Mohon tunggu...
Ihsan Fitriadi
Ihsan Fitriadi Mohon Tunggu... Dosen - LSM, Peneliti

Menulis untuk mengingatkan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pemilu Presiden 2024 dan Indikasi Melemahnya Demokrasi di Indonesia

29 Desember 2023   09:41 Diperbarui: 29 Desember 2023   10:27 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menjelang penghujung tahun 2023 ini, tanda-tanda melemahnya demokrasi di Indonesia semakin jelas terlihat seiring dengan semakin dekatnya akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, yang bertepatan dengan euforia seluruh elemen bangsa dalam menyambut pemilihan presiden tahun 2024.

Misteri politik utama tahun ini - kandidat mana yang akan didukung Jokowi - akhirnya terpecahkan pada pertengahan Oktober ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Selain menciptakan semacam suksesi dinasti, kemitraan Gibran dengan Prabowo mewakili puncak dari rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo, yang merupakan mantan rival polititik pada dua Pilpres sbelumnya. Lebih penting lagi, keputusan ini menyoroti melemahnya lembaga-lembaga demokrasi inti di bawah kepemimpinan Jokowi. Ketika Jokowi menolak Ganjar Pranowo, kandidat dari partai yang membesarkannya, dan memilih untuk menyatukan Gibran dengan Prabowo, hal ini menandakan semakin kuatnya cengkeraman dinasti dalam politik Indonesia dan melemahnya partai-partai politik.

Bagaimanapun keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran-sang putra Presiden yang sedang menjabat- menandai akhir yang menyedihkan bagi sebuah institusi yang sebelumnya dianggap begitu kuat dan berwibawa .

Perjalanan reformasi di Indonesia telah disambut dengan kontroversi. Mengizinkan Gibran untuk mencalonkan diri dipandang sebagai tindakan yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakan politik. MK pada dasarnya mengubah undang-undang yang melarang kandidat di bawah usia 40 tahun untuk dirubah secara khusus mempermudah pencalonan Gibran, yang kebetulan adalah keponakan Ketua MK dan baru memulai karir politiknya dengan menjabat selama kurang lebih dua (2) tahun sebagai Walikota Solo.

Menambah ironi, keputusan MK membatalkan keputusan sebelumnya yang dibuat hanya dalam hitungan hari, setelah adanya intervensi dari ketua MK, yang kebetulan adalah adik ipar Jokowi.

Lembaga-lembaga pengawas penting lainnya juga menderita di bawah pemerintahan Jokowi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulunya merupakan mercusuar kemandirian dan integritas dalam lanskap yang sarat dengan korupsi, kini telah menjadi instrumen eksekutif. Di bawah pemerintahan Jokowi, KPK memainkan peran penting dalam menyelidiki dan menuntut para politisi senior dengan mengkonsolidasikan koalisi partai politik untuk kepentingan kebijakan presiden.

Pada November 2023, polisi mendakwa Ketua KPK Firli Bahuri - figur yang penunjukannya dipandang sebagai bagian dari upaya politisi untuk mengendalikan lembaga tersebut - karena pelanggaran berat kode etik dan diduga menerima suap dalam jumlah besar dari menteri Pertanian yang sedang diselidiki oleh KPK.

Kekhawatirannya adalah bahwa ada tanda-tanda integritas pemilu di Indonesia mungkin terancam. Banyak pengamat menilai bahwa sejak Jokowi terpilih pada tahun 2014, demokrasi telah mengalami penurunan. Masa kepresidenannya telah menunjukkan peningkatan penggunaan pemaksaan terhadap lawan-lawan pemerintah - terutama kelompok-kelompok Islam, tetapi juga para kritikus liberal - melalui intervensi yang ditargetkan pada partai-partai politik, penuntutan pidana secara selektif terhadap mitra-mitra koalisi yang mengganggu, dan pengaktifan kembali militer di berbagai sektor sipil. Sebagai contoh, institusi perwira militer dari era Suharto, Babinsa, semakin dilibatkan dalam memantau kerja pemerintah di tingkat desa dan kota.

Namun, telah lama ada konsensus di antara para pengamat politik di Indonesia bahwa, betapapun bermasalahnya aspek-aspek demokrasi di Indonesia, pemilihan umum yang terbuka dan kompetitif di Indonesia masih belum tersentuh. Konsensus ini sekarang sedang ditantang. Ada banyak cerita tentang langkah-langkah kecil yang diambil oleh para birokrat dan petugas keamanan di berbagai daerah di Indonesia untuk menghalangi lawan-lawan Prabowo dan memobilisasi dukungan untuk Prabowo dan Gibran.

Meskipun indikasi ini masih perlu di cermati dan di teliti dengan hati-hati, bukan tanpa preseden bila di Indonesia yang merasa sebagai negara demokratis, sebelumnya intervensi semacam itu terutama berlaku dan mempengaruhi Pemilu di tingkat daerah (Kota/Kabupaten). Saat ini, para pesaing Prabowo mengkhawatirkan upaya-upaya yang lebih terpusat untuk memobilisasi aparat negara dalam upaya mengintervensi Pemilu untuk menguntungkan salah satu pasangan Capres/Cawapres.

Harus diingat pula terdapat 271 Daerah, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati, yang telah habis masa jabatannya sebelum Pemilu 2024, dan jabatannya yang lowong di isi oleh Pejabat Sementara (PJ) yang di tunjuk Pemerintah Jokowi (Pusat). Bukan tidak mungkin PJ dari ke 271 daerah ini bisa di konsolidasi untuk memenangkan Pasangan Capres/Cawapres pilihan Pemerintah.

Kemenangan Prabowo-Gibran tampaknya merupakan hasil akhir yang paling mungkin terjadi pada Pilpres 2024. Hal ini bukan karena massif nya opni yang dibentuk oleh lembaga-lembaga survey bayaran. Bukan pula semata-mata - atau bahkan terutama - disebabkan oleh potensi pengaruh dari para pejabat pemerintah di daerah yang telah ditunjuk pusat.

Diatas dari itu semua, yang lebih lebih signifikan adalah dukungan diam-diam dari Jokowi, yang memiliki bobot yang besar. Presiden Jokowi tetap sangat populer, dengan peringkat persetujuan publik sekitar 76 persen (meski sangat aneh). Banyak orang Indonesia - terutama para pemburu rente -  menghargai fokus era Jokowi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur, ditambah dengan politik peningkatan alokasi bantuan sosial. Karena alasan-alasan ini, Prabowo telah mengubah dirinya menjadi pengagum nomor satu Jokowi dan secara terus-menerus melobi agar putranya menjadi calon wakil presiden.

Kemitraan mereka membawa Prabowo, seorang mantan perwira dengan masa lalu politik yang sangat otoriter, lebih dekat ke kursi kepresidenan. Semasa jaya nya, Prabowo adalah menantu Suharto dan pemimpin faksi garis keras militer selama tahun-tahun terakhir rezim Suharto. Para pengamat politik Indonesia memperdebatkan apakah pengalaman kompromi Prabowo sebagai menteri di bawah pemerintahan Jokowi mungkin telah melemahkan naluri otoriter yang ia peroleh melalui sosialisasi politiknya di masa lalu.

Selama menjadi Menhan di bawah kepemimpinan Jokowi, Prabowo juga telah melepaskan banyak retorika populis berapi-api yang ia gunakan selama kampanye Pilpres 2014 dan 2019. Dalam kacamata prilaku politik, ini juga bisa dilihat sebagai sebuah pola ekspresi politik pragmatisme.

Terlepas dari apakah Prabowo benar-benar telah berubah atau "hanya" sebuah sikap pragmatisme politik, ini bukan pertanda baik bagi masa depan demokrasi. Pasangan Prabowo-Gibran sarat dengan nuansa kooptasi, nepotisme, dan terutama politik dinasti, dalam proses pencalonannya. Indonesia akan berada dalam situasi, dimana - jika Prabowo terpilih - presiden baru yang memiliki latar belakang otoriter akan menjabat di mana pendahulunya (Presiden Jokowi) telah meletakkan fondasi untuk mengkooptasi lembaga-lembaga pengawas negara yang sebelumnya independen dan mengubah aparat negara menjadi alat untuk mengejar keuntungan politik, yang secara signifikan mempersempit ruang gerak oposisi politik.

Tetapi apapun yang terjadi pasca 14 Februari 2024 nanti, Pemilu Presiden/Wapres kali ini-- Pemilu ke lima (5) di pasca reformasi - akan dikenang dan di tulis sejarah sebagai Pemilu presiden paling kontroversial pasca reformasi 1998.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun