Kedua, Wiro pendekar baik budi, tentu tidak ingin membahayakan orang lain apalagi orang yang dicintainya. Tentu pula Ia tak tega melihat istri atau kekasihnya atau anaknya nanti merana jika Ia harus berkalang tanah saat berjuang membasmi kemunkaran.
Ketiga, Bastian Tito ingin memberikan wejangan cinta bahwa wanita itu butuh kepastian. Wiro dijadikan kaca benggala bahwa ketidakpastian alias ke PeHaPe-an-nya kepada wanita harus dibayar dengan resiko ditinggalkan. Secinta-cintanya wanita jika tak diberi garansi kepastian lelah juga, mereka menyerah, lalu memilih move on. Bidadari Angin Timur contohnya yang memilih untuk membuka lembaran baru dengan Hantu Jatilandak.
Keempat, bokapnya Si Vino G. Bastian itu juga mau bilang bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sudah ganteng, sakti, kocak, baik budi dan dikelilingi wanita cantik tak jaminan urusan asmara lancar. Tak semua cerita harus happy ending, adapula yang harus diakhiri kesedihan, kekecewan bahkan dendam.
Kelima, ini pesan yang paling penting. Lelaki nakal boleh tapi harus ada batasanya. Contoh Wiro, meski banyak wanita termehek-mehek bukan berarti kamu bebas untuk menikmatinya apalagi menyakitinya. Pada dunia yang semakin edan ini, Wiro semakin relevan sebagai teladan. Suatu ketika Wiro lagi ngobrol soal pribadi dengan Ratu Duyung. Wiro ditanya soal hubunganya dengan wanita dan status keperjakaanya. Pendekar pilih tanding itu menegaskan kalau zina mata, tangan, telinga mungkin ia sudah melakukanya berkali-kali, tapi zina badaniah belum.
"Kalau zina mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku lakukan. Aku bukan manusia tanpa rasa. Tapi kalau zina badaniah yang kau maksudkan, itu belum pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu itu..." kata Wiro menjawab pertanyaan Ratu Duyung.
Aih, beraaatzz bukan...?
--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H