Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12%Â (PPN 12%)Â yang direncanakan oleh pemerintah telah memicu gelombang kritik dan penolakan dari masyarakat. Kebijakan ini dianggap memberatkan karena diterapkan pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19. Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan nasional dan pemulihan ekonomi. Namun, banyak pihak menilai kebijakan tersebut tidak tepat waktu dan kurang memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artikel ini akan membahas alasan-alasan utama di balik penolakan kebijakan tersebut.
Beban Ekonomi yang Meningkat
Salah satu dampak langsung dari kenaikan PPN adalah peningkatan harga barang dan jasa. Pajak ini diterapkan pada sebagian besar transaksi, sehingga lonjakan PPN akan menyebabkan harga kebutuhan sehari-hari melonjak, meskipun beberapa barang kebutuhan pokok dikecualikan. Kondisi ini akan memperburuk daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.
Pada saat daya beli masyarakat masih rapuh akibat pandemi, kebijakan ini dianggap memberatkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi meningkat sebesar 4% pada tahun sebelumnya, yang sebagian besar didorong oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Dengan kenaikan PPN, inflasi diperkirakan akan terus meningkat, sehingga menekan daya beli rumah tangga.
Kelompok masyarakat miskin adalah yang paling rentan terhadap dampak kebijakan ini. Ketika sebagian besar pendapatan digunakan untuk kebutuhan pokok, kenaikan harga akibat pajak yang lebih tinggi akan memaksa mereka untuk mengurangi pengeluaran di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Juga jangan lupa, beberapa waktu lalu pemerintah telah menaikan harga BBM bersubsidi yang tentunya menaikan harga barang dan jasa di hampir semua lini kehidupan masyarakat. Hal ini berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi dan semakin membebani masyarakat Indonesia.
Ketimpangan dalam Pembagian Beban Pajak
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan secara universal kepada konsumen. Hal ini berarti, pajak ini bersifat regresif, di mana masyarakat berpenghasilan rendah menanggung beban pajak yang lebih besar secara proporsional dibandingkan masyarakat kaya. Misalnya, bagi keluarga berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan transportasi dapat mencapai 70-99% dari total pendapatan mereka, sedangkan untuk keluarga kaya, proporsinya jauh lebih kecil.
Ketimpangan ini menimbulkan kritik bahwa kebijakan kenaikan PPN tidak adil. Dalam situasi ekonomi yang sulit, masyarakat berharap pemerintah lebih fokus pada pajak langsung, seperti pajak penghasilan, yang lebih progresif dan membebani masyarakat kaya secara proporsional. Namun, implementasi pajak langsung seringkali terkendala oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia.
Kurangnya Kepercayaan terhadap Pengelolaan Anggaran
Keberatan lain terhadap kenaikan PPN adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan anggaran negara. Meskipun pajak merupakan sumber utama pendapatan negara, masyarakat sering kali mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut. Kasus korupsi dan proyek infrastruktur yang dianggap tidak efisien telah memperkuat skeptisisme publik.