Fenomena titik balik krisis petani muda tela terjadi di mancanegara. Di Amerika misalnya, hasil sensus pertanian Amerika pada tahun 2012 silam menunjukkan peningkatan jumlah petani muda (berumur 25 -- 34 tahun) meningkat sebesar 2.2% dalam rentang waktu 5 tahun.Â
Fakta yang mengejutkan lagi adalah 69% dari petani muda tersebut adalah seorang sarjana. Uniknya, alasan generasi muda Amerika kembali bertani bukanlah karena faktor uang atau kekuasaan.Â
Petani muda atau petani baru Amerika justru bertani dengan alasan jenuh dengan hiruk-pikuk perkotaan, ingin menciptakan perubahan untuk lingkungan, dan kekhawatiran generasi muda akan perubahan iklim.
Di benua eropa, kehadiran generasi baru pertanian muncul lebih modern. Rico dan Fuller (2016) mengemukakan bahwa kehadiran mereka ditandai oleh profil petani dengan tingkat pendidikan tinggi.Â
Selain itu, jenis hambatan yang dihadapi petani pun telah berubah berupa akses terhadap lahan, modal dan pasar. Sementara pola pengelolaan dan model bisnis yang mereka adopsi sangat beragam dan multifungsi. Petani muda ini memberi sumbangsih yang besar terhadap kebutuhan pangan di Eropa.
Wajah Generasi Baru pertanian Indonesia
Bagaimana dengan kehadiran petani muda di Indonesia? Data pada gambar di atas memberikan harapan besar bagi sektor pertanian di Indonesia. Jumlahnya yang kecil tidak berarti memberikan dampak yang kecil. Mereka menghadapi kendala dalam bertani dengan cara mereka sendiri sesuai dengan karakter generasi zamannya.
Titik balik krisis generasi petani muda di Amerika dan Eropa, dapat juga kita temukan di Indonesia. Hanya saja belum ada penelitian terbaru yang mengukur besar jumlahnya, namun berbagai media telah mengabarkannya.Â
Begitu banyak artikel yang membahas pemuda inspiratif yang bekerja di sektor pertanian. Mereka seolah menentang naskah modernisasi yang banyak terurai di linimasa berbagai sosial media.
Tidak sedikit pemuda yang sukses mengelola pertanian dengan kreatifitas, inovasi dan kemampuannya berkolaborasi dengan sektor lainnya. Misalnya Charlie Tjendapati, seorang mantan karyawan perusahaan ternama yang memutuskan menanam kangkung dengan sistem hidroponik bersama sahabatnya Zekky Bakhri dari Jakarta.Â
Kabar tentang Omzet dari kangkung milik Charlie dan Zekky yang mencapai Rp 100 juta per bulan pun viral di kalangan netizen Indonesia. Dengan inovasi pertanian modern, Charlie dan Zekky berhasil mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan dengan penghasilan yang jauh lebih besar dibanding pertanian konvensional.
Di tempat berbeda juga ada juga kisah perjalanan Petani muda bernama Bagas Suratman (37 tahun). Dengan menggunakan sistem pertanian modern, dirinya berhasil meraup Rp 100 juta dalam sehari (). Bagas berhasil memanfaatkan lahan tidur di daerah perkotaan yang ditumbuhi semak belukar menjadi lahan pertanian produktif. Â