Berkali-kali saya mencari di mesin pencarian google mengenai esai budaya. Â Hal ini saya lakukan bukan karena keinginan saya sendiri, tapi ada suatu alasan di balik itu. Beberapa waktu lalu dalam diskusi buletin alaska (aliansi sastra kampus) LPM MISSI (lembaga presma di kampus), saya mendapat kesempatan untuk menulis rubrik esai budaya. Sayangnya, sampai sekarang saya belum menemukan ide.
Barusan saya menemukan sebuah kutipan yang cukup sarkasme di google dari almarhum WS rendra, si burung merak dari solo. Dia adalah sastrawan kenamaan indonesia, sebagai seorang penyair tak hanya menulis tapi juga naik ke atas podium. Sepulang dari studinya di amerika Rendra mendirikan "bengkel teater" hanya sebatas itu yang saya tahu tentang sosoknya.
Dalam kutipan Rendra tertulis begini "kebudayaan jawa adalah kasur tua".
Siapa pula yang tak tersinggung dengan kutipan tersebut, meski bukan orang jawa saya sendiri juga menelurkan sebuah tanda tanya. Bagaimana bisa?
Jika kita artikan apa itu kasur tua, ia adalah kasur yang tidak lagi empuk, tidak nyaman lagi dan tidak menarik lagi untuk ditiduri. Barangkali begitulah kebudayaan jawa menurut Rendra. Atas dasar apa?
Lalu apa artinya candi prambanan? Monumental kelas dunia seperti borobudur? Buku nagara Kartagama? Ataupun Arjuna Wiwaha?
Bagi saya yang merupakan orang asing di jawa (saya orang sumatera barat) tentunya tidak boleh memandang kata tersebut sebagai orang jawa yang terluka mendengarnya, saya harus memakai kacamata luar. Menurut saya sendiri, budaya jawa adalah kebudayaan yang kental, tinggi serta tidak pantaslah kita samakan dengan kasur tua.
Tapi mungkin ada maksud lain yang ingin Rendra perlihatkan kepada kita.
Kebudayan hari ini memang sudah tak menarik, tak lagi nyaman seperti kasur tua. Kebanyakan budaya di Indonesia seperti itu, saya yakin. Ada masalah global yang tengah kita hadapi dalam mengebudayakan Indonesia.
Di tempat saya sendiri. Yaitu di sumatera barat, orang-orang saat ini lebih cenderung mengundang penyanyi-penyanyi dibanding orkes setempat yang terkenal dengan kearifan lokalnya. Seperti salung, randai, ratok, dll.Â
Beberapa perhelatan perkawinan yang saya ikuti turut mengundang musik padang pasir menggantikan musik tradisional minangkabau. Bahkan beberapa waktu lalu, saya menyaksikan pesta perkawinan yang bernuansa dangdut di daerah jawa, tanpa wayang kulit pun ketoprak. Â Mungkin memang benar, permasalahan ini sedang menggurita di berbagai daerah.