Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Budaya Politik dan Efeknya pada Kebijakan Publik Indonesia, PPN 12 Persen Bukti Nyata?

19 Desember 2024   06:51 Diperbarui: 20 Desember 2024   02:58 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: "Budaya Politik Indonesia: Mencerminkan Sejarah dan Tantangan Kebijakan Publik" (Sumber: Igon Nusuki))

Budaya politik memainkan peran yang sangat signifikan dalam membentuk dinamika kebijakan publik di setiap negara. Budaya politik dapat didefinisikan sebagai pola orientasi psikologis masyarakat terhadap sistem politik yang mencakup nilai-nilai, keyakinan, dan sikap terhadap institusi politik. Pola ini memengaruhi bagaimana individu maupun kelompok memahami, merespons, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks kebijakan publik, budaya politik menjadi salah satu faktor penentu yang memengaruhi perumusan, implementasi, dan efektivitas kebijakan tersebut.

Di Indonesia, budaya politik memiliki karakteristik yang kompleks. Pengaruh sejarah kolonial menciptakan pola hubungan patron-klien yang masih bertahan hingga saat ini, sementara pluralisme masyarakat dengan beragam etnis, agama, dan budaya turut membentuk dinamika politik yang unik. Selain itu, dominasi politik patrimonial dan oligarki sering kali memperkuat ketimpangan dalam representasi dan distribusi kebijakan.

Kali ini, kita akan mengkaji bagaimana budaya politik di Indonesia memengaruhi kebijakan publik, dengan memberikan perhatian khusus pada tantangan dan peluang yang muncul. Salah satu contoh yang relevan adalah kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan fiskal pemerintah, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya politik memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut dan partisipasi mereka dalam proses politik. Pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan ini dapat membantu menciptakan kebijakan publik yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Budaya Politik: Definisi dan Kategori

Menurut Almond dan Verba (1963), budaya politik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: parokial, subjek, dan partisipatif. Budaya politik parokial terjadi ketika masyarakat memiliki kesadaran politik yang rendah dan cenderung pasif. Budaya subjek menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi, tetapi partisipasi masyarakat masih terbatas. Sebaliknya, budaya politik partisipatif mencerminkan masyarakat yang sadar dan aktif terlibat dalam proses politik.

Indonesia memiliki campuran ketiga jenis budaya politik tersebut, tergantung pada wilayah dan kelompok masyarakat. Di daerah perkotaan, budaya politik partisipatif lebih dominan, sementara di daerah pedesaan, budaya parokial sering kali masih kuat. Kombinasi ini menciptakan dinamika yang unik dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan publik.

Pengaruh Budaya Politik terhadap Kebijakan Publik

Dominasi Politik Patrimonial

Salah satu ciri khas budaya politik di Indonesia adalah dominasi politik patrimonial, di mana hubungan patron-klien mendominasi struktur politik. Dalam konteks ini, kebijakan publik sering kali dirancang untuk memenuhi kepentingan kelompok elit atau patron, bukan kebutuhan masyarakat luas. Winters (2016) mencatat bahwa politik patrimonial menciptakan ketergantungan masyarakat pada patron untuk akses terhadap sumber daya, yang pada akhirnya mengurangi akuntabilitas pemerintah.

Sebagai contoh, dalam distribusi anggaran pembangunan, keputusan sering kali didasarkan pada kepentingan politik lokal daripada analisis kebutuhan yang obyektif. Hal ini menghasilkan kebijakan publik yang bias dan tidak merata, terutama di daerah terpencil. Peningkatan PPN dari 11% menjadi 12%, misalnya, sering kali dipandang sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan fiskal pemerintah dibandingkan upaya untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Keterlibatan publik yang minim dalam diskusi kebijakan ini memperkuat persepsi bahwa kebijakan pajak lebih cenderung didorong oleh elit daripada kebutuhan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun