Mohon tunggu...
Muhammad Ihsan
Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pendidik | Pemred Penaaksi.com | Redaktur di SatuNegeri.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Masih Lebih Baik Sinentron

18 Juli 2013   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:22 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit kini perlahan mulai gelap.gerimis kecil mengiri perjalan tim Kampung Sarjana pulang  ke ibu kota. Suara mesin mobil tentara mengalahkan kebisingan rintik hujan diluar sana. Wajah seorang kakek yang cukup familiar tersenyum penuh bahagia. Dengan ramah ia menyapa “piye kabare, uenak jamanku to.”

“Kalo zaman pak harto masih enak de, semua harga masih murah. Kalo naikin harga BBM gak pake atraksi politik. Pokoknya kita-kita ini di perhatiin deh.”  Ucap bang Suga, tentara divisi pemetaan TNI AD  yang rutin menyetir mobil tuanya.

“Tapi bukanya kalo dulu banyak orang diculik dan dibunuh bang,apa enaknya?” sanggah Ahmad salah satu Pegiat Kampung Sarjana.

“Saya bukan mau menyorot hal itu dek, coba lihat kenaikan harga BBM kemarin. Sekarang ini para politisi sibuk beraktraksi di TV, padahal rakyat menjerit dengan harga-harga yang sudah naik sedangkan BBM sendiri belum naik. Kita itu butuh pemimpin yang tegas, bukan yang senang mempermainkan rakyat.”  Bang Suga sedikit terlihat emosi. Hujan pun turun semakin deras, suaranya mengalahkan kebisingan mesin mobil perang  tua..

Dia menyalakan whiper mobil, kemudian  terdiam agak lama seperti memikirkan sesuatu. Ahmad pun turut terdiam tanpa sanggahan.

“Makanya saya lebih suka nonton Sinetron, dari pada nonton parodi Politik di TV.” Tiba-tiba bang suga memecahkan kebisingan hujan.

“loh kok gitu bang? Bukanya Sinetron Justruk lebih tidak mendidik?” Ahmad terheran dengan pernyataan Bang Suga.

“Coba lebih teliti lagi deh. Sinetron itu walaupun tidak mendidik, tapikan Cuma kisah fiktif belaka. Coba perhatiin setiap akhir sinteron, pasti ada kalimat cerita  ini hanya fiktif belaka dan permohonan maaf jika ada kesamaan peran dan kejadian.” Bang suga coba menjelaskan.

Ahmad mengangguk-nganguk mencoba memahami pernyataan tentara yang dahulu bertugas diperbatasan indonesia malaysia.

“Coba kalo liat parodi politik di TV, sudah tidak mendidik, kejadian itu fakta pula. Kan bahaya untuk pendidikan anak-anak. Kalo sinteron kan gampang jawabnya ke anak saya. Itu Cuma cerita bohong nak. Nah kalo parodi politikan jawab gimana? harus pake ilmu supaya anak kita gak salah paham.” Bang suga menambahkan alasanya. Dahinya mengerut tanda keprihatinan.

“Iya juga sih bang. Para politisi di tv bukanya mendidik masyarakat berpolitik yang baik, justru memberikan contoh jadi politisi busuk. Mereka layaknya artis yang mengejar popularitas di panggung politik. Bukan untuk menyelesaikan permasalahan kita-kita ini, hanya sekedar bagaimana mempertahankan kekuasaan lebih lama lagi.” Ahmad coba menyampaikan padanganya.

Merekapun terdiam kembali sejenak. Mentari mulai menyapa di antara awan-awan mendung.

“Anak saya sedang apa y dirumah? Semoga saja Allah menjaga ia dari jahatnya tontonan TV.” Harap bang suga cemas.

“Aamiin.” Ahmad mengamini doa dengan khusyu

Perjalanan yang cukup panjang mengantarkan ahmad pulas dalam tidurnya. Meninggalkan bang suga yang terjaga melawan rimba lalu lintas ibukota. Hatinya masih berdoa untuk keluarganya dirumah. Wajahnya tersirat berucap “aku harus lekas pulang.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun