Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syekh Makdum Kusen, Penyerangan Pajajaran dan Lahirnya Braen

23 Maret 2024   14:14 Diperbarui: 23 Maret 2024   14:28 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Syekh Makdum Kusen, digambar oleh Okta Prihastono

Seri Sejarah Perdikan Cahyana #4

Babad Cahyana menceritakan Pangeran Munding Wangi yang telah bersalin nama menjadi Syekh Jambu Karang menjadi pemimpin Cahyana yang pertama. Beliau meng-Islamkan pengikutnya lalu bersama Syekh Atas Angin mengenalkan Islam ke masyarakat di sekitar lereng timur Gunung Slamet.

Konon, ada pengikut yang tak mau mengikuti kepercayaan baru, kemudian menyingkir ke hutan yang ada di sekitar Cahyana dan disebut dengan Suku Mijajaran atau Pijajaran atau Wong Alas Carang Lembayung. ( Kisahnya bisa dibaca di sini )

Syekh Jambu karang meninggal tak lama setelah menikahkan puterinya dengan Syekh Atas Angin.  "Kacariyos mboten antawis lami, Pangeran Jambu Karang seda, kinurmatan dening Sang Pangeran Atas Angin, kunarpa kasarehan ing Giri Lawet". ( Cerita Syekh Jambu Karang bisa dibaca di sini )

Setelah itu, tampuk kepemimpinan dipimpin oleh Syekh Atas Angin. Mubaligh itu disebutkan tinggal dan memimpin Cahyana selama 45 tahun. Setelahnya, pulang ke Tanah Arab.

Perkawinannya dengan Rubiah Bekti,  Syekh Atas Angin menurunkan tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu Makdum Husen, Makdum Madem, Makdum Umar, Rubiah Raja, dan Rubiah Sekar. Mereka, seperti ayah dan kakeknya, kemudian menyebarkan Agama Islam, bahkan sampai ke luar wilayah Cahyana. ( Kisah tentang Rubiah Bekti bisa dibaca di sini )

Sebagai putera tertua, Makdum Husein atau Makdum Kusen atau disebut juga Pangeran Kayu Puring kemudian melanjutkan kepemimpinan di Cahyana. Saat menggantikan ayahnya, Ia dikenal dengan Syekh Makdum Husen. Makamnya di Desa Rajawana, Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga. 

"Sakonduripun Pangeran Atas Angin dhateng Arab, kalenggahan kagantosan ingkang putra pambajeng, nama Pangeran Mahdum Kusen".

Gerbang Makam Syekh Makdum Kusen (Dok. Pribadi)
Gerbang Makam Syekh Makdum Kusen (Dok. Pribadi)

Adiknya, Makdum Madem berkelana untuk menyebarkan Agama Islam sampai di Cirebon, Jawa Barat. Ia meninggal dan dimakamkan di kota udang itu. Semasa hidup, dikenal dengan Syekh Makdum Madem. Berikutnya, Makhdum Umar atau Makdum Ngumar juga melanglang buana sampai menyeberang pulau dalam dakwahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Anak perempuan Syekh Atas Angin pun menjadi penyebar Agama Islam. Rubiah Raja yang mendapatkan tambahan gelar depan Nyai berpindah ke daerah Ragasela, Pekalongan dan meninggal di sana. Adapun Si Bungsu Rubiah Sekar berkiprah di Banjarnegara. Makam Nyai Rubiah Sekar ada di Jambangan, Banjarnegara.

Penyerangan Pajajaran

Saat Syekh Makdum Kusen menjadi pemimpin Cahyana, terjadi peristiwa penyerangan dari Kerajaan Pajajaran. Penyebabnya, mereka tidak rela pangeran junjungannya, Raden Munding Wangi dan keturunannya berpindah kepercayaan menjadi Islam. Pajajaran juga menghendaki Cahyana masih menjadi wilayah bawahannya.

Suatu ketika, Makdum Kusen yang tidak lain adalah cucu Raden Munding Wangi dipanggil menghadap ke Istana Pajajaran. Namun, Makdum Kusen tidak berkenan dan menolak perintah itu. Raja Pajajaran pun murka, lantas, mengirimkan prajurit untuk menyerang Cahyana. "Sareng sawetawis lami, kagungan panggalih murang boten kersa kaereh ing Pajajaran. Sareng kepiren Sang Nata, sanget andadosaken dukanipun. Ing Cahyana lajeng andikakaken nglurugi, kalampahan dipun lurugi".

Syekh Makdum Kusen tentu tidak tinggal diam. Mengetahui Prajurit Pajajaran sudah sampai di sebelah barat Sungai Tambra yang berarti sudah mendekat ke Cahyana, Ia pun menyusun siasat sekaligus bermunajat kepada Allah SWT agar diberi pertolongan.

"Eh, sakhabat-sakhabat ingsun kabeh, saanane padha sira rumaktiya nadhani mungsuh kang ambek wani ing dina sesuk siaga lawan. Kacariyos ing wanci dalu, Sang Pangeran lajeng Sholat Hajat, nenuwun ing Allah. Sakalaing antariksa gumrenggeng sabawaning tawon ingkang sami ngrumiyini methukaken yudha mengsah dhateng tiyang Pajajaran. Prajurit Pajajaran saklangkung risak keprejaya dening tawon".

 Saat tengah bersiap menyerang Cahyana, Prajurit Pajajaran disergap lebih dulu oleh barisan Tawon Gung. Mereka kewalahan oleh serangan pasukan lebah. Pasukan Pajajaran menyingkir, lalu membuat kemah di sebelah barat sungai, di luar wilayah Cahyana untuk menyusun strategi penyerangan ulang.

Syekh Makdum Kusen berdoa kembali kepada Allah SWT. Ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah antara Cahyana dengan Pasukan Pajajaran yang notabene merupakan leluhurnya. Doanya dikabulkan dalam bentuk karomah dari Allah SWT yang memunculkan jin untuk memporakporandakan perkemahan Pasukan Pajajaran.

"Sang Pangeran mireng aturing sakhabat bilih yudhanipun kaseser, lajeng manekung malih, manuwun ing Allah, lajeng wonten Jim dhateng sagah ambibaraken mingsah wau. Kalampahan Jim punika lajeng ngrubeda dhateng Prajurit Pajajaran angkalngkung giris dening pangrubeding dhateng prajurit Pajajaran, wekasan sami bibar antuk anggendring"

 Akibat serangan Jin, mereka kocar kacir dan akhirnya terpaksa pulang ke Pajajaran. 'Sabibaring mengsah, Sang Pangeran andhawahaken sabda : "Ing kalen tilase tarub mungsuh saka Pajajaran iku dakarani Kali Muli'.

Kisah ini juga memunculkan versi baru mengenai Suku Pijajaran, yaitu, bukan sisa pengikut Raden Munding Wangi yang tak mau masuk Islam, melainkan sisa pasukan Pajajaran yang malu pulang ke kerajaannya karena gagal menjalankan tugas menaklukan Cahyana.

Lahirnya Braen

Ceritanya, untuk mengatasi penyerangan itu, Pangeran Makdum Kusen meminta para perempuan/santriwati untuk memainkan rebana besar yang disebut dengan terbang. Setelah menuliskan syair doa untuk dilantunkan, Syekh Makdum Kusen bermunajat kepada Allah SWT. Ketika pasukan Pajajaran datang, suara dengung dari permainan rebana besar itu berubah menjadi kawanan Tawon Gung yang menyerang Pasukan Pajajaran dan membuat mereka kalang kabut.

Dari peristiwa inilah, tradisi memainkan rebana besar alias terbang dan menyanyikan puji-pujian kepada Sang Maha Pencipta yang disebut Kesenian Braen muncul. Masyarakat di wilayah bekas Perdikan Cahyana masih melestarikan kesenian itu hingga kini.

Mihrab Masjid Syekh Makdum Kusen di Desa Rajawana (Dok. Pribadi)
Mihrab Masjid Syekh Makdum Kusen di Desa Rajawana (Dok. Pribadi)

Syekh Makdum Kusen atau Pangeran Kayu Puring dimakamkan di Desa Rajawana, Kecamatan Karangmoncol. Hingga kini, makam generasi ketiga pemimpin Cahyana yang terletak di lereng bukit itu ramai dikunjungi peziarah. Ada juga Masjid Syekh Makdum Kusen di desa tersebut dengan mihrab kuno yang dipercaya merupakan peninggalannya.

Selengkapnya bisa dibaca di buku "Cahyana Karobal Minal Mu'minin" yang bisa dipesan ke penulis ya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun