Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Liberté, égalité, fraternité.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selamat Tinggal PILKADA: Panggung untuk Para Ilusionis Kekuasaan

13 Desember 2024   04:30 Diperbarui: 1 Januari 2025   07:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PILKADA, ajang demokrasi lokal yang seharusnya menjadi wadah bagi pemimpin sejati untuk muncul, kini tak ubahnya panggung bagi para ilusionis kekuasaan. Dengan janji-janji klise dan retorika kosong, para calon bersaing merebut hati rakyat tanpa visi dan arah yang jelas. Kali ini, mari kita lihat lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dalam fenomena ini.

Panggung Para Pahlawan Tanpa Capaian

PILKADA iyalah tempat di mana siapa pun bisa bermimpi menjadi pahlawan tanpa capaian, raja tanpa mahkota, atau pemimpin tanpa arah. Para calon muncul dengan percaya diri berlebihan, meski kapasitas mereka sering kali tak lebih dari dan hanya cukup untuk mengelola grup WhatsApp keluarga. Dengan senyum lebar dan jargon bombastis, mereka berusaha meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah penyelamat yang ditunggu-tunggu.

Namun, mari kita lihat solusi yang mereka tawarkan. Sebagian besar hanyalah daftar janji usang yang didaur ulang dari pemilu ke pemilu. Apakah mereka berbicara tentang perubahan? Tentu. Tetapi perubahan seperti apa? Itu pertanyaan yang sering kali tak mampu mereka jawab dengan jelas. Pada akhirnya, PILKADA menjadi panggung ilusi di mana visi sejati digantikan dengan janji-janji yang sekadar enak didengar.

Hasrat Berkuasa Tanpa Cinta pada Rakyat

Mengapa mereka begitu berambisi? Apakah karena cinta pada rakyat? Sayangnya, itu jarang terjadi. Hasrat mereka lebih sering didorong oleh mimpi pribadi: kekayaan, kehormatan, dan tentu saja pengawalan polisi setiap kali mereka keluar rumah. Dengan titel "pemimpin," mereka merasa memiliki akses tak terbatas ke privilese yang sebelumnya hanya bisa mereka impikan.

Ironinya, ambisi ini sering kali datang tanpa kesiapan atau keinginan untuk memikul tanggung jawab. Mereka berteriak lantang, "Saya siap memimpin!" Namun, semakin keras teriakan mereka, semakin jelas bahwa yang mereka kejar hanyalah sorotan panggung, bukan esensi kepemimpinan. Dalam demokrasi ideal, PILKADA seharusnya menjadi mekanisme untuk memilih pemimpin sejati. Sayangnya, yang sering muncul justru penguasa bayangan yang hanya mampu menciptakan janji kosong.

Manipulasi Massa: Janji yang Tak Pernah Ditepati

Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemampuan para ilusionis ini dalam memanipulasi massa. Dengan modal retorika dan pencitraan, mereka berhasil membuat sebagian rakyat percaya bahwa perubahan nyata sedang menanti. Namun, realitasnya, perubahan itu jarang sekali datang.

Mereka berjanji memperbaiki pendidikan, tetapi sekolah-sekolah tetap kekurangan dana. Mereka berbicara tentang lapangan kerja, tetapi yang tercipta hanyalah peluang bagi kroni-kroni mereka. Akhirnya, rakyat kembali terjebak dalam siklus harapan palsu yang terus berulang setiap lima tahun.

Bukankah suara rakyat seharusnya menjadi alat perubahan? Tapi jika suara ini hanya digunakan untuk mendudukkan orang yang tak tahu apa-apa tentang pelayanan publik, apa gunanya semua ini?

Sistem yang Gagal: Antara Popularitas dan Integritas

Masalahnya bukan hanya pada para calon, tetapi juga pada sistem yang memungkinkan mereka naik ke panggung politik. Dalam sistem PILKADA kita, kemampuan beretorika lebih dihargai daripada kapasitas nyata. Popularitas sering kali mengalahkan integritas, dan slogan-slogan kosong lebih menarik daripada visi yang terukur.

Sistem ini menciptakan kondisi di mana pemimpin sejati tersingkir oleh aktor politik yang hanya mahir memoles citra. Akibatnya, PILKADA menjadi sirkus politik di mana rakyat hanya menjadi penonton yang pasif, sementara para "pemain" sibuk berlomba menunjukkan ilusi terbaik mereka.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita keluar dari lingkaran setan ini? Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Kritis dalam Memilih
    Rakyat harus lebih kritis dalam memilih. Jangan biarkan retorika kosong dan pencitraan murahan menipu kita lagi. Pastikan calon yang dipilih memiliki rekam jejak dan visi yang nyata.

  2. Reformasi Sistem
    Kita perlu mendorong reformasi dalam sistem pemilu lokal. Proses seleksi harus diperketat untuk memastikan hanya kandidat yang benar-benar layak yang bisa maju.

  3. Pengawasan Berkelanjutan
    Tanggung jawab rakyat tidak berhenti di bilik suara. Setelah mereka terpilih, kita harus terus mengawasi dan memastikan mereka menjalankan janji-janji yang mereka buat.

  4. Edukasi Politik
    Edukasi politik sangat penting untuk memastikan masyarakat memahami peran mereka dalam demokrasi. Dengan pemahaman yang lebih baik, rakyat bisa menjadi pengawas yang efektif.

Selamat Tinggal, Panggung Sandiwara

Selamat tinggal PILKADA, panggung sandiwara di mana janji-janji besar diucapkan tanpa dasar, dan mimpi-mimpi kosong dijual kepada rakyat yang lelah. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat perubahan malah menjadi arena bagi ego pribadi untuk bersinar.

Meski PILKADA mungkin masih akan ada, ilusi yang menyertainya harus dihentikan. Karena jika tidak, demokrasi kita tak akan pernah menjadi lebih dari sekadar pertunjukan tanpa substansi. Jika kita menginginkan perubahan nyata, kita harus melampaui retorika dan mulai memilih dengan hati dan pikiran yang terbuka. Hanya dengan begitu, panggung ini bisa berubah dari ilusi menjadi kenyataan.

Referensi

ANTARA News. (2024). Integritas Pilkada 2024 untuk demokrasi berkualitas. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4496541/integritas-pilkada-2024-untuk-demokrasi-berkualitas

Kumparan. (2024). Kasus jual beli suara dan manipulasi data pemilih perusak masa depan bangsa. Diakses dari https://kumparan.com/aqila-nadyaningrum-1727707325459565914/kasus-jual-beli-suara-dan-manipulasi-data-pemilih-perusak-masa-depan-bangsa-23cvbeSdVnF

Rumah Pemilu. (2016). Sistem integritas lokal. Diakses dari https://rumahpemilu.org/sistem-integritas-lokal

Saputra, Y. (2024). Mewujudkan Pilkada berintegritas. Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diakses dari https://ilmuhukum.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/789/mewujudkan-pilkada-berintegritas

Universitas Muhammadiyah Jakarta. (2024). Money politics dalam penyelenggaraan pemilu. Diakses dari https://umj.ac.id/opini/money-politics-dalam-penyelenggaraan-pemilu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun