Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cari Kota Terbaik untuk Slow Living: Perspektif Mahasiswa Jogja

21 Desember 2024   09:05 Diperbarui: 21 Desember 2024   09:34 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih Bermakna dengan Konsep Slow Living

Apa sih itu slow living dan mengapa kita perlu menjalankannya? Slow living itu sendiri ialah konsep hidup yang mendorong kita untuk memperlambat tempo hidup dan lebih menikmati setiap momen, mengurangi kecepatan yang biasanya dipacu oleh tuntutan hidup yang serba cepat. Berawal dari gerakan slow food di Italia pada akhir 1980-an, slow living kini berkembang menjadi filosofi hidup yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Ini adalah tentang menjalani hidup dengan lebih sadar, penuh perhatian, dan tidak terburu-buru.

Dalam kehidupan yang sering kali dibayangi oleh deadline dan tekanan, slow living menjadi sebuah pelarian yang menenangkan. Konsep ini menekankan pentingnya kualitas daripada kuantitas, mengajak kita untuk tidak sekadar mengisi hari-hari dengan aktivitas, tetapi dengan pengalaman yang bermakna. Bagi saya, sebagai mahasiswa, ini merupakan kesempatan untuk mencari keseimbangan di tengah kesibukan akademik yang tak berujung.

Kota Istimewa dengan Keindahan Alam dan Kehidupan yang Santai

Rombongan kirab budaya Nitilaku saat sampai di Balairung dengan disambut jajaran pimpinan UGM.  (Sumber: Harian Jogja/Triyo Handoko)
Rombongan kirab budaya Nitilaku saat sampai di Balairung dengan disambut jajaran pimpinan UGM.  (Sumber: Harian Jogja/Triyo Handoko)

Bagi saya, Yogyakarta adalah kota yang sangat mendukung konsep slow living. Sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM), saya merasa sangat beruntung karena Yogyakarta tidak hanya kaya akan budaya dan sejarah, tetapi juga menawarkan banyak tempat untuk melepaskan penat dan menikmati kehidupan dengan lebih tenang. Di sini, saya bisa melarikan diri sejenak dari rutinitas kuliah dengan menikmati alam dan suasana kota yang menenangkan.

Kota ini menawarkan banyak pilihan destinasi wisata alam yang mendukung gaya hidup slow living, seperti gunung-gunung yang cocok untuk mendaki di sekitar Jogja. Gunung Prau, misalnya, adalah salah satu destinasi pendakian yang cocok dan cukup populer, terutama bagi pendaki pemula. Aktivitas hiking seperti mendaki Gunung Prau bukan hanya menawarkan pemandangan alam yang luar biasa, tetapi juga memberikan manfaat besar bagi kesehatan mental. Mendaki gunung memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkan, serta kesempatan untuk bersatu dengan alam dan merenung jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Dan tentunya jangan khwatir buat kalian yang suka mendaki, di sekitar Daerah Istimewah Yogyakarta masih banyak stok gunung yang bisa kalian kunjungi bersama kawan-kawan. Sebut aja Sindoro, Sumbing serta Merbabu yang terkenal itu juga di sekitar Jogja kok, masih kurang? Tenang, masih ada gunung Lawu dan puncak tertinggi Jawa yang masing mudah kita akses dari kota Istimewa ini.

Selain itu, Yogyakarta juga memiliki pantai-pantai indah yang memberikan suasana santai. Pantai Siung, Pantai Krakal, Pantai Parangtritis, Pantai Depok, dan Pantai Krakal adalah destinasi yang menawarkan keunikan juga pemandangan yang memukau, di mana kita bisa duduk dan menikmati waktu santai sambil menikmati angin laut. Banyak kafe yang dibangun di sekitar pantai dengan pemandangan langsung ke laut, menciptakan suasana yang ideal untuk bersantai. Kafe-kafe tersebut juga hadir di dataran tinggi, memberikan pengalaman slow living yang berbeda, di mana kita bisa menikmati udara segar sambil menikmati minuman hangat di ketinggian.

Ketenangan di Tengah Kesibukan Akademik; Cerita Slow Living di Kotanya Para Aktivis

Jalan Malioboro Yogyakarta (Sumber: Pinterest/@arif_josselalu)
Jalan Malioboro Yogyakarta (Sumber: Pinterest/@arif_josselalu)

Slow living di Yogyakarta bukan hanya tentang aktivitas outdoor, tetapi juga suasana kota yang mendukung gaya hidup santai. Meskipun Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan kesibukan anak kampus, terutama sebagai kota pendidikan yang dipenuhi para aktivis, namun di sini kita masih bisa menemukan ruang untuk memperlambat ritme hidup. Salah satu contoh adalah kafe-kafe yang tersebar di berbagai sudut kota, yang menawarkan suasana klasik nan nyaman untuk menikmati waktu bersama kawan atau hanya sekadar merenung.

Beberapa kafe di daerah dataran tinggi Yogyakarta, misalnya, menyuguhkan pemandangan yang luar biasa, baik itu berupa pemandangan gunung atau lembah hijau. Di sini, kita bisa menikmati kopi sambil bercengkerama dengan teman-teman atau sekadar menikmati ketenangan. Begitu pula dengan pasar-pasar tradisional seperti Malioboro dan Pasar Beringharjo, yang menawarkan atmosfer yang unik dan penuh dengan cerita. Berjalan-jalan di tempat-tempat ini memberi kesempatan untuk menikmati keindahan budaya dan melambatkan langkah, meresapi setiap detail yang mungkin terlewatkan dalam kesibukan sehari-hari.

Namun, salah satu tempat yang sangat mencerminkan konsep slow living di Yogyakarta adalah Kopi Merapi dan Klotok. Kopi Merapi adalah kafe yang terletak di kaki Gunung Merapi dan menawarkan pengalaman ngopi yang tak terlupakan dengan pemandangan gunung yang memukau. Tempat ini terkenal bukan hanya di kalangan warga lokal, tetapi juga telah menarik perhatian para mahasiswa, artis, hingga pejabat-pejabat tinggi. Suasana yang nyaman, pemandangan alam yang menenangkan, dan kopi yang nikmat membuat kafe ini menjadi destinasi wajib bagi siapa saja yang ingin menikmati slow living di Yogyakarta. Begitu juga dengan Klotok, kafe yang terletak di daerah lereng Merapi, yang menawarkan pemandangan alam yang luar biasa serta suasana yang sangat tenang. Kedua tempat ini sangat cocok bagi mereka yang ingin bersantai, menikmati kopi, dan menikmati ketenangan di tengah kesibukan sehari-hari.

Mendaki Gunung dan Menikmati Alam

Perjalanan menuju puncak Prau (Sumber: Instagram.com/@nusuki_igon)
Perjalanan menuju puncak Prau (Sumber: Instagram.com/@nusuki_igon)

Bagaimana aktivitas outdoor membantu slow living? Hiking sebagai salah satu kunci kesehatan mental kita. Aktivitas hiking adalah cara yang sangat efektif untuk mendalami konsep slow living. Salah satu gunung yang sering saya daki adalah Gunung Prau. Gunung ini terkenal dengan jalur pendakian yang ramah bagi pemula dan pemandangan indah yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Puncak gunung ini menyuguhkan panorama yang menakjubkan, terutama saat matahari terbit. Pengalaman ini memberi saya ketenangan dan kedamaian yang sulit saya dapatkan di tengah kesibukan kampus.

Mendaki gunung, seperti Gunung Prau, tidak hanya memberi kesempatan untuk menikmati pemandangan, tetapi juga membantu meredakan stres dan meningkatkan kesehatan mental. Saat berada di alam, saya merasa lebih terhubung dengan diri sendiri, dan perasaan lelah dari tugas-tugas kuliah seolah hilang begitu saja. Selain itu, hiking juga melibatkan aktivitas fisik yang baik untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan, yang berkontribusi pada keseimbangan hidup yang saya cari.

Kapan Waktu yang Tepat untuk Memulai Slow Living?

Ayo bergabung dengan konsep hidup yang lebih mindful! Mengadopsi slow living tidak harus dilakukan secara drastis. Mulailah dengan langkah-langkah kecil seperti meluangkan waktu untuk diri sendiri, menikmati momen sederhana tanpa tergesa-gesa. Anda bisa memulainya dengan mengurangi waktu yang dihabiskan di depan layar gadget, atau merencanakan akhir pekan untuk berlibur ke tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota.

Bagi saya, mencoba menjalani slow living dimulai dengan menghargai waktu yang saya miliki. Saya mulai lebih menikmati aktivitas sehari-hari yang sederhana, seperti berjalan-jalan di kampus tanpa tergesa-gesa, duduk di kafe sambil menulis, atau menghabiskan waktu di taman. Semua ini membantu saya merasa lebih fokus dan mengurangi stres yang timbul dari kesibukan kuliah.

Yogyakarta sebagai Kota Ideal untuk Slow Living

Suasana malam Malioboro (Sumber: instagram.com/apipjunot) 
Suasana malam Malioboro (Sumber: instagram.com/apipjunot) 

Apakah kota ini cukup menarik untuk menjadi tempat slow living? Ya tentu saja. Yogyakarta adalah kota yang sangat ideal untuk menjalani slow living. Selain memiliki banyak tempat wisata alam yang menakjubkan, Yogyakarta juga memiliki atmosfer kota yang tidak terlalu sibuk, dengan banyak ruang terbuka hijau dan kafe-kafe nyaman. Kota ini memberikan kesempatan bagi saya dan banyak orang untuk menikmati kehidupan dengan lebih santai tanpa kehilangan akses ke berbagai fasilitas penting.

Tidak hanya itu, harga hidup di Yogyakarta juga terjangkau, menjadikannya pilihan yang tepat bagi siapa saja yang ingin menjalani slow living tanpa tekanan finansial yang besar. Di sini, kita bisa menikmati ketenangan alam dan budaya tanpa harus merasa terburuk oleh tuntutan hidup yang serba cepat. Semua ini membuat Yogyakarta menjadi kota yang sempurna untuk memperlambat langkah hidup dan menemukan kedamaian batin.

Kota seperti apa yang ideal untuk slow living? Kota yang ideal untuk slow living adalah kota yang memiliki keseimbangan antara kehidupan modern dan alam yang menenangkan. Kota tersebut harus memiliki akses mudah ke tempat-tempat alam seperti gunung, pantai, dan taman-taman hijau, serta tidak terlalu sibuk dengan aktivitas perkotaan yang memicu stres. Selain itu, kota tersebut juga harus menyediakan ruang bagi warganya untuk menikmati hidup dengan lebih sadar dan bermakna, seperti kafe-kafe nyaman, pasar tradisional, dan ruang terbuka untuk bersantai.

Yogyakarta, dengan keindahan alamnya, kafe-kafe yang nyaman, dan budaya yang kaya, jelas merupakan kota yang sangat cocok untuk menjalani gaya hidup slow living. Bagi saya, Yogyakarta adalah tempat di mana saya bisa merasa lebih tenang, menikmati momen-momen kecil, dan menjalani kehidupan dengan lebih mindful dan penuh perhatian.

Referensi

Ara, S. (2023). Slow Living: Hidup Bukanlah Pelarian tapi Perjalanan. Syalmahat Publishing.

KlikDokter. (n.d.). Manfaat Slow Living untuk Mental dan Tips Melakukannya. Diakses dari https://www.klikdokter.com

Larasati, A. K., Novitasari, D., Pinandita, P. H., & Putri, A. D. (2023). Slow Living: Hidup Bukanlah Pelarian tapi Perjalanan. Jurnal Literaksi, 1(1), 1-10.

Lontar UI. (n.d.). Kajian karakteristik ruang dalam prinsip slow living sebagai respon terhadap kehidupan modern. Diakses dari https://lontar.ui.ac.id

Parkins, W., & Craig, G. (2006). Slow Living. Berg Publishers.

Steager, T. (2006). Slow living by Wendy Parkin and Geoffrey Craig. Food, Culture & Society, 9(1), 113-115.

Tranter, P., & Tolley, R. (2020). The 'slow paradox': how speed steals our time. Dalam Slow Cities (hlm. 45-60). Elsevier.

Tempo.co. (n.d.). Menggali Filosofi dan Manfaat Slow Living, Ketenangan dalam Hidup Modern. Diakses dari https://www.tempo.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun