Harus diingat pula terdapat 271 Daerah, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati, yang telah habis masa jabatannya sebelum Pemilu 2024, dan jabatannya yang lowong di isi oleh Pejabat Sementara (PJ) yang di tunjuk Pemerintah Jokowi (Pusat). Bukan tidak mungkin PJ dari ke 271 daerah ini bisa di konsolidasi untuk memenangkan Pasangan Capres/Cawapres pilihan Pemerintah.
Kemenangan Prabowo-Gibran tampaknya merupakan hasil akhir yang paling mungkin terjadi pada Pilpres 2024. Hal ini bukan karena massif nya opni yang dibentuk oleh lembaga-lembaga survey bayaran. Bukan pula semata-mata - atau bahkan terutama - disebabkan oleh potensi pengaruh dari para pejabat pemerintah di daerah yang telah ditunjuk pusat.
Diatas dari itu semua, yang lebih lebih signifikan adalah dukungan diam-diam dari Jokowi, yang memiliki bobot yang besar. Presiden Jokowi tetap sangat populer, dengan peringkat persetujuan publik sekitar 76 persen (meski sangat aneh). Banyak orang Indonesia - terutama para pemburu rente - Â menghargai fokus era Jokowi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur, ditambah dengan politik peningkatan alokasi bantuan sosial. Karena alasan-alasan ini, Prabowo telah mengubah dirinya menjadi pengagum nomor satu Jokowi dan secara terus-menerus melobi agar putranya menjadi calon wakil presiden.
Kemitraan mereka membawa Prabowo, seorang mantan perwira dengan masa lalu politik yang sangat otoriter, lebih dekat ke kursi kepresidenan. Semasa jaya nya, Prabowo adalah menantu Suharto dan pemimpin faksi garis keras militer selama tahun-tahun terakhir rezim Suharto. Para pengamat politik Indonesia memperdebatkan apakah pengalaman kompromi Prabowo sebagai menteri di bawah pemerintahan Jokowi mungkin telah melemahkan naluri otoriter yang ia peroleh melalui sosialisasi politiknya di masa lalu.
Selama menjadi Menhan di bawah kepemimpinan Jokowi, Prabowo juga telah melepaskan banyak retorika populis berapi-api yang ia gunakan selama kampanye Pilpres 2014 dan 2019. Dalam kacamata prilaku politik, ini juga bisa dilihat sebagai sebuah pola ekspresi politik pragmatisme.
Terlepas dari apakah Prabowo benar-benar telah berubah atau "hanya" sebuah sikap pragmatisme politik, ini bukan pertanda baik bagi masa depan demokrasi. Pasangan Prabowo-Gibran sarat dengan nuansa kooptasi, nepotisme, dan terutama politik dinasti, dalam proses pencalonannya. Indonesia akan berada dalam situasi, dimana - jika Prabowo terpilih - presiden baru yang memiliki latar belakang otoriter akan menjabat di mana pendahulunya (Presiden Jokowi) telah meletakkan fondasi untuk mengkooptasi lembaga-lembaga pengawas negara yang sebelumnya independen dan mengubah aparat negara menjadi alat untuk mengejar keuntungan politik, yang secara signifikan mempersempit ruang gerak oposisi politik.
Tetapi apapun yang terjadi pasca 14 Februari 2024 nanti, Pemilu Presiden/Wapres kali ini-- Pemilu ke lima (5) di pasca reformasi - akan dikenang dan di tulis sejarah sebagai Pemilu presiden paling kontroversial pasca reformasi 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H