Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug: Kearifan Lokal untuk Keberlanjutan Lingkungan

25 Januari 2024   21:21 Diperbarui: 28 Januari 2024   09:43 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan Leuit di Kampung Cibedug (Dok: RMI)

Berikutnya, Lebak Sawahan mengandung maksud bahwa kontur di bawah atau di kaki gunung yang berada di lembah dimanfaatkan untuk sawah yang ditanami padi. Area dataran rendah ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Sementara Legok Balongan berarti wilayah legok atau kubangan yang menjadi alur air sebaiknya dimanfaatkan sebagai balong atau kolam. Balong ini menjadi penghasil pangan bagi masyarakat karena bisa ditebar aneka ikan yang merupakan sumber protein.

Kemudian, Datar Imahan yaitu lahan yang datar / landai jauh dari tebing dan tidak berbahaya, itulah yang dibangun imah atau rumah dan dijadikan sebagai kompleks pemukiman. Pada lahan ini juga dibangun fasilitas umum seperti imah gede yang menjadi tempat tinggal tetua adat (kokolot lembur) sekaligus tempat bermusyawarah warga, tempat ibadah dan lapangan.

Jika melihat prinsip tata ruang adat tersebut, pembagian wilayah disesuaikan dengan kontur lahan. Kemudian, pemanfaatan juga beragam untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari. Hal itu, jelas sangat selaras dengan kaidah konservasi dan sustainable.

Pengelolaan Hutan yang Sustainable

Kemudian, khusus dalam pengelolaan hutan, aturan adat kasepuhan memegang prinsip 'gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak', artinya : gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak. Pepatah ini mengandung makna bahwa manusia merupakan bagian dari sistem alam yang berarti jika sumber daya alam rusak, maka kehidupan manusia juga akan turut terganggu.

Prinsip itu ditambah dengan 'penyangga kahirupan supaya hurip', yang artinya bahwa penyangga kehidupan supaya hidup. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug percaya bahwa hutan dan air adalah penyangga kehidupan yang harus dijaga kelestariannya.

Untuk pengaturan wilayah hutan (leuweung), Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, dan leuweung garapan.

Leuweung kolot / geledegan artinya adalah hutan tua (kolot). Kawasan hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu. Biasanya, lokasi ini juga terdapat sumber mata air (sirah cai) yang harus dijaga. Pada konsep konservasi modern, inilah yang berperan sebagai hutan lindungnya.

Kemudian, di dalam leuweung kolot ada leuweung titipan atau disebut leuweung larangan yang terdapat lokasi yang dianggap suci, ditandai misalnya dengan adanya bangunan bersejarah. Pada konteks di Kasepuhan Cibedug ada lokasi sakral dan dianggap sebagai titipan dari leluhur untuk dijaga. Lokasi itu berupa punden berundak, yang juga ditemukan berbagai peninggalan masa silam dan saat ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Situs Lebak Cibedug.

Cagar Budaya Punden Berundak di Situs Lebak Cibedug (Dok: BPCB Banten)
Cagar Budaya Punden Berundak di Situs Lebak Cibedug (Dok: BPCB Banten)

Pada leuweung titipan ini juga dilarang untuk dimanfaatkan kepentingan produktif. Pemanfaatannya untuk kepentingan religi dan harus dijaga karena merupakan titipan leluhur atau dalam istilah kasepuhan titipan karuhun / kolot baheula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun