Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug: Kearifan Lokal untuk Keberlanjutan Lingkungan

25 Januari 2024   21:21 Diperbarui: 28 Januari 2024   09:43 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Referensi (Dok Pribadi)

Kurang lebih setahun, pada 2004-2005, saya turut membersamai komunitas masyarakat adat di Kampung Lebak Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten. Saat itu, saya menjadi fasilitator lapang Rimbawan Muda Indonesia (RMI) - The Indonesia Institute for Forest and Environment, sekaligus menyelesaikan skripsi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sebagai bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, mereka masih mempertahankan adat-istiadat warisan leluhur yang mewarnai setiap sendi kehidupan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug berada di tengah hutan rimba, lokasinya cukup terisolir. Saat itu, untuk sampai lokasi, dari desa terdekat yang bisa dijangkau dengan kendaraan, perjalanan harus dilanjutkan berjalan kaki melewati sawah, ladang juga hutan sekira 4-5 jam.

Secara administratif, Kampung Lebak Cibedug merupakan enclave yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Oleh karena itu, pemukiman mereka dikelilingi hutan sehingga kehidupan mereka tak bisa lepas dari alam yang ada di sekitarnya.

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug masih memegang teguh ada istiadat sebagai kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sistem pengelolaan yang diterapkan berdasar pada prinsip kelestarian dan keberlanjutan atau sustainable yang sesuai trend gaya hidup masa kini. Hal itu, sebenarnya sangat relevan diterapkan di era modern dengan gaya hidup yang selaras alam.

Salah satu contoh, dalam manajemen tata ruang dan wilayah, Masyarakat Cibedug mempunyai petuah leluhur yang digunakan sebagai pedoman, yaitu, : "Gunung Kayuan, Lamping Awian, Pasir Talunan, Lebak Sawahan, Legok Balongan, Datar Imahan". Filosofi adat ini, mengajurkan kepada segenap warga kasepuhan untuk melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan didasarkan pada kontur dan tingkat kemiringan tanah.

Kita bedah satu per satu, dimulai dari Gunung Kayuan, bermakna gunung sebagai wilayah yang mempunyai kelerengen paling curam dan rawan longsor, tanamilah dengan aneka ragam kayu. Tanaman keras yang berakar kuat dan dalam secara ilmiah sangat baik untuk konservasi. Kumpulan tanaman keras akan membentuk sebuah ekosistem yang baik sebagai daerah penyangga air (buffer zone) dan menjaga keanekaragaman hayati.

Lamping Awian yaitu lahan-lahan lamping (tebing) yang curam disarankan untuk ditanami awi atau bambu. Bambu dikenal sebagai tanaman yang perakarannya kuat sehingga dapat menahan longsor. Bambu juga baik untuk menampung air dan pemanfaatannya luas untuk kebutuhan perkakas maupun papan.

Pasir Talunan, berarti wilayah berbukit bisa dimanfaatkan dengan talun yang merupakan sistem pengelolaan tanah dengan menanami aneka tanaman keras penghasil buah dan kayu (kebun campur). Talun akan menjadi penyuplai kebutuhan pangan juga papan.

Selain itu, talun menyediakan kayu bakar sebagai sumber energi biomasa untuk kebutuhan memasak di dapur, membuat gula kelapa dan lainnya. Dengan pengelolaan alam yang lestari, kayu bakar akan terus tersedia sehingga pemanfaatan energi berkelanjutan.

Persawahan di Kampung Lebak Cibedug (Dok: RMI)
Persawahan di Kampung Lebak Cibedug (Dok: RMI)

Berikutnya, Lebak Sawahan mengandung maksud bahwa kontur di bawah atau di kaki gunung yang berada di lembah dimanfaatkan untuk sawah yang ditanami padi. Area dataran rendah ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Sementara Legok Balongan berarti wilayah legok atau kubangan yang menjadi alur air sebaiknya dimanfaatkan sebagai balong atau kolam. Balong ini menjadi penghasil pangan bagi masyarakat karena bisa ditebar aneka ikan yang merupakan sumber protein.

Kemudian, Datar Imahan yaitu lahan yang datar / landai jauh dari tebing dan tidak berbahaya, itulah yang dibangun imah atau rumah dan dijadikan sebagai kompleks pemukiman. Pada lahan ini juga dibangun fasilitas umum seperti imah gede yang menjadi tempat tinggal tetua adat (kokolot lembur) sekaligus tempat bermusyawarah warga, tempat ibadah dan lapangan.

Jika melihat prinsip tata ruang adat tersebut, pembagian wilayah disesuaikan dengan kontur lahan. Kemudian, pemanfaatan juga beragam untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari. Hal itu, jelas sangat selaras dengan kaidah konservasi dan sustainable.

Pengelolaan Hutan yang Sustainable

Kemudian, khusus dalam pengelolaan hutan, aturan adat kasepuhan memegang prinsip 'gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak', artinya : gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak. Pepatah ini mengandung makna bahwa manusia merupakan bagian dari sistem alam yang berarti jika sumber daya alam rusak, maka kehidupan manusia juga akan turut terganggu.

Prinsip itu ditambah dengan 'penyangga kahirupan supaya hurip', yang artinya bahwa penyangga kehidupan supaya hidup. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug percaya bahwa hutan dan air adalah penyangga kehidupan yang harus dijaga kelestariannya.

Untuk pengaturan wilayah hutan (leuweung), Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, dan leuweung garapan.

Leuweung kolot / geledegan artinya adalah hutan tua (kolot). Kawasan hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu. Biasanya, lokasi ini juga terdapat sumber mata air (sirah cai) yang harus dijaga. Pada konsep konservasi modern, inilah yang berperan sebagai hutan lindungnya.

Kemudian, di dalam leuweung kolot ada leuweung titipan atau disebut leuweung larangan yang terdapat lokasi yang dianggap suci, ditandai misalnya dengan adanya bangunan bersejarah. Pada konteks di Kasepuhan Cibedug ada lokasi sakral dan dianggap sebagai titipan dari leluhur untuk dijaga. Lokasi itu berupa punden berundak, yang juga ditemukan berbagai peninggalan masa silam dan saat ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Situs Lebak Cibedug.

Cagar Budaya Punden Berundak di Situs Lebak Cibedug (Dok: BPCB Banten)
Cagar Budaya Punden Berundak di Situs Lebak Cibedug (Dok: BPCB Banten)

Pada leuweung titipan ini juga dilarang untuk dimanfaatkan kepentingan produktif. Pemanfaatannya untuk kepentingan religi dan harus dijaga karena merupakan titipan leluhur atau dalam istilah kasepuhan titipan karuhun / kolot baheula.

Kemudian, leuweung cadangan, merupakan lahan yang dicadangkan oleh masyarakat untuk masa depan. Lokasi ini bisa dimanfaatkan secara terbatas. Sementara, leuweung garapan atau cawisan merupakan kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk talun maupun huma (berladang). Kawasan ini yang dalam zonasi hutan kini disebut dengan hutan produksi.

Dengan demikian, sistem pembagian kawasan hutan masyarakat adat ini selaras dengan penataan kawasan hutan yang berlaku sekarang serta menerapkan prinsip sustainable. Ada yang dimaksudkan sebagai hutan lindung untuk kepentingan penyelamatan keanegaragaman hayati, konservasi. Lalu, ada juga hutan produksi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kembali lagi, pembagian zonasi seperti ini tentu saja sejalan dengan kaidah konservasi dan sustainabilitas.

Selain itu, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug meyakini terdapat suatu kekuatan supranatural yang ikut menjaga leuweung. Mereka percaya jika mereka merusak akan tertimpa kemalangan / bencana, atau yang disebut sebagai kabendon. Malapetaka akibat melanggar aturan dalam menjaga hutan itu bisa berupa banjir, kekeringan, juga bisa turun dalam bentuk lain seperti gagal panen karena serangan hama, kebakaran, sampai kecelakaan.

Mereka juga memandang hutan sebagai pemberi kehidupan sehingga hubungan yang terjadi berlaku timbal balik, tidak hanya mengambil manfaat tetapi juga menjaganya. Pemanfaatnya pun dilakukan secara bijak. Misalkan dalam berhuma yang memanfaatkan area leuweung garapan untuk bertanam padi lahan kering, hal itu dilakukan hanya satu kali dalam setahun.

Mereka percaya tanah adalah ibu yang hanya bisa sekali dalam setahun menghasilkan seperti hanya prosesi melahirkan sehingga perlu waktu beristirahat. Selama jeda, jerami dimasukkan kembali ke dalam tanah (malik jarami) guna mengembalikan kesuburan tanah. Perlakuan yang tidak baik terhadap tanah (ibu) dipercaya akan berakibat ayah (langit) marah sehingga akan berdampak bencana.

Prinsip Hidup yang Menghormati Alam

Secara umum, masyarakat kasepuhan sangat menghormati alam. Mereka memegang prinsip 'mipit kudu amit ngala kudu menta', artinya kurang lebih memetik ( mipit) harus amit (pamit) atau izin, ngala atau mengambil harus menta (minta) atau memohon. Intinya adalah jangan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Jadi, masyarakat diwajibkan untuk memohon izin, mengawali dengan doa untuk meminta keberkahan, saat memetik atau memanen dari alam.

Kemudian, ada istilah 'ngeureut jeung neundeun keur jaga ning isuk' bermakna menyisihkan (ngeureut) dan menyimpan (neundeun) untuk hari esok. Hal ini mewajibkan agar masyarakat kasepuhan menjaga pemenuhan kebutuhan, tak hanya hari ini juga di masa mendatang. Konsepnya diejawantahkan dalam bentuk Sistem Leuit atau lumbung padi yang wajib dimiliki oleh setiap warga masyarakat kasepuhan. Keberadaan leuit inilah yang merupakan tabungan pangan untuk masa depan.

Ada juga prinsip 'saeutik, mahi loba nyesa halal didaharna' artinya sedikit (saeutik) ataupun cukup banyak (loba) hasil panen, harus menyisakan dan halal dimakan. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa masyarakat kasepuhan memiliki  sikap hidup bersahaja. Jadi, berapapun hasilnya harus dicukupkan dan ada yang disisihkan serta dalam mendapatkan sesuatu harus dengan cara yang halal.

Deretan Leuit di Kampung Cibedug (Dok: RMI)
Deretan Leuit di Kampung Cibedug (Dok: RMI)

Kesimpulan

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu komunitas yang masih teguh dalam memelihara hubungan yang harmonis dengan alam. Mereka membuktikan bahwa dengan kearifan lokal yang dimiliki dapat menata dan mengelola alam dengan baik, beriringan antara pemenuhan kebutuhan hidup dan kelestarian alam.

Namun, keberadaan mereka belum diakui oleh negara hingga saat ini. Pada 2003, wewengkon adat kasepuhan Cibedug masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang menyebabkan keberadaan mereka seolah ilegal. Sejak saat itu, dilakukan berbagai macam upaya untuk mengembalikan hak adat mereka hingga saat ini.

Semoga perjuangan untuk mendapatkan hak adat Masyarakat Kasepuhan Cibedug segera menjadi kenyataan sehingga mereka terus bisa menerapkan kearifan lokal dan adat istiadat yang diwariskan turun temurun.

Salah satu aksi yang bisa kita terapkan untuk menjaga masa depan lingkungan sustainable adalah menjadikan kearifan lokal yang diterapkan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug sebagai 'kaca benggala'  dimana kita bisa mengambil pembelajaran tentang sistem pengelolaan sumber daya alam yang adil, lestari, berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.

Salam Lestari, Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku!

Buku Referensi (Dok Pribadi)
Buku Referensi (Dok Pribadi)

Referensi :

Buku 'Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara -- Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan' dan Buku "Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang' yang diterbitkan RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

Skripsi penulis berjudul 'Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Masyarakat Adat kasepuhan Banten Kidul : Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug'

Artikel RMI berjudul 'Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dalam Menjaga Lingkungan' yang bisa dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun