Literasi dulu, Literasi lagi, Literasi terus.
Salam Literasi!
Begitu boomingnya 'Literasi' membumi di tanah Legenda. Siap membentuk generasi unggul jiwa muda penerus bangsa. Siapkah kita dengan Literasi?
Segelintir orang tersenyum bangga melihat perkembangan literasi yang pesat. Sebagian akan mempertanyakan kembali, bahkan segelintir lagi akan mencibir dengan adanya Literasi. Termasuk manakah kita? Sebuah pertanyaan yang hanya terjawab secara jujur dalam hati masing-masing.
Seperti apakah literasi? Siapa pelaku literasi? Bagaimana bentuk literasi? Mengapa Literasi? Dimanakah literasi? Akankah literasi membawa perubahan?
Berbagai pertanyaan di atas akan mengawali perkenalan kita dengan sebuah kata "literasi".
Tak perlu cemas! Semuanya membutuhkan proses, proses perkenalan, walaupun sebenarnya "literasi" bukan "barang" baru. Literasi dapat kita lihat dalam sejarah para ilmuwan, politikus, ..... bahkan para pahlawan. Semuanya tak lepas dari literasi.
Sejarah mengatakan banyak diantara mereka yang sudah mendarah daging dengan literasi berhasil membawa kemenangan. Akankah kita berkaca pada sejarah nyata yang memang dengan literasi membawa perubahan?
Wallahu'alam.
Berbicara tentang literasi, penulis teringat ketika diberangkatkan untuk melakukan pelatihan di Adelaide, Australia Selatan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Disana literasi bukan lagi sebagai teori, namun sudah menjadi kebutuhan hidup. Penerapan literasi sudah berabad-abad yang lalu terlaksana, dan hasilnya Adelaide hidup dengan manusia-manusia literat.
Pelatihan yang dialami selama di Adelaide, merupakan sejarah penting. Berbagai pembelajaran yang didapat adalah amanah yang harus diterapkan. Bercermin dari kehidupan masyarakat di Adelaide, ada harapan semoga suatu hari bisa melihat Indonesia tercinta memiliki manusia-manusia literat.
Harapan dan keinginan dalam diri sepulang dari Adelaide, sudah dipersiapkan untuk melangkah pada perubahan. Dimulai dari lingkungan terkecil, diri sendiri, keluarga, dan di lingkungan kelas yang kita pegang. Berbagai pengalaman yang berharga ditemui selama pelatihan  siap untuk diterapkan, pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan di lingkungan sekolah.
Perlakuan pertama kepada siswa adalah menerapkan budaya baca. Siswa dianjurkan untuk membawa buku cerita dari rumahnya untuk dikumpulkan dan disimpan di kelas. Buku tersusun rapi di atas sebuah meja dipinggir lemari. Siswa membaca buku ketika pembelajaran bahasa Indonesia. Buku dijadikan salah satu sumber pembelajaran. Sebagai referensi yang bisa digunakan ketika pembelajaran bahasa Indonesia.
Pada waktu istirahat terlihat beberapa siswa yang membuka buku. Walau hanya membuka, sudah terhitung lumayan. Bahkan mereka yang meluangkan waktunya untuk membaca masih terhitung jari. Memerlukan tenaga ekstra untuk membawa siswa pada pembiasaan membaca. Cara lain adalah memberikan contoh yang nyata. Penulis pun meluangkan membaca buku-buku yang ada, sebagai pemicu kepada siswa. Dengan waktu yang tidak sebentar, ada beberapa siswa yang mengikuti jejak gurunya untuk membaca bersama.
Ketika diberikan kesempatan untuk mengajar di kelas 2, sempat terpikir berbagai pertanyaan. Pertanyaan tersebut sempat muncul demi sebuah kata "Literasi". Bagaimanakah membiasakan budaya baca pada siswa kelas bawah? Apakah orang tua siap dengan memberikan bantuan untuk program budaya baca ini? Bisakah kelas bawah yang notabene masih belajar membaca bisa digiring pada sebuah kebiasaan baru?  Apakah bahan bacaan siswa akan tersedia? Akan bosankah siswa dengan budaya baca? Dan banyak kecemasan lain yan muncul. Semua kecemasan itu ada karena menerapakan pembiasaan  membaca pada siswa kelas bawah dengan kelas atas itu berbeda. Apalagi sebelumnya siswa belum terbiasa dengan budaya baca.
Akhirnya dengan berbekal tekad dan juga literasi, ditemukan beberapa model yang akan dilakukan. Model ini diharapkan membawa perubahan pada pembiasaan siswa. Model yang digunakan salah satunya adalah PWIM (Picture-Word Inductive Models). PWIM atau juga Model Induktif Kata Bergambar dikembangkan oleh Emily Calhoun (19:2016). Menurutnya model ini dirancang dari suatu penelitian tentang bagaimana para siswa tidak hanya bisa melek huruf pada huruf cetak, khususnya menulis dan membaca, tetapi juga mengembangkan bagaimana mendengarkan dan mengucapkan kosakata.
Model induktif kata bergambar ini memadukan model berfikir induktif dan model pencapaian konsep ketika pada siswa belajar kata-kata, kalimat-kalimat, dan paragraf-paragraf
Model induktif kata bergambar adalah pendekatan seni bahasa yang terintegrasi dan berorientasi penelitian untuk mengembangkan kemampuan baca tulis. Â Setiap siklus model induktif kata bergambar (PWIM) menggunakan sebuah foto besar sebagai stimulus umum untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat-kalimat.Â
Guru bekerja dengan seluruh siswa atau dengan kelompok kecil siswa, menggunakan gerakan-gerakan yang meliputi siklus PWIM untuk mendukung perkembangan bahasa lisan dan kosakata siswa; kesadaran fonologi mereka dan keterampilan analisis kata mereka; pemahaman bacaan dan penyusunan kata, frase, kalimat, paragrap, dan level buku bacaan yang semakin luas; serta keterampilan observasi dan penelitian mereka.
Ketika pembelajaran di kelas, siklus PWIM dimulai dengan sebuah foto yang diberikan kepada siswa. Foto tersebut ditempel di papan tulis. Foto yang diberikan meliputi banyak detail yang akan dijelaskan siswa dengan menggunakan bahasa mendengarkan-berbicara mereka yang telah berkembang. Siswa di kelas mempelajari gambar dan kemudian mengeluarkan kata-kata, memasukan representasi dan tindakan-tindakan yang mereka lihat dalam gambar ke dalam kata-kata.
Guru menggambar sebuah garis dari benda-benda yang berada dalam foto ke suatu tempat di luar foto, mengulang kata, dan menulis serta mengeja kata atau frasa dengan keras. Siswa mengulang kata tersebut. Pola yang diberikan adalah melihat, mengucap, mengeja, mengucapkan. Rantai yang terjadi merupakan rantai mnemonic (membantu menghapal) yang membantu dasar mengucapkan dan mengeja kata-kata. Apa yang muncul ketika siswa mengidentifikasi item-item dan tindakan-tindakan adalah kamus kata-gambar yang diilustrasikan.
Selanjutnya dimulai dengan membuat kartu-kartu kata individual kepada siswa. Para siswa menulis kata-kata yang telah diucapkan bersama, dan menulisnya dalam kartu yang sudah disediakan. Â Siswa disuruh untuk mengecek apakah kata-kata yang dibuat sesuai dengan foto yang ditampilkan. Kemudian guru berkeliling untuk melihat kegiatan siswa ketika siswa sudah mulai membaca kata-kata yang dibuat.
Siklus selanjutnya adalah siswa dibagi dalam beberapa kelompok, masing-masing kelompok sebanyak 5-6 orang. Setiap kelompok diberikan gambar (setiap kelompok diberikan gambar yang berbeda), karton, kertas lipat, dan lem. Gambar di tempel di tengah-tengah karton. Siswa berkelompok dan mengamati gambar yang telah diberikan.Kemudian siswa menyebutkan kata-kata atau frasa yang terlihat dalam gambar.
Setelah mengamati, siswa mempersiapkan kertas lipat, kemudian digunting untuk dijadikan kartu kata. Siswa menuliskan kata-kata yang ditemukan di gambar dalam kertas lipat yang sudah tersedia, kemudian menarik garis dari gambar ke luar gambar dan disambungkan dengan kertas lipat yang sudah dituliskan kata-kata atau frasa. Setiap kelompok melakukan hal yang sama.
Setiap kelompok menuliskan sebanyak-banyaknya kata yang dapat ditemukan. Setelah selesai menempelkan kertas lipat, siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan. Semua kelompok ke depan dan menceritakan gambar yang telah ditempel di karton. Siswa yang tidak mempresentasikan menanggapi laporan dari kelompok yang ada di depan.
Setelah selesai mempresentasikan, guru memberikan tanggapan dan masukan untuk setiap kelompok yang tampil. Selesai berdiskusi kelas, karton hasil kerja kelompok dijadikan pajangan di dinding kelas.
Kesan yang dapat diambil dari kegiatan pembelajaran dengan PWIM, siswa aktif melakukannya, siswa senang dapat menyampaikan pendapatnya dalam kelompok. Senang untuk berbagi cerita kepada teman-temannya sekelas ketika berdiskusi di kelas, terlihat senang juga ketika memberikan pendapat dan masukan untuk kelompok yang sedang mempresentasikan.
Kegiatan pembelajaran di kelas 2. Selain dengan PWIM, mereka juga dibiasakan untuk membaca buku cerita yang dibawa dari rumah masing-masing. Siswa membaca buku dan mereviu dengan cara menuliskan hasil yang dibaca dengan bentuk mind maping yang sederhana.
Pembuatan mind maping dilakukan dengan diawali dengan menulis judul ditengah kertas dengan bentuk yang disukai siswa. Dari judul yang telah dibentuk ditarik garis dengan isi dari bacaan, yaitu tentang tokoh, watak, latar, pengarang, penerbit, dan juga amanat dari cerita yang dibaca.
Hasil reviu siswa ditulis dalam kertas HVS yang dibagikan oleh gurunya. Selain dibentuk dengan mind maping yang sederhana, siswa memberi warna yang menarik pada reviuwnya. Penggunaan spidol dan crayon warna-warni yang digunakan menambah keindahan pada hasil yang dibuat. Setelah dibuat, hasil siswa dipajang di dinding kelas. Siswa senang sekali dengan hasil yang telah dibuatnya. Pembuatannya pun membuat siswa tidak jenuh dalam belajar.
Dari buku cerita yang dibawa juga, siswa ditugasi untuk mencari kata-kata yang diawali dengan awalan me- dan di-. Siswa secara berkelompok menuliskan kata-kata yang dimaksud dalam kertas HVS. Dari setiap buku yang dibaca siswa sangat antusias mencari kata-katanya.
Siswa terlihat senang, beberapa dari kelompok yang mengerjakan tugas terlihat lebih banyak dari kelompok lain. Hal itu membuat siswa yang lain terpacu untuk lebih dalam mengerjakan tugasnya. Setelah waktu yang diberikan selesai, siswa melaporkan hasilnya di depan kelas. teman-temannya menanggapi dan memberikan masukan. Semua kelompok dapat melaporkan hasil diskusinya, guru menanggapi dan memberi masukan pada setiap kelompok.
Hasil akhirnya, kembali dilakukan pemajangan di dinding kelas.Pencarian kata-kata dari buku cerita, selain sebagai pengenalan kepada siswa tentang cerita juga membuat siswa lebih sering dalam membaca. Dengan melakukan pencarian tersebut, siswa secara tidak langsung melakukan analisis terhadap buku yang dibacanya.
Di kesempatan lain, siswa menggunakan buku cerita sebagai sumber inspirasi dalam menggambar. Buku cerita yang digunakan kelas bawah adalah buku gambar dengan banyak gambar. Siswa dengan berbekal buku ceritanya menggambarkan kembali salah satu gambar yang disenanginya. Memang tidak semua siswa dapat menggambar dengan baik, tetapi setidaknya, mereka mencoba melakukan yang terbaik dalam melaksanakan tugasnya. Siswa dengan semangatnya pula dapat menyelesaikan tugas menggambar dengan melihat gambar yang ada dalam buku cerita.
Kegiatan literasi yang dilakukan siswa kelas 2 SD Negeri Ibu Jenab 2 mendapat dukungan dari Ibu Kepala Sekolah. Setelah mengamati kegiatan yang dilakukan dan memperdalam tentang literasi, akhirnya Kepala Sekolah dengan segera mencanangkan kegiatan Literasi di sekolah.
Pencanangan sebagai sekolah dengan komunitas baca di SD Negeri Ibu Jenab 2 Cianjur, diberi nama yaitu lelembut oleh Ibu Kepala Sekolah. Pelaksanaannya pada hari Senin tanggal 02 Mei 2016, bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional. Dengan dicanangkannya komunitas baca "lelembut" di sekolah, kelas lain pun mengikuti kegiatan literasi di setiap kelas. Dari mulai kelas satu sampai kelas enam melaksanakan gerakan literasi.
Berbagai kegiatan dilakukan dikelas masing-masing, selain pelaksanaan Literasi di kelas tinggi dilakukan sesuai dengan GLS, yaitu pembacaan buku non pelajaran 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, juga menyanyikan lagu nasional diawal pembelajaran, juga menyanyikan lagu daerah setelah pembelajaran. Bersamaan dengan diluncurkannya Gerakan Literasi Sekolah dari Kemdikbud, Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Dinas Pendidikannya juga sudah mulai melakukan gerakan literasi sekolah yang diwadahi dengan nama WJLRC (West Java Leader's Reading Challenge's).
Pelaksanaannya setiap hari Selasa pada pukul 13.00. Siswa yang mengikuti sebanyak 40 siswa mendapat bimbingan dari guru pembimbingnya. Siswa yang ikut dalam program ekstrakurikuler WJLRC sebanyak 40 orang terdiri dari siswa kelas 4, 5, dan 6. Siswa peserta WJLRC ini dibimbing oleh delapan pembimbing yang secara sukarela mengajukan diri, siswa mengikuti program Literasi lelembut di sekolah dengan senang.
Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan program WJLRC Jawa Barat, dengan berbekal buku panduan, buku saku, dan workshop yang diikuti. Â Setiap anggota WJLRC diberikan kesempatan membaca bukunya sebanyak 24 buku. Buku yang dibaca harus divalidasi oleh guru pembimbing dan pustakawan. Validasi dilakukan karena sekarang banyak buku untuk anak-anak, tetapi isinya merupakan konsumsi untuk dewasa. Dari jumlah 24, dua buku yang diharapkan dibaca adalah buku berbahasa daerah. Hal itu dikarenakan kurangnya minat baca pada buku bahasa daerah.
Selain dalam ekstrakurikuler, dalam kegiatan jeda pun kami tetap membudayakan membaca, di sela-sela bermain, kami sempatkan untuk melakukan presentasi dan diskusi. Kami senang, membaca buku bukan sebagai suatu tugas, tapi kami mengikutinya karena memang kami senang membaca.
Pembimbing yang ikut dalam WJLRC pun ikut dalam membaca. Guru mempunyai tagihan sebanyak 10 buku yang harus direviu, dua diantaranya adalah buku berbahasa daerah. Bruce (2015) mengatakan guru haruslah mempunyai kompetensi agar bisa mendorong siswa untuk mengungkapkan perasaan dengan bebas; mendorong siswa untuk menjabarkan masalah; menerima dan mengapresiasi perasaan-perasaan; selalu mendiskusikan masalah dengan siswa; memberikan wawasan lebih mendalam dan mengembangkan tindakan yang lebih positif.Â
Russel Stauffer, 60 tahun, pembicara kunci pada pembukaan workshop metode mengajar membaca berbasis pengalaman yang bersifat induktif, menyatakan bahwa membaca adalah berfikir. Guru membaca adalah guru berpikir. Anda tidak akan mengajar anak-anak membaca atau berpikir dengan menunjukkannya secara langsung. Apa yang dapat anda lakukan adalah membantu mereka mengembangkan strategi-strategi yang dapat mereka gunakan untuk mempelajari huruf-huruf, kata-kata dan struktur serta, yang paliing penting, untuk merasakan arti dari apa yang mereka baca.Â
Begitu berartinya membaca bagi semua merupakan jalan menuju pencerahan. Tanggung jawab tersebut salah satunya dipundak guru. Guru sebagai pembuka jalan menuju pencerahan haruslah mempunyai pola pikir yang inovatif. Dengan membaca banyak manfaat yang bisa dicapai, salah satunya adalah jalan penumbuhkembangan karakter. Melalui penumbuhan budaya baca merupakan satu alur yang memang sangat berkaitan. Tanpa budaya baca nilai-nilai karakter tidak akan tumbuh dengan sendirinya.
Kegiatan yang dilakukan di sekolah, membuka pintu siswa menjadi generasi emas 2025. Hal itu disadari atau tidak haruslah dijalankan dengan konsekuensi yang tinggi. Serta konsistensi bagi semua stakeholder yang terkait. Semoga gaung 'literasi' di Nusantara, membawa perubahan yang berarti.
Aamiin Ya Rabbal 'alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H