang kerap dilakukan oleh pihak-pihak lain?"
Untuk mengetahui fenomena itu, mari kita tengok kondisi masyarakat Wolo secara umum.
Di Kecamatan Wolo saat ini, hampir tidak ada alternative pekerjaan kecuali sebagai petani dan nelayan, sementara golongan angkatan kerja produktif umumnya tidak tertarik lagi untuk menjadi petani atau nelayan.
Jadi animo tinggi untuk bekerja di perusahaan itu adalah murni karena factor desakan ekonomi. Belum pada harapan besar untuk menggantungkan hidupnya pada Perusahaan. Asumsi ini berbanding lurus dengan mindset negative masyarakat yang masih melekat terhadap perusahaan tambang, misalnya antara lain:
- bahwa perusahaan tambang hadir hanya untuk mengeruk keuntungan dan tidak sungguh-sungguh dengan jargon-jargon keberpihakannya pada masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya wanprestasi terhadap hak-hak lahan masyarakat.
- Bahwa kompensasi vessel yang ada selama ini bukanlah karena kebaikan perusahaan tetapi memang sebuah keharusan sebagaimana yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain sebelumnya.
- Bahwa di mata manajemen, tenaga kerja lokal masih di pandang sebelah mata dan hanya diberi porsi luas pada level tenaga kerja non skill, dst.
Apa akibat dari mindset negative demikian? Akibatnya, produktivitas kerja tenaga kerja lokal (khususnya di external) cenderung masih sangat rendah. Hal ini diperparah dengan iklim internal yang kerap kali juga kurang kondusif, dan bahkan tak jarang energinya meloncat ke ruang-ruang public.
Kalau mau jujur, sampai hari ini belum terlihat gagasan atau karya-karya fenomenal yang dihasilkan, baik oleh Divisi CSR, Comrel, maupun LA. Akibat selanjutnya dari semua itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan nyaris tidak beranjak dari posisi awal. Tidak meyakinkam.
Lalu apa yang harus di lakukan oleh manajemen? Pertama, dalam hal masih suburnya mindset negative masyarakat seperti yang dikemukakan diatas, maka apa yang telah dilakukan manajemen dengan merestrukturisasi departeman eksternal sudahlah tepat, tentu saja monitoring dan evaluasi harus terus berjalan. Dan Comrel khususnya, juga harus lebih ekstra lagi bekerja untuk meluruskan paradigma-paradigma negative yang masih ada ditengah masyarakat tadi ke arah yang lebih positive.
Kedua, Tanpa menafikan adanya fakta bahwa ekspektasi masyarakat lokal (kelompok-kelompok tertentu) juga ada yang diluar batas kewajaran, hemat penulis, mungkin tak ada salahnya pihak perusahaan khususnya, termasuk pemerintah setempat dan para aktivis, melakukan koreksi dan inrosfeksi diri.
Mari bertanya pada nurani kita masing-masing. sungguh-sungguhkah kita ingin segera menyelesaikan polemik tentang klaim hak atas lahan-lahan ini? Sudah punyakah kita data valid mengenai masyarakat siapa saja sih yang benar-benar memiliki hak atas lahan-lahan yang terklaim itu? Sudahkah kita siapkan metode atau strategi penyelesaian seperti apa yang akan kita gunakan? Ini penting, sebab hampir semua persoalan-persoalan ekstenal tersandera pada soal kontraversi lahan ini.
Ketiga, sekali lagi penulis ingin menggaris bawahi, Karyawan Lokal adalah elemen paling potensial untuk mem-back up perusahaan dari gangguan kelompok-kelompok manapun.
Maka itu, Mari bangkitkan loyalitas (sense of belonging) karyawan lokal.
Caranya? Ada banyak teori tentang cara meningkatkan loyalitas dan produktifitas kerja karyawan, tetapi untuk
kasus PT. CNI dengan segala kekhasannya, mudah-
mudahan tips berikut ini bermanfaat:
- Mari  bekerja berdasar system lalu konsisten.
- Dalam  rekrutmen tenaga kerja kiranya tranparansi dan intervensi oknum-oknum tertentu lebih diproporsionalkan lagi
- Menerapkan penilaian kinerja yang efektif. Penilaian seperti ini dilakukan secara fair dan objektif. Fair berarti penilaian berdasarkan standar yang telah disepakati, sedangkan objektif berarti menilai berdasarkan pencapaian kinerja, bukan berdasarkan suka atau tidak suka.
- Meningkatkan intensitas pelatihan bagi karyawan lokal, termasuk di tingkat non skill.
Wal akhir, terlepas dari subyektif tidaknya tulisan ini, saya hanya berharap tulisan ini bermanfaat. Wassalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI