Sebelum kita benar-benar siap untuk menghirup udara di bulan puasa, kita perlu belajar menata kembali kearifan cara pandang kita terhadap lingkungan alam, termasuk pada udara yang kita hirup setiap saat. Memang tidak serta merta pemanasan global dan perubahan iklim itu dapat teratasi. Tapi, minimal cara pandang kita terhadap lingkungan tidak berlaku seperti mesin.
Contoh kecil misalnya di perjalanan. Kita memang memproduksi polusi dari perjalanan mesin-mesin yang kita kendarai. Namun, bila kita tidak bisa berlaku adil terhadap lingkungan dan pengendara lain, melanggar rambu-rambu jalan atau bejalan sewot misalnya, tentu akan menambah masalah dan memperburuk kondisi jalan. Andai udara bisa bicara, barangkali ia akan mengumpat, "Dasar manusia! Sudah berkontribusi polusi, melanggar pula!"
Karena kebiasaan semacam ini pula, kebanyakan dari kita belum memiliki cara pandang yang arif terhadap lingkungan, bahkan seperti kebiasaan yang sepele tentang sampah. Bila kita belum terbiasa untuk membuang sampah pada tempatnya, kemungkinan besar pula kita masih memiliki orientasi berkontribusi polusi, sekaligus melanggar.
Contoh kecil lain misalnya, seperti berak. Barangkali, masih ada sebagian manusia yang masih memiliki kebiasaan seperti hewan. Pernahkan anda masuk WC dan di sana masih ada bau menyengat dan kotoran yang terpajang karena tidak disentor bersih? Atau mungkin, di zaman merebaknya WC umum, kita pernah menjumpai orang dengan seenaknya saja berak atau pipis di pinggir jalan, di depan tanaman, semak-semak, di depan pohon, dan kemudian ditinggal pergi begitu saja?
Mungkin, ini sebagian kecil, tapi sebenarnya dapat menjadi pemicu perilaku pencemar di bidang lain yang lebih ruwet. Lha, mengurus kotoran sendiri saja begitu? Apalagi mengurusi "kotoran" mesin dan pabrik?
Tapi tampaknya, kita perlu belajar pada kucing dalam hal perberakan karena sebetulnya, kucing lebih arif daripada manusia. Kita perhatikan saja, setelah buang kotoran (eek), si kucing akan menimbun kotorannya agar udara tidak tercemar oleh bau eeknya. Konon, karena perilakunya ini, si kucing dijuluki sebagai duta lingkungan.
Baiklah, kita cukupkan masalah eeknya. Ini baru perkara berak. Intinya, untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan, terutama pemicu terjadinya pemanasan global yang berbuntut pada perubahan iklim, hal pertama yang perlu diatasi adalah cara pandang kita terhadap lingkungan. Bila umat manusia di dunia ini memiliki cara pandang yang arif terhadap lingkungan, mulai dari tertib berak atau membuang sampah pada tempatnya misalnya, saya kira mudah untuk menghentikan masalah isu ini, apapun cara, metode, dan strateginya.
Sekali lagi, sebelum kita benar-benar siap untuk menghirup udara di bulan puasa, kita perlu mempersiapkan diri agar bisa berlaku arif terhadap lingkungan. Karena puasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tetapi menjaga diri dari perilaku dosa, termasuk dosa terhadap lingkungan.
Letusan Gunung Merapi pada hari Jumat, 11 Mei lalu barangkali adalah sebuah peringatan alam bagi kita. Bila kita tidak mengindahkan peringatan itu, apakah perlu kita menunggu udara berunjuk rasa pada manusia? Dan kemudian, lagu Ebiet yang berjudul Berita Kepada Kawan bersenandung:
/Mungkin Tuhan mulai bosan/ /melihat tingkah kita/ /yang selalu salah dan bangga/ /dengan dosa-dosa/ /atau alam mulai enggan/ /bersahabat dengan kita/ /cobalah kita bertanya pada/ /rumput yang bergoyang/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H