Demokrasi di Indonesia, yang telah menjadi pilar utama sejak reformasi 1998, kini menghadapi tantangan serius. Isu pembangkangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi muncul di berbagai level pemerintahan dan dalam berbagai bentuk, mulai dari pelanggaran terhadap hak-hak sipil hingga upaya untuk melemahkan institusi demokrasi. Fenomena ini mengindikasikan krisis legitimasi yang dapat mengancam keberlanjutan demokrasi di Indonesia jika tidak segera diatasi.
Salah satu tanda pembangkangan demokrasi di Indonesia terkini adalah erosi terhadap nilai-nilai demokrasi, khususnya dalam hal penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan dalam kasus-kasus pelanggaran kebebasan berpendapat, di mana individu-individu yang kritis terhadap pemerintah atau tokoh-tokoh politik tertentu dihadapkan pada ancaman hukum, persekusi, dan intimidasi. Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap kali dipakai untuk menjerat para pengkritik, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kebebasan berpendapat semakin tergerus.
Selain itu, kebebasan pers yang seharusnya menjadi pilar utama dalam demokrasi juga semakin dibatasi. Tekanan terhadap media massa, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah menciptakan iklim ketakutan dan membatasi ruang untuk kritik dan diskusi publik yang sehat.Â
Media yang independen dan kritis terhadap kebijakan pemerintah sering kali dihadapkan pada ancaman pencabutan izin atau pembatasan akses informasi. Hal ini mengakibatkan menurunnya kualitas demokrasi, di mana masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang objektif dan kritis.
Kontrol Terhadap Lembaga Demokrasi
Pembangkangan terhadap demokrasi juga tercermin dari upaya untuk mengontrol dan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), dan lembaga-lembaga pemilu menjadi target upaya pelemahan oleh berbagai kepentingan politik. Revisi terhadap Undang-Undang KPK yang mengurangi independensi lembaga ini, serta intervensi politik dalam pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi, adalah contoh bagaimana institusi-institusi demokrasi dilemahkan secara sistematis.
Kontrol terhadap lembaga-lembaga ini tidak hanya melemahkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Ketika lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga integritas demokrasi justru menjadi alat kekuasaan, maka demokrasi itu sendiri berada dalam ancaman yang serius.
Salah satu yang essensial dalam melihat demokrasi berjalan adalah dalam proses pemilu, yang seharusnya menjadi manifestasi paling jelas dari demokrasi juga acapkali tidak luput dari pembangkangan. Manipulasi dalam proses pemilu, baik melalui politik uang, penggunaan aparat negara untuk kepentingan politik, atau melalui pengaturan hasil pemilu, menjadi tantangan serius bagi demokrasi di Indonesia. Pemilu yang seharusnya menjadi sarana untuk mengekspresikan kehendak rakyat secara bebas dan adil, sering kali dinodai oleh praktik-praktik yang merusak integritas proses demokrasi.
Fenomena "dinasti politik" juga menunjukkan adanya pembangkangan terhadap semangat demokrasi. Keluarga-keluarga politik yang mendominasi kekuasaan di berbagai daerah cenderung memanfaatkan posisi mereka untuk mempertahankan kekuasaan secara turun-temurun, sering kali dengan cara-cara yang tidak demokratis. Hal ini tidak hanya menghambat regenerasi politik, tetapi juga mengurangi partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat.
Respon Publik dan Gerakan Sipil
Meskipun ada tanda-tanda jelas dari pembangkangan demokrasi, tidak berarti bahwa publik Indonesia tidak merespon. Justru sebaliknya, ada peningkatan dalam kesadaran dan gerakan masyarakat sipil yang menolak pembangkangan ini. Gerakan-gerakan sosial, baik yang muncul secara spontan maupun yang terorganisir, seperti aksi protes menolak revisi UU KPK atau demonstrasi menolak RUU KUHP yang kontroversial dan yang terkini adalah demonstrasi menolak hasil keputusan DPR yang mengabaikan keputusan MK, menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kepedulian yang tinggi terhadap demokrasi.
Gerakan-gerakan ini, meskipun sering kali dihadapkan pada represifitas aparat dan upaya delegitimasi oleh pemerintah, tetap menunjukkan semangat untuk mempertahankan demokrasi. Namun, tantangan terbesar bagi gerakan-gerakan ini adalah bagaimana mereka dapat mengkonsolidasikan kekuatan mereka untuk memberikan tekanan yang efektif terhadap penguasa, serta menjaga keberlanjutan perjuangan mereka di tengah tekanan yang terus meningkat. Tentu sebagai masyarakat, kita tidak boleh lengah akan praktik-praktik inkonstitutional yang bermuara pada pembangkangan demokrasi.Â
 Masa Depan Demokrasi di Indonesia
Pembangkangan terhadap demokrasi di Indonesia menimbulkan pertanyaan penting tentang masa depan demokrasi itu sendiri. Jika tren ini dibiarkan tanpa perlawanan yang efektif, maka bukan tidak mungkin demokrasi Indonesia akan semakin tergerus dan beralih menjadi bentuk pemerintahan yang otoriter atau semi-otoriter. Ini akan menjadi kemunduran yang signifikan dari pencapaian reformasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Namun, masih ada harapan jika masyarakat dan lembaga-lembaga sipil mampu mengambil peran aktif dalam mengawal demokrasi. Penguatan partisipasi politik, baik melalui pemilu yang bersih dan adil, maupun melalui gerakan-gerakan sosial yang menuntut transparansi dan akuntabilitas, menjadi kunci untuk membendung arus pembangkangan demokrasi.
Selain itu, pendidikan politik yang mendorong kesadaran kritis terhadap pentingnya nilai-nilai demokrasi perlu terus ditingkatkan. Generasi muda, yang akan menjadi penerus bangsa, perlu dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, demokrasi di Indonesia dapat bertahan dan berkembang menjadi lebih matang dan inklusif.
Pembangkangan terhadap demokrasi di Indonesia terkini mencerminkan krisis legitimasi yang mengancam keberlanjutan demokrasi itu sendiri. Erosi nilai-nilai demokrasi, kontrol terhadap lembaga-lembaga demokrasi, manipulasi dalam proses pemilu, serta munculnya dinasti politik, adalah tanda-tanda dari masalah ini. Meskipun demikian, respon dari masyarakat sipil menunjukkan bahwa demokrasi masih memiliki harapan untuk dipertahankan.
Untuk melindungi dan memperkuat demokrasi di Indonesia, diperlukan upaya kolektif dari semua elemen masyarakat, termasuk lembaga-lembaga negara yang independen dan gerakan-gerakan sipil yang kuat. Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menghadapi dan melawan pembangkangan ini, serta menjaga integritas dan legitimasi sistem demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak reformasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H