Sebagai seorang mahasiswa yang tinggal di Yogyakarta, saya memiliki pengalaman unik yang memberikan banyak pelajaran berharga tentang keberagaman, toleransi, dan kebersamaan. Selama empat tahun terakhir, kos saya berada di lokasi yang sangat menarik, yaitu di antara dua tempat ibadah: masjid di sebelah kiri dan gereja di sebelah kanan. Lokasi ini tidak hanya menjadi tempat tinggal sementara, tetapi juga menjadi ruang belajar tentang bagaimana masyarakat dengan keyakinan berbeda dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Yogyakarta adalah kota yang dikenal dengan semangat multikulturalisme dan toleransinya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari luar kota, tinggal di kota ini membuka mata saya terhadap berbagai perbedaan yang ternyata dapat memperkaya kehidupan. Dalam artikel ini, saya ingin berbagi refleksi tentang bagaimana saya mempersiapkan diri menyambut Natal tahun ini, cara saya mengekspresikan kasih dan kesederhanaan, serta bagaimana saya memaknai tema Natal tahun ini, "Kembali ke Betlehem," dari perspektif seorang Muslim.
Tinggal di Antara Dua Tempat Ibadah
Tinggal di antara masjid dan gereja memberikan saya banyak pengalaman yang mengesankan. Setiap pagi, suara azan dari masjid mengingatkan saya untuk memulai hari dengan doa dan rasa syukur. Di sisi lain, setiap Minggu pagi, suara lonceng dari gereja menyebarkan suasana damai yang khas. Kedua suara ini seolah-olah menjadi harmoni yang menenangkan hati.
Tidak hanya itu, saya sering melihat interaksi positif antara kedua komunitas ini. Ketika gereja mengadakan perayaan besar seperti Natal, masjid membantu dengan mengatur lalu lintas dan memberikan ruang parkir tambahan. Sebaliknya, saat masjid mengadakan acara besar seperti buka puasa bersama, jemaat gereja turut membantu memberikan dukungan logistik. Hal-hal ini mengajarkan saya bahwa toleransi bukan hanya tentang menghormati keyakinan orang lain, tetapi juga tentang saling membantu dalam kebaikan.
Sebagai mahasiswa, saya sering menggunakan waktu luang untuk berinteraksi dengan tetangga sekitar. Saya melihat bagaimana komunitas masjid dan gereja saling menjaga hubungan baik. Mereka menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang untuk membangun persaudaraan.
Persiapan Menyambut Natal Tahun Ini
Tahun ini, Natal terasa lebih istimewa karena saya berkesempatan untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan lingkungan sekitar. Gereja di sebelah kos saya biasanya mengadakan berbagai acara, mulai dari misa malam Natal hingga pembagian sembako untuk masyarakat sekitar. Sebagai bentuk dukungan, saya juga akan membantu dengan mengemandoi anak muda di lingkungan kos saya untuk menjaga parkiran  atau hanya sekedar memastikan akses jalan tetap lancar.
Di sisi lain, masjid di sebelah kos saya juga aktif mengadakan kegiatan sosial, seperti penggalangan dana untuk kaum dhuafa. Saya merasa bahagia bisa menjadi bagian dari dua komunitas yang sama-sama berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang harmonis. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa perayaan keagamaan, terlepas dari agama apa pun, adalah momen untuk berbagi kasih kepada sesama.
Kasih dan Kesederhanaan: Nilai Universal di Tengah Keberagaman
Sebagai seorang Muslim, saya percaya bahwa nilai-nilai kasih dan kesederhanaan merupakan inti dari setiap ajaran agama. Dalam Islam, kasih diwujudkan melalui konsep rahmatan lil 'alamin, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal yang sama juga saya lihat dalam ajaran Kristen, terutama dalam perayaan Natal.
Kasih tidak harus diwujudkan dalam bentuk materi. Bagi saya, kasih ialah tentang kepedulian kepada orang lain, seperti membantu tetangga yang membutuhkan, mendukung kegiatan sosial, atau sekadar memberikan senyuman tulus kepada orang yang kita temui. Kasih adalah bahasa universal yang melampaui batas agama, budaya, dan suku bangsa.
Kesederhanaan juga menjadi nilai penting yang saya pelajari dari dua tempat ibadah di sekitar kos saya. Baik masjid maupun gereja dihias dengan sederhana tetapi tetap memancarkan keindahan spiritual. Hal ini mengingatkan saya bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada hal-hal material, melainkan pada hubungan yang tulus dengan Tuhan dan sesama manusia.
Makna "Kembali ke Betlehem" dalam Kehidupan Sehari-hari
Tema Natal tahun ini, "Kembali ke Betlehem," memiliki makna yang sangat relevan, bahkan bagi saya sebagai seorang Muslim. Betlehem adalah tempat kelahiran Nabi Isa, yang juga dihormati dalam Islam sebagai salah satu nabi besar. Tema ini mengajak kita untuk kembali ke akar kehidupan yang sederhana dan penuh makna.
Dalam kehidupan sehari-hari, "Kembali ke Betlehem" mengingatkan saya untuk tidak terjebak dalam ambisi duniawi. Sebagai mahasiswa, saya sering merasa tertekan oleh tuntutan akademik dan ekspektasi masa depan. Namun, tema ini mengajarkan saya untuk kembali kepada nilai-nilai dasar kehidupan, seperti kejujuran, kerendahan hati, dan rasa syukur.
Selain itu, "Kembali ke Betlehem" juga mengajarkan tentang pentingnya keluarga dan komunitas. Seperti keluarga kecil di Betlehem yang menerima kelahiran Yesus dengan penuh kasih, kita juga diajak untuk menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan dukungan bagi orang-orang di sekitar kita.
Harmoni dalam Keberagaman di Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota yang menjadi rumah bagi berbagai suku, agama, dan budaya. Tinggal di kota ini memberikan saya kesempatan untuk belajar tentang pentingnya harmoni dalam keberagaman. Masjid dan gereja di sekitar kos saya ialah contoh nyata bagaimana dua komunitas dengan keyakinan berbeda dapat hidup berdampingan secara damai.
Saya masih ingat momen ketika masjid mengadakan buka puasa bersama dan mengundang jemaat gereja untuk ikut serta. Begitu pula saat Natal tiba, jemaat gereja mengundang warga sekitar, termasuk Muslim, untuk hadir dalam perayaan sederhana mereka. Momen-momen seperti ini menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya slogan, tetapi praktik nyata yang mempererat persaudaraan kita sebagai warga negara.
Sebagai mahasiswa, saya tidak hanya membaca buku, tapi juga sering berdialog dengan teman-teman dari berbagai latar belakang agama. Percakapan ini membantu saya memahami bahwa setiap agama memiliki inti ajaran yang sama: kasih, kesederhanaan, dan kedamaian. Dialog seperti ini penting untuk menghilangkan prasangka dan membangun saling pengertian.
Penutup: Natal dan Pelajaran Kehidupan
Natal adalah momen yang memberikan banyak pelajaran, bahkan bagi mereka yang tidak merayakannya secara langsung. Tinggal di antara masjid dan gereja selama empat tahun terakhir telah memperkaya pemahaman saya tentang arti kasih, kesederhanaan, dan toleransi.
Sebagai mahasiswa di Yogyakarta, saya merasa bersyukur bisa belajar dari lingkungan yang mendukung keberagaman. Tema Natal tahun ini, "Kembali ke Betlehem," mengingatkan saya untuk selalu kembali kepada nilai-nilai dasar kehidupan: kejujuran, kerendahan hati, dan kasih terhadap sesama.
Semoga Natal tahun ini membawa kedamaian bagi semua yang merayakan, sekaligus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus memperkuat harmoni dalam keberagaman. Dari masjid di sisi kiri dan gereja di sisi kanan, saya belajar bahwa persaudaraan sejati ialah tentang saling memahami, mendukung, dan mencintai tanpa melihat perbedaan. Selamat Natal 2024.
Referensi
Armstrong, K. (1993). A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam. Knopf.
Armstrong, K. (2006). The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions. Knopf.
Haryatmoko. (2016). Etika Politik dan Kekuasaan: Pergulatan Membumikan Nilai dan Moralitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurcholish Madjid. (1995). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
Pohl, C. D. (1999). Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition. Eerdmans
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H