Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Shawn Cruden: Dari Rotterdam Menelusuri "Balung Pisah" Leluhurnya di Purbalingga

14 Maret 2024   09:27 Diperbarui: 15 Maret 2024   10:01 2442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shawn Cruden (kiri), Ia di Purbalingga bersama Keluarga Pak Hudi (tengah) dan Soekiah (kanan) leluhurnya (Gambar Kolase by Historia Perwira)

"Dear mister Saputra, Piye kabare? I am a descendant of Lasijah and Soekiah. My name is Shawn and you have already spoken to my distant cousin Stephanie and uncle Soekram. I am currently in Indonesia and I'm planning to visit Purbalinga this week. Would it be possible to meet each other ? Hope to hear from you soon. Kind regards, Shawn Cruden"

 "Tuan Saputra yang terhormat, Piye kabare? Saya keturunan Lasijah dan Soekiah. Nama saya Shawn dan Anda sudah berbicara dengan sepupu jauh saya Stephanie dan paman Soekram. Saat ini saya berada di Indonesia dan berencana mengunjungi Purbalinga minggu ini. Apakah mungkin untuk bertemu satu sama lain? Berharap untuk mendengar kabar dari Anda segera. Salam baik, Shawn Cruden"

 Kalimat itu sampai di inbox FB Messenger di penghujung Februari lalu. Surprise juga ada orang asing ngajak ngobrol, bahasanya gado-gado pula, pakai 'piye kabare'.. hehe.

Awalnya aku kira spam, tetapi Ia menyebut nama Soekiah juga Stephanie. Voila, hal itu membuat saya ingat sekira 3 tahun lalu pernah membantu Stephanie, Warga Negara Suriname mencari jejak leluhurnya, Soekiah, yang dibawa Belanda dari Purbalingga.

Akhirnya aku respon pesannya dan saling berbalas berikutnya di WhatsApp. Namanya Shawn Cruden, Lelaki, 32 tahun, tinggal di Rotterdam, Belanda. Ia mengaku sepupu dari Stephanie Kramawitana.

"Oh berarti sama-sama keturunan Orang Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname. Kalau dilihat dari foto profile wajahnya emang kejawa-jawaan. Eh, tapi kok nama keluarganya kebarat-baratan ya, tidak seperti Stephanie yang meski nama depannya western tetap menggunakan nama belakang Jawa Kramawitana, Ia menggunakan nama depan ala bule nama belakangnya Cruden yang kebule-bulean juga..," pikirku penasaran dan langsung aku tanyakan ke dia.

Begini ceritanya, Ia dan Stephanie ternyata memang sama-sama cucu buyut dari Soekiah. Jadi, ibunya Shawn adalah Aroenah yang adalah anak dari Sarijah dimana merupakan anak dari Soekiah. Soekiah -- Sarijah -- Aroenah -- Shawn.

Sarijah ini menikah dengan Talib Madiksan, sesama warga Suriname keturunan Jawa sehingga nama Ibunya Shawn tidak menyandang Kramawitana lagi, tetapi jadi Aroenah Madiksan.

Lalu, kenapa Shawn menggunakan marga Cruden? Sebab, ibunya Aroenah menikah dengan Remy Cruden. Pak Remy Cruden ini keturunan Afrika -- Skotlandia. So, Si Shawn ini ada Jawa -- Afrika -- Eropa dalam darahnya.

Shawn dengan Bapaknya Remy Cruden dan Ibunya Aroenah Madiksan (Dok : FB Shawn Cruden)
Shawn dengan Bapaknya Remy Cruden dan Ibunya Aroenah Madiksan (Dok : FB Shawn Cruden)

Mula-mula, sejak Soekiah dibawa Belanda dan beranak pinak, keturunannya menetap di Suriname. Keluarganya Shawn tinggal di Paramaribo, ibukota negara itu.

Nah, sekira 12 tahun lalu, Shawn dan keluarganya berpindah ke Belanda yang memang masih berhubungan dekat dengan Suriname sebagai negara bekas jajahannya. Shaw dan keluarganya menjadi warga Negara Kincir Angin itu dan tinggal di Kota Rotterdam.

Shawn penasaran sama leluhurnya di Jawa, apalagi Ia merupakan seorang pembuat film dokumenter. Jadi, Ia pun meluangkan waktu mengunjungi Indonesia, tujuannya untuk plesiran (sebelum ke Purbalingga Ia ke Bali, Jogja dan kota lainnya), riset sosial budaya sekaligus mencari 'balung pisah' nenek moyangnya di Purbalingga.

Shawn pun kontak dengan Stephanie dan Soekram Madiksan yang dulu pernah kontak dengan saya dan disarankan untuk menghubungi saya. Oleh karena itu, sebelum Shawn ke Purbalingga saya yang dikontaknya dulu.

Ok Gas! Singkat kata Shawn sampai di Purbalingga. Kami pun bertemu di Kedai Pojok Taman Kota.

Saya undang Meneer Ari Grobbe, warga Purbalingga keturunan Belanda yang juga sering mendampingi para pencari 'balung pisah' dari Suriname/Belanda seperti Shawn.

Saya undang juga Pak Kris Hauw, tokoh Tionghoa yang selalu tertarik dengan isu sosial -- budaya dan lingkungan juga datang Rully, Tryan dari komunitas sosial dan pecinta alam.

Ngobrol bersama Meneer Ari Grobbe, Pak Kris dan Rully di Taman Kota (Dok : Pribadi)
Ngobrol bersama Meneer Ari Grobbe, Pak Kris dan Rully di Taman Kota (Dok : Pribadi)

Kami berbincang hingga larut. Shawn sangat suka berbincang dan bertanya banyak hal tentang Jawa dan tentu Purbalingga, tanah kelahiran nenek buyutnya.

Esok, kami sepakat untuk mengantarkan Swan napak tilas tanah leluhurnya. Shawn cukup punya banyak waktu, Ia merencanakan 3-4 hari di Purbalingga.

Pertama, Shawn ditemani Mas Ari Grobbe berkunjung ke desa kelahiran kakek buyutnya di Desa Kembaran, Banyumas. Ia dan Mas Ari bertemu dengan warga dan pemerintah desa, sayang, di sana sudah tidak ada yang mengenal Madiksan, leluhur Shawn dari jalur kakeknya.

Shawn dan Pujiyati di Purbalingga sedang Video Call dengan Aroenah di Rotterdam (Dok : Pribadi)
Shawn dan Pujiyati di Purbalingga sedang Video Call dengan Aroenah di Rotterdam (Dok : Pribadi)

Berikutnya, giliran aku menemani berkunjung ke desa kelahiran nenek buyutnya, Soekiah yang ada di Dukuh Depok, Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah.

Dulu, pada saat menelusuri buat Stephanie sudah diketemukan jejak leluhur dan keluarganya sehingga kami tak perlu mencari-cari lagi, langsung cuzz...!

Shawn pun bertemu dengan keluarga Pak Hudi di mana istrinya Pujiyati merupakan canggah dari adik Kramawitana (Ayah Soekiah). Jadi, Shawn dan Pujiyati sepupuan.

Mereka saling berbincang. Meskipun ada kendala bahasa tetapi tetap nyambung dan terasa akrab. Shawn juga video call dengan ibunya Aroenah yang turut berbincang dengan Pujiyati. Nah, kalau Bu Aroenah masih bisa Bahasa Jawa jadi lebih nyambung.

Bahasa Jawanya secara garis besar masih sama, hanya saja ada beberapa kata yang berbeda. Misal, kata 'dunung' untuk 'ngerti' dan beberapa penggunaan kata lain yang agak aneh.

Contohnya, saat Pujiyati bilang 'semoga sehat-sehat yaa', Aroenah tidak ngerti, tetapi diganti 'waras-waras yaa', dia paham. Padahal, waras-waras sudah jarang digunakan dalam konteks itu sekarang...

Shawn juga suka banget kuliner sini. "Enak, Lekker...", katanya. Keluarga Pak Hudi menyuguhkan banyak menu, ada gecot, mie ayam, peyek kacang dan aneka kudapan semua dicoba.

Shawn juga diberi buah tangan duku dan kacang kletik ke hotel yang dibawa dengan senang hati meskipun dia mengaku bingung bagaimana menghabiskannya.

Shawn dan Aroenah Ibunya di Rotterdam, Stephanie di Suriname dan Pujiyati di Purbalingga. (Gambar Kolase by Historia Perwira)
Shawn dan Aroenah Ibunya di Rotterdam, Stephanie di Suriname dan Pujiyati di Purbalingga. (Gambar Kolase by Historia Perwira)

Pas di rumah Pak Hudi, ada Mas Agus Sukoco, Budayawan Purbalingga yang turut gabung. Akhirnya, selepas magrib kita mampir ke Rumah Mas Agus yang tak jauh dari situ. Jadi, sama-sama di Dukuh Depok, hanya saja pak Hudi masuk Desa Kedungwuluh sementara Mas Agus Desanya Sokawera, Kecamatan Padamara.

Cukup lama berbincang juga di rumah Mas Agus. Ada anaknya dan teman-temanya yang tertarik untuk ngobrol dengan Shawn sehingga banyak ngalor-ngidul obrolannya..

Setelah itu, aku antarkan dia kembali ke hotel. Besoknya, Shawn sudah kupertemukan daring dengan Arinda, keponakan Pak Hudi yang tertarik ngobrol dengannya. Ibu Arinda (yang berarti juga sepupu Shawn) pulang dari Jakarta untuk bisa ngobrol dengan Shawn. Mereka janjian ketemuan, kopi darat.

Hari berikutnya, aku sudah minta rekans Trian dan Rully dari My Trip My Adeventure (MTMA) untuk mendampingi Shawn explore keindahan Purbalingga. Sayang cuaca tidak bersahabat, hujan seharian sehingga batal dilakukan. Shawn jalan-jalan sendiri keliling Purbalingga area kota saja.

Shawn dan Keluarga Pak Hudi di Taman Kota (Dok : Pribadi)
Shawn dan Keluarga Pak Hudi di Taman Kota (Dok : Pribadi)

Sebab esok Si Shawn mau balik ke Jakarta sebelum pulang ke Belanda, malamnya kami pun berjumpa lagi di Taman Kota. Keluarga Pak Hudi datang untuk melepas kepergian Shawn.

Anak perempuan Pak Hudi sangat tertarik untuk berbincang dengan Shawn. Mereka berbincang riang, senang dan bahagia lihatnya, insan berbeda benua dan budaya tetapi leluhurnya sama bisa bertemu dan bercengkerama secara tidak terduga.

Shawn bilang akan kembali lagi ke Purbalingga, mungkin saja bersama keluarganya. Nanti, dia ingin explore tanah kelahiran nenek moyangnya itu lebih lama.

Lalu, bagaimana Soekiah dari Purbalingga sampai ke Suriname? Begini ceritanya...

Saya dulu getol melacak sejarah keturunan Kuli Kontrak asal Jawa (Contractarbeders uit Java) yang dibawa Landa ke Suriname.

Berdasarkan laman Nationaal Archief (NA), ada sekitar 565 orang yang teridentifikasi berasal dari Afdeling Poerbolinggo yang dibawa ke negara yang ada di Kawasan Amazon, Amerika Selatan itu untuk menjadi kuli perkebunan Belanda. Salah satunya adalah Soekiah.

Foto Soekiah dari dokumen di laman Nationaal Archief Belanda
Foto Soekiah dari dokumen di laman Nationaal Archief Belanda

Ini data lengkapnya saya terjemahkan dari Nationaal Archief :

Namanya Bok Kramawitana alias Soekiah. Bapaknya bernama Kramawitana. Perempuan ini bertinggi badan 148 cm dengan ciri ada noda pigmen di lehernya. Agamanya Islam. Ia dibawa ke Suriname saat berumur 23 tahun melalui Pelabuhan Tandjong Priok pada 20 Oktober 1924.

Soekiah dibawa dengan Kapal Buitenzorg oleh N.V. The Nickerie Sugar Estate & Co. Ltd dan berlabuh di Paramaribo lebih 1 bulan kemudian. Ia lalu dipekerjakan di Perkebunan Waterloo dengan tanggal dimulainya kontrak 27 November 1924. Kode kontraknya AB1120.

Sokiah disebutkan berasal dari Gewest Banjoemas Afdeling Poerbolinggo District Poerbolinggo Dorp Depok. Setelah selesai kontrak, Ia memperpanjang dan memilih tinggal di Suriname, lalu beranakpinak di sana. Mereka menetap di Nickerie, sebuah kota yang dijadikan judul lagu oleh Lord Didi Kempot, 'Kangen Nickerie' itu lho..

Nah, yang membuat saya bingung dulu, desa yang disebut data Belanda sebagai asal Soekiah, yaitu, Depok, saat ini tidak ada lagi nama desa itu di Purbalingga.

 Catatan : Dalam beberapa penelusuran saya, Belanda merujuk nama wilayah dorp/desa yang saat ini bukan desa lagi. Misalkan, Dorp 'Jlegong' yang saat ini bukan desa lagi tetapi dusun di Desa/Kecamatan Karangreja. Ada juga 'Dokoe Paksa' yang sekarang ada di Desa Tlahab Lor, adapula 'Slatri' yang saat ini nama dukuh di Kelurahan Babakan.

Nah, hasil pencarian dengan bantuan netizen, dusun/grumbul/kampung di Purbalingga yang bernama Depok cukup banyak.

Ada grumbul Depok di Desa Langgar dan Nangkasawit, Kecamatan Kejobong. Ada juga Dusun Depok di Karangtengah, Kecamatan Kertanegara. Adapula yang bilang nama grumbul di Desa Gunung Wuled dan petilasan di Kecamatan Rembang. Ada juga nama kampung di Kelurahan Bancar, ada juga nama Dusun di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara dan satu lagi nama dusun di Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah.

Untuk Depok yang di Langar dan Nangkasawit, saya skip karena keduanya dulu era kolonial berada di District Boekatedja. Begitu pula Depok yang di Karangtengah dan Gunung Wuled, sebab dulu wilayahnya masuk di District Bobotsari.

Tinggal tiga kemungkinan, Depok yang di Kelurahan Bancar, Kecamatan Kota atau yang di Desa Sokawera utawa yang di Desa Kedungwuluh. Kalau melihat luasannya sekarang, saya skip yang Bancar. Saya lebih condong ke Depok yang ada di Desa Kedungwuluh atau Desa Sokawera.

Saat ini, Depok yang di Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah berwilayah satu dusun meliputi 3 RT dalam 1 RW. Depok di Sokawera, Kecamatan Padamara juga satu dusun. Uniknya, kedua dusun ini meski beda desa dan beda kecamatan meski berbatasan. Konon, dulunya merupakan satu pedukuhan.

Jadi, saya yakin asal Soekiah ini dari Dorp Depok yang ada saat ini ada di Kedungwuluh-Sokawera. Itulah yang saya telurusi 3 tahun lalu itu dimana bertemulah dengan Pak Hudi dan keluarganya yang ternyata masih satu famili dengan Kramawitana, Bapaknya Soekiah.

Kembali ke laptop, Nationaal Archief mendata Soekiah cukup detail. Ia tercatat berkeluarga dan mendaftarkan keluarganya di Dukcapil Suriname sebagai Soekiah Kramawitana. Ia memiliki anak 6 orang anak, yaitu :

  • Said yang lahir 14 Maret 1927
  • Sanjoet, lahir pada 22 September 1928. Sanjoet ini menikah dengan Satijem alias Bok Asmowirjo pada 01-01-1953.
  • Sahom, lahir 12 Februari 1930
  • Sariah, lahir 25 Desember 1931.
  • Sairoen lahir pada 06 Februari 1935.
  • Slamet, lahir 26 Maret 1937.

Mereka semua menyandang nama belakang Kramawitana. Anak keempat, Sariah ini yang melahirkan Aroenah lalu lanjut ke Shawn. Sementara Slamet, punya anak Sutrisno yang melahirkan Stephanie Kramawitana.

Asiknya data Belanda cukup rinci sehingga Shawn pun dengan mudah mengetahui bahwa nenek buyutnya adalah Soekiah yang merupakan kuli kontrak dari Purbalingga. Sebaliknya, data di sini susah banget. Jangankan era kolonial, sesudah merdeka aja perihal data - mendata kita masih kaca balau.. hiks.

Apalagi sebagian besar yang dibawa Belanda berasal dari kalangan rakyat jelata. Jadi, mereka tak banyak upaya untuk mencari keluarganya yang 'hilang' itu. Biasanya sudah pasrah dan tahunya keluarganya itu dipekerjakan Landa entah kemana dan kalau tak pulang ya dianggap sudah meninggal.

Orang tua jaman dulu menyebut mereka yang dibawa Landa dengan sebutan 'digawa werek'. Sepertinya ini asal kata dari Bahasa Belanda, 'werk' yang artinya 'bekerja'.

FYI, imigran Jawa di Suriname didata lengkap data pribadi sampai ciri fisiknya disertai foto diri yang bernomor urut. Kemudian, mereka bekerja berdasarkan kontrak yang diperbaharui 5 tahunan. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan pulang ke Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan sepetak tanah.

Meski tak seburuk praktek perbudakan, kehidupan kuli kontrak juga mengenaskan. Pemerintah tak menyediakan sarana pendidikan. Mereka khawatir, jika mereka menjadi pandai, mereka keluar dari perkebunan dan bekerja di kota.

Begitu kira-kira luur kisah Shawn Cruden dari Rotterdam Belanda mencari 'balung pisah' leluhurnya Soekiah asal Purbalingga yang dibawa ribuan kilometer jauhnya oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Suriname sekira 1 abad lalu...

Salam Historia Perwira!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun