Kemudian, leuweung cadangan, merupakan lahan yang dicadangkan oleh masyarakat untuk masa depan. Lokasi ini bisa dimanfaatkan secara terbatas. Sementara, leuweung garapan atau cawisan merupakan kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk talun maupun huma (berladang). Kawasan ini yang dalam zonasi hutan kini disebut dengan hutan produksi.
Dengan demikian, sistem pembagian kawasan hutan masyarakat adat ini selaras dengan penataan kawasan hutan yang berlaku sekarang serta menerapkan prinsip sustainable. Ada yang dimaksudkan sebagai hutan lindung untuk kepentingan penyelamatan keanegaragaman hayati, konservasi. Lalu, ada juga hutan produksi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kembali lagi, pembagian zonasi seperti ini tentu saja sejalan dengan kaidah konservasi dan sustainabilitas.
Selain itu, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug meyakini terdapat suatu kekuatan supranatural yang ikut menjaga leuweung. Mereka percaya jika mereka merusak akan tertimpa kemalangan / bencana, atau yang disebut sebagai kabendon. Malapetaka akibat melanggar aturan dalam menjaga hutan itu bisa berupa banjir, kekeringan, juga bisa turun dalam bentuk lain seperti gagal panen karena serangan hama, kebakaran, sampai kecelakaan.
Mereka juga memandang hutan sebagai pemberi kehidupan sehingga hubungan yang terjadi berlaku timbal balik, tidak hanya mengambil manfaat tetapi juga menjaganya. Pemanfaatnya pun dilakukan secara bijak. Misalkan dalam berhuma yang memanfaatkan area leuweung garapan untuk bertanam padi lahan kering, hal itu dilakukan hanya satu kali dalam setahun.
Mereka percaya tanah adalah ibu yang hanya bisa sekali dalam setahun menghasilkan seperti hanya prosesi melahirkan sehingga perlu waktu beristirahat. Selama jeda, jerami dimasukkan kembali ke dalam tanah (malik jarami) guna mengembalikan kesuburan tanah. Perlakuan yang tidak baik terhadap tanah (ibu) dipercaya akan berakibat ayah (langit) marah sehingga akan berdampak bencana.
Prinsip Hidup yang Menghormati Alam
Secara umum, masyarakat kasepuhan sangat menghormati alam. Mereka memegang prinsip 'mipit kudu amit ngala kudu menta', artinya kurang lebih memetik ( mipit) harus amit (pamit) atau izin, ngala atau mengambil harus menta (minta) atau memohon. Intinya adalah jangan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Jadi, masyarakat diwajibkan untuk memohon izin, mengawali dengan doa untuk meminta keberkahan, saat memetik atau memanen dari alam.
Kemudian, ada istilah 'ngeureut jeung neundeun keur jaga ning isuk' bermakna menyisihkan (ngeureut) dan menyimpan (neundeun) untuk hari esok. Hal ini mewajibkan agar masyarakat kasepuhan menjaga pemenuhan kebutuhan, tak hanya hari ini juga di masa mendatang. Konsepnya diejawantahkan dalam bentuk Sistem Leuit atau lumbung padi yang wajib dimiliki oleh setiap warga masyarakat kasepuhan. Keberadaan leuit inilah yang merupakan tabungan pangan untuk masa depan.
Ada juga prinsip 'saeutik, mahi loba nyesa halal didaharna' artinya sedikit (saeutik) ataupun cukup banyak (loba) hasil panen, harus menyisakan dan halal dimakan. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa masyarakat kasepuhan memiliki  sikap hidup bersahaja. Jadi, berapapun hasilnya harus dicukupkan dan ada yang disisihkan serta dalam mendapatkan sesuatu harus dengan cara yang halal.
Kesimpulan