Mohon tunggu...
Muhammad Sholihin
Muhammad Sholihin Mohon Tunggu... -

Penikmat air putih, dan pencinta senja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Buruhisasi Dosen

18 September 2017   15:03 Diperbarui: 18 September 2017   15:08 16325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prakteknya pemutusan kontrak cenderung sepihak dari universitas, sehingga dosen kontrak menjadi kelompok yang paling dirugikan. Misalnya, pemutusan kontrak 31 (tiga puluh satu) orang dosen di Universitas Jambi, dan hingga kini dengan nasib yang tak jelas. Prihatinnya, sebagian mereka sudah berusia yang tak lagi muda.

Padahal, kompetensi Dosen Kontrak tak diragukan. Mereka adalah penopang Tri Dharma Perguruan Tinggi serta dimasukkan sebagai dosen tetap dalam borang akreditasi. Tidak sedikit pula dosen kontrak yang memiliki karya ilmiah yang diakui di level nasional, maupun internasional.

Ayang Utriza, Ph.D, Dosen Tetap Non PNS UIN Jakarta adalah contoh konkrit bagaimana pemikir hukum Islam muda ini sangat dihargai di dunia internasional. Berkali-kali melakukan riset kolaborasi, dan mengikuti research fellow di luar negeri dengan artikel yang dipublikasi di jurnal dan penerbit internasional. Tapi sayang prestasi ini belum dianggap layak untuk menjadikannya pegawai negeri sipil.

Tidak sedikit pula Dosen Kontrak yang berusaha melakukan penelitian tanpa mengharapkan dan tergantung pada dana yang dihibahkan oleh negara. Ketiadaan NIDN atau Nomor Induk Dosen Nasional, membuat mereka harus pintar-pintar mencari dana penelitian. Mereka-pun terpaksa merogoh kocek sendiri untuk melakukan penelitian, agar terpenuhinya beban kerja dosen.

Instabilitas Sistem Pendidikan Tinggi

Ketidakpastian status Dosen Kontrak di Perguruan Tinggi Indonesia adalah bukti konkrit bahwa sistem pendidikan tinggi di Indonesia mengalami ketidakstabilan.

Instabilitas sistem tersebut dapat dilihat dari orientasi perguruan tinggi yang masih mendua---antara pasar dan pabrikasi akademik. Belum lagi politik pemerintah yang terkesan pragmatis dalam mencari solusi atas kekurangan dosen di perguruan tinggi negeri, dengan membenarkan adanya dosen kontrak, tapi tidak menyiapkan model yang jelas dan ditopang dengan aturan yang konkrit.

Tanpa dilengkapi dengan regulasi yang jelas, bahkan cenderung multi-tafsir seperti adanya klausa pada PMA (Peraturan Menteri Agama) No. 3 Tahun 2016, dimana pengajian diserahkan kepada kemampuan perguruan tinggi negeri. Ini membuat tingkat kesejahteraan dosen kontrak sangat memprihatinkan.

Jamak diketahui bahwa profesi dosen, bukan sekadar profesi biasa. Ia menuntut kualifikasi akademik yang tinggi. Kemampuan riset dan kemampuan dalam melakukan transformasi ilmu sangat dibutuhkan. Kemampuan ini harus ditunjang dengan sistem apresiasi dan insentif yang terukur.

Apresiasi yang ideal, tentu, tak akan diterima oleh dosen kontrak di Indonesia. Jika pemerintah serius dalam mendorong mutu perguruan tinggi, semestinya rekrutmen CPNS untuk formasi dosen benar-benar relevan dengan berbasis pada track record akademik, terutama riset dan publikasi ilmiah selayaknya di Jepang, dan Perancis.

"Jika pemerintah sungguh-sungguh dalam membenahi produktifitas dosen, maka sistem pengangkatan dosen tetap pada Dosen Kontrak dapat dijadikan role model. Misal, ketika dosen kontrak purna masa kontrak satu kali, dan disertai dengan riset dan publikasi yang mentereng, maka pemerintah dapat mengangkat mereka secara langsung sebagai PNS." Ujar Budi Birahmad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun