Mohon tunggu...
Muhammad Sholihin
Muhammad Sholihin Mohon Tunggu... -

Penikmat air putih, dan pencinta senja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Buruhisasi Dosen

18 September 2017   15:03 Diperbarui: 18 September 2017   15:08 16325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Test CPNS untuk formasi dosen tahun 2017 resmi dibuka tanggal 11 September 2017, baik di lingkungan Kemenristek Dikti maupun Diktis Kemenag RI. Ini menjadi kabar gembira bagi putra-putri bangsa yang berkeinginan menjadi dosen di perguruan tinggi negeri. Hanya saja rekrutmen CPNS Dosen untuk formasi dosen ini membuat Dosen Tetap Non PNS gigit jari dan meradang.

Sebagian mereka tak dapat ikut serta, karena terhalang usia. "Dosen Tetap Non PNS, atau lebih populer dikenal dengan dosen kontrak merasakan dengan adanya rekrutmen CPNS formasi dosen ini akan kembali membuat mereka seperti dianak tirikan." Ujar Budi Birahmad, MIS---Ketua IDTN PNS RI.

Pernyataan Budi Birahmad di atas dapat dimaklumi, karena saat ini eksistensi Dosen Tetap Non PNS di Perguruan Tinggi Negeri, sesungguhnya adalah buruhisasi dosen. Negara dapat menutupi kebutuhan akan dosen dengan harga murah. Negara tidak perlu menganggarkan dalam APBN. Dengan demikian, sewaktu-waktu mereka dapat diputus kontrak tanpa melihat aspek lain yang lebih manusiawi.

Masa Depan Suram

Ribuan Dosen Kontrak di Perguruan Tinggi Negeri, yang rekruitmennya didasarkan pada Permendikbud No. 83 Tahun 2013 dan PMA No. 3 Tahun 2016, merasa eksistensi mereka di Perguruan Tinggi Negeri bagaikan kelas kedua.

Perasaan inferior tersebut sah saja terjadi. Meskipun secara undang-undang mereka diakui, tapi perlakuan terhadap mereka tetaplah berbeda jika dibandingkan dengan dosen yang berstatus sebagai PNS.

Berbagai perbedaan tersebut sangat jelas adanya. Karir tidak jelas kepastiannya. "Jangankan soal jabatan fungsional. Masalah NIDN saja masih mengalami hambatan." Pungkas Anrial, salah seorang dosen kontrak di salah satu PTAIN.

Pengurusan NIDN bagi Dosen Kontrak terkesan lambat. Barangkali karena implikasi NIDN ketika diberikan kepada Dosen Kontrak cukup memberat Perguruan Tinggi Negeri. Seperti tunjangan fungsional; sertifikasi menjadi hak yang melekat pada mereka. Sementara pembiyaan tunjangan tersebut masih dibebankan pada PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Ini membuat Perguruan Tinggi Negeri kelabakan.

Perlakukan ironis lainnya adalah gaji dosen kontrak bervariasi antar perguruan tinggi negeri. Tak jarang ada yang di bawah upah minimum regional, dan tanpa jaminan sosial apapun. Ini tentu membuat rasa keadilan dosen kontrak terciderai.

Status kontrak yang melekat pada mereka, membuat dosen kontrak tidak mendapatkan hak sebagaimana mestinya. Umumnya dosen kontrak di Indonesia, khususnya yang berada di bawah lingkungan Departemen Agama Republik Indonesia, masih belum memiliki NIDN. Ini membuat mereka kesulitan untuk melakukan riset dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral.

Masa depan dosen kontrak yang suram kian nyata. Keberadaan mereka sewaktu-waktu dapat didepak dari universitas. Ini terjadi ketika universitas merasa tidak lagi membutuhkan mereka. Terutama tatkala terpenuhinya rasio dosen dan mahasiswa.

Prakteknya pemutusan kontrak cenderung sepihak dari universitas, sehingga dosen kontrak menjadi kelompok yang paling dirugikan. Misalnya, pemutusan kontrak 31 (tiga puluh satu) orang dosen di Universitas Jambi, dan hingga kini dengan nasib yang tak jelas. Prihatinnya, sebagian mereka sudah berusia yang tak lagi muda.

Padahal, kompetensi Dosen Kontrak tak diragukan. Mereka adalah penopang Tri Dharma Perguruan Tinggi serta dimasukkan sebagai dosen tetap dalam borang akreditasi. Tidak sedikit pula dosen kontrak yang memiliki karya ilmiah yang diakui di level nasional, maupun internasional.

Ayang Utriza, Ph.D, Dosen Tetap Non PNS UIN Jakarta adalah contoh konkrit bagaimana pemikir hukum Islam muda ini sangat dihargai di dunia internasional. Berkali-kali melakukan riset kolaborasi, dan mengikuti research fellow di luar negeri dengan artikel yang dipublikasi di jurnal dan penerbit internasional. Tapi sayang prestasi ini belum dianggap layak untuk menjadikannya pegawai negeri sipil.

Tidak sedikit pula Dosen Kontrak yang berusaha melakukan penelitian tanpa mengharapkan dan tergantung pada dana yang dihibahkan oleh negara. Ketiadaan NIDN atau Nomor Induk Dosen Nasional, membuat mereka harus pintar-pintar mencari dana penelitian. Mereka-pun terpaksa merogoh kocek sendiri untuk melakukan penelitian, agar terpenuhinya beban kerja dosen.

Instabilitas Sistem Pendidikan Tinggi

Ketidakpastian status Dosen Kontrak di Perguruan Tinggi Indonesia adalah bukti konkrit bahwa sistem pendidikan tinggi di Indonesia mengalami ketidakstabilan.

Instabilitas sistem tersebut dapat dilihat dari orientasi perguruan tinggi yang masih mendua---antara pasar dan pabrikasi akademik. Belum lagi politik pemerintah yang terkesan pragmatis dalam mencari solusi atas kekurangan dosen di perguruan tinggi negeri, dengan membenarkan adanya dosen kontrak, tapi tidak menyiapkan model yang jelas dan ditopang dengan aturan yang konkrit.

Tanpa dilengkapi dengan regulasi yang jelas, bahkan cenderung multi-tafsir seperti adanya klausa pada PMA (Peraturan Menteri Agama) No. 3 Tahun 2016, dimana pengajian diserahkan kepada kemampuan perguruan tinggi negeri. Ini membuat tingkat kesejahteraan dosen kontrak sangat memprihatinkan.

Jamak diketahui bahwa profesi dosen, bukan sekadar profesi biasa. Ia menuntut kualifikasi akademik yang tinggi. Kemampuan riset dan kemampuan dalam melakukan transformasi ilmu sangat dibutuhkan. Kemampuan ini harus ditunjang dengan sistem apresiasi dan insentif yang terukur.

Apresiasi yang ideal, tentu, tak akan diterima oleh dosen kontrak di Indonesia. Jika pemerintah serius dalam mendorong mutu perguruan tinggi, semestinya rekrutmen CPNS untuk formasi dosen benar-benar relevan dengan berbasis pada track record akademik, terutama riset dan publikasi ilmiah selayaknya di Jepang, dan Perancis.

"Jika pemerintah sungguh-sungguh dalam membenahi produktifitas dosen, maka sistem pengangkatan dosen tetap pada Dosen Kontrak dapat dijadikan role model. Misal, ketika dosen kontrak purna masa kontrak satu kali, dan disertai dengan riset dan publikasi yang mentereng, maka pemerintah dapat mengangkat mereka secara langsung sebagai PNS." Ujar Budi Birahmad.

Tawaran Ketua Ikatan Dosen Tetap Non PNS ini jelas sangat menarik. Hanya saja semuanya kembali kepada pemerintah, apakah pemerintah memiliki i'tikad baik dan serius dalam memperhatikan eksistensi Dosen Kontrak atau justeru sebaliknya.

Keberadaan dosen kontrak dapat dijadikan sebagai kelompok kontrol dalam mendorong kualitas akademik di Perguruan Tinggi Negeri. Dengan fasilitas yang setara, maka produktifitas Dosen PNS atau dosen kontrak dapat dikomparasikan. Sekali lagi, asalkan dengan perlakukan yang sama, dan nir-diskriminasi. Sehingga pemerintah dapat melakukan evaluasi secara simultan terhadap dua kelompok ini, dan menyimpulkan bagaimana model terbaik yang akan diterapkan di masa akan datang.

*Mhd. Sholihinadalah Sekretaris Divisi Informasi dan Keanggotaan Ikatan Dosen Tetap Non PNS RI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun