Untuk pilar-pilar batu itu sendiri sudah dijelaskan bahwa merupakan hasil fenomena geologi yang disebut columnar joint alias kekar kolom. Batu-batu itu terbentuk alami dari erupsi magma gunung api jutaan tahun silam yang terperangkap dan membeku. Namun, memang banyak bangunan untuk keperluan ritual dan budaya masyarakat purba sampai era Hindu-Buddha yang memanfaatkan batu-batu kekar kolom.
Jadi, asal-muasalnya fenomena geologi, batu yang terbentuk alami. Akan tetapi, bisa menjadi tinggalan arkeologi setelah dipindah, ditata, dipoles dan difungsikan untuk keperluan manusia. Misalnya, pada era megalitikum lazim digunakan untuk menhir, dolmen atau punden berundak. Pada era Hindu-Buddha dijadikan yupa, prasasti atau dipoles menjadi candi, lingga, yoni, dan lainnya.
Apalagi, di Desa Panusupan ditemukan banyak artefak kebudayaan seperti lingga dan yoni. Kemudian, Babad Perdikan Cahyana juga menyebutkan alas Bojongsana di mana bukit Talun Wringin berada sebagai jalur perjalanan Raden Munding Wangi menjemput wahyu dan kemudian menjadi Syeh Jambu Karang yang melegenda di Purbalingga.
Sebelumnya sudah saya tulis dan selengkapnya bisa dibaca di sini.
Untuk pilar-pilar batu di Talun Wringin sendiri, warga setempat menamakan sebagai watu entep (berjajar berimpitan). Tak ada cerita rakyat turun-temurun (folklore) akan dinding batu itu. Hanya toponimi, talun artinya 'hutan' dan wringin bermakna 'pohon beringin/ karena konon dulu banyak pohon beringin. Puncak Talun Wringin disebut dengan Igir Wringin.
Sayangnya, pohon beringinnya sudah tak bersisa. Cerita Kang Isro dulu ditebang karena menjadi sarang kawanan monyet. Nah, gerombolan Wanara itu seringkali menjadi hama untuk tanaman di ladang warga.
Kami cukup lama menikmati, mencermati, dan mengagumi pilar-pilar raksasa di Talun Wringin. Betapa istimewa ciptaan Tuhan. Kami sempatkan mengambil gambar dan video juga berdiskusi di pangkal formasi pilar kekar Talun Wringin
Igir Wringin
Setelah puas berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke puncak talun yang disebut Igir Wringin. Kang Tursan membawakan kami nasi rames. Ada juga ada gethuk singkong dari Mbak Leni. Plus bekal kopi/teh yang kami seduh, puncak igir menjadi 'restoran' dengan rumput mengering menjadi alas duduk dan meja makannya.
Selesai lunch dan bersantai, kami menikmati pemadangan dari Igir Wringin. Tampak jelas dari atas bukit itu 'sisik-sisik naga' yang membelah bukit. Suasananya asyik. Angin bertiup sepoi-sepoi. Matahari, meski tepat di siang hari bolong, juga tak terlalu menyengat.