Di saat kita ramai berbicara politik dan terorisme, tanpa kita sadari udara yang kita hirup semakin berbahaya. Isu pemanasan global dan perubahan iklim sedang giat-giatnya mengalami peningkatan. Mungkin, kita bersikap skeptis karena menganggap bahwa isu ini adalah isu lama dan terdengar klise. Namun demikian, umat manusia tidak kunjung menuai solusi yang tepat, tapi justru menambah tingkat polusi setiap tahunnya.
Berita-berita tentang isu ini muncul dan seolah "mengancam" kelangsungan hidup manusia. Di halaman internasional, Solopos edisi 3 Mei 2018, memberitakan: "Udara Dunia Makin Beracun". World Health Organization (WHO) melaporkan sebanyak 90 persen manusia di bumi menghirup udara dengan tingkat polutan tinggi yang menyebabkan kematian 7 juta manusia per tahun.
Berlanjut dengan isu yang sama, liputa6.com edisi 6 Mei 2018 memberitakan: "Mengerikan, Level CO2 di Atmosfer Mencapai Tingkat Tertinggi dalam 800 Ribu Tahun". Esok harinya, Solopos edisi 7 Mei 2018 juga memberitakan: "Konsentrasi CO2 di Atmosfer Berbahaya". Tingkat konsentrasi CO2 telah mencapai tingkat tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir yang dianggap oleh para ilmuwan dengan status bahaya.
Ada lagi, "Dampak Mengerikan Perubahan Iklim Tengah Melanda Bumi"Â (mongabay.co.id, 12 Mei 2018). Dikabarkan bahwa terdapat skenario iklim terburuk untuk kota-kota pesisir yang dikenal sebagai "pulse".
Berita-berita semacam ini sebetulnya sudah banyak mengemuka. Tapi, tampaknya kita tidak terlalu peduli dengan fakta-fakta tersebut. Kita terlanjur sibuk berkutat dengan urusan-urusan hidup yang sering kali minus perhatian terhadap lingkungan, apalagi memperhatikan udara yang tak tampak. Mungkin kita terlalu sibuk berpolitik, sibuk mencari penghidupan ekonomis, sibuk bergawai ria, sedangkan lingkungan atmosfer kita semakin memburuk.
Udara selalu saja menjadi "korban" dari polusi hidup manusia. Suhu udara selalu meningkat setiap tahunnya; bumi seolah sedang bekeringat; gunung es di kutub-kutubnya mencair; pemanasan global semakin mejadi; dan iklim pun seolah protes.
Para ilmuwan pun berkali-kali melaporkan tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Akan tetapi, tidak semua orang percaya terhadap laporan tersebut. Bahkan, media daring CNN melaporkan bahwa Presiden Amerika, Donald Thrump, tidak percaya dengan adanya pemanasan global dan perubahan iklim.
Dalam laporan itu, ketidakpercayaan dibuktikan dengan 20 pernyataan Thrump yang paling meremehkan dari tahun ke tahun. Bahkan, ia pernah menganggap bahwa isu itu adalah konspirasi China. Di salah satu quote, ia berkata, "I'm not a believer in man-made global warming..".
Mengapa laporan ilmiah itu tidak dipercaya? Apakah Thrump dan kawan-kawanya tidak percaya lagi dengan kebenaran ilmu pengetahuan?
Barangkali, kita bersikap skeptis seperti Thrump. Kita terlalu sibuk pada urusan-urusan hidup, tanpa ada rasa khawatir terhadap kerusakan lingkungan dan pencemaran udara. Mesin-mesin terus bekerja, memproduksi polusi demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Lingkungan banyak yang rusak dan udara pun semakin berbahaya.
Sebelum Berpuasa
Sebelum kita benar-benar siap untuk menghirup udara di bulan puasa, kita perlu belajar menata kembali kearifan cara pandang kita terhadap lingkungan alam, termasuk pada udara yang kita hirup setiap saat. Memang tidak serta merta pemanasan global dan perubahan iklim itu dapat teratasi. Tapi, minimal cara pandang kita terhadap lingkungan tidak berlaku seperti mesin.
Contoh kecil misalnya di perjalanan. Kita memang memproduksi polusi dari perjalanan mesin-mesin yang kita kendarai. Namun, bila kita tidak bisa berlaku adil terhadap lingkungan dan pengendara lain, melanggar rambu-rambu jalan atau bejalan sewot misalnya, tentu akan menambah masalah dan memperburuk kondisi jalan. Andai udara bisa bicara, barangkali ia akan mengumpat, "Dasar manusia! Sudah berkontribusi polusi, melanggar pula!"
Karena kebiasaan semacam ini pula, kebanyakan dari kita belum memiliki cara pandang yang arif terhadap lingkungan, bahkan seperti kebiasaan yang sepele tentang sampah. Bila kita belum terbiasa untuk membuang sampah pada tempatnya, kemungkinan besar pula kita masih memiliki orientasi berkontribusi polusi, sekaligus melanggar.
Contoh kecil lain misalnya, seperti berak. Barangkali, masih ada sebagian manusia yang masih memiliki kebiasaan seperti hewan. Pernahkan anda masuk WC dan di sana masih ada bau menyengat dan kotoran yang terpajang karena tidak disentor bersih? Atau mungkin, di zaman merebaknya WC umum, kita pernah menjumpai orang dengan seenaknya saja berak atau pipis di pinggir jalan, di depan tanaman, semak-semak, di depan pohon, dan kemudian ditinggal pergi begitu saja?
Mungkin, ini sebagian kecil, tapi sebenarnya dapat menjadi pemicu perilaku pencemar di bidang lain yang lebih ruwet. Lha, mengurus kotoran sendiri saja begitu? Apalagi mengurusi "kotoran" mesin dan pabrik?
Tapi tampaknya, kita perlu belajar pada kucing dalam hal perberakan karena sebetulnya, kucing lebih arif daripada manusia. Kita perhatikan saja, setelah buang kotoran (eek), si kucing akan menimbun kotorannya agar udara tidak tercemar oleh bau eeknya. Konon, karena perilakunya ini, si kucing dijuluki sebagai duta lingkungan.
Baiklah, kita cukupkan masalah eeknya. Ini baru perkara berak. Intinya, untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan, terutama pemicu terjadinya pemanasan global yang berbuntut pada perubahan iklim, hal pertama yang perlu diatasi adalah cara pandang kita terhadap lingkungan. Bila umat manusia di dunia ini memiliki cara pandang yang arif terhadap lingkungan, mulai dari tertib berak atau membuang sampah pada tempatnya misalnya, saya kira mudah untuk menghentikan masalah isu ini, apapun cara, metode, dan strateginya.
Sekali lagi, sebelum kita benar-benar siap untuk menghirup udara di bulan puasa, kita perlu mempersiapkan diri agar bisa berlaku arif terhadap lingkungan. Karena puasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tetapi menjaga diri dari perilaku dosa, termasuk dosa terhadap lingkungan.
Letusan Gunung Merapi pada hari Jumat, 11 Mei lalu barangkali adalah sebuah peringatan alam bagi kita. Bila kita tidak mengindahkan peringatan itu, apakah perlu kita menunggu udara berunjuk rasa pada manusia? Dan kemudian, lagu Ebiet yang berjudul Berita Kepada Kawan bersenandung:
/Mungkin Tuhan mulai bosan/ /melihat tingkah kita/ /yang selalu salah dan bangga/ /dengan dosa-dosa/ /atau alam mulai enggan/ /bersahabat dengan kita/ /cobalah kita bertanya pada/ /rumput yang bergoyang/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI