Dia nyerocos lagi. "Sini gue bilangin. Air purifier yang sering dibersihkan saja dalam waktu tiga hari sudah tebel banget debunya. Gmana paru-paru kita yang 4 bulan menghirup asap coba!? Bayangin! Awas ya kalau loe malah bayangin yan nggak-ngak," katanya galak.
Dia lalu menarik nafas yang terdengar seperti mendesah ditelinga saya (ah, offside nih otak gue), lalu melanjutkan cerita dengan intonasi yang lebih rendah. "Kayanya kita semua sudah dalam taraf ikhlas. Orang Jambi, Riau, Sumsel, Medan, Kalimantan dan lainnya yang terpapar asap berbulan-bulan cuma bisa ikhlas. Mungkin kalau jaman dulu evolusi melalui suksesi alam seperti teori Lamarck, Weissman atau Darwin, sekarang ini evolosi pakai suksesi asap. Siapa yang tahan asap, dialah yang akan menjadi mahluk yang bertahan," katanya.
Wah, kabut asap sudah benar-benar merubah Mahmud itu jadi cerdas dan kritis sampai bisa bikin teori suksesi alam baru segala, ‘Teori Mahmud’. "Jadi, akibat kabut asap berkepanjangan ini, nanti akan ada yang namanya Generasi BENGEK di Indonesia, " katanya.
Saya tak lagi menimpali dulu, saya resapi. Hmmh, sebuah hal yang rasanya seperti hiperbolik, namun jika dianalisa mendalam benar juga. Begini, kabut asap sudah mendera 4 bulan di Sumatera dan Kalimantan sana. Otomatis, anak-anak disana terpapar asap terus menerus. Orang dewasa aja sengsara mengirup asap apalagi anak-anak. Sudah banyak berita, korban asap jatuh sakit bahkan meninggal dinia. So, bukan tidak mungkin mereka nantinya akan menjadi generasi dengan paru-paru yang sudah 'remuk-redam' diruyak asap. Betul kaya Si Mahmud, mereka bisa menjadi 'Generasi Bengek'. Jika sudah begini, berabe betul! Generasi yang digadang-gadang menjadi penerus bangsa, mosok bengek dan atit-atitan. Mana bisa kita mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dengan generasi muda macam gitu. Sekarang saja, eranya saya yang 30an, megap-megap mau mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Hmmh, saya semakin prihatin. Benar-benar mengkhawatirkan kabut asap ini. Ternyata, sudah dalam taraf mengancam regenerasi dan nasib bangsa ini.
Epilog
"Yang gue heran, yang bakarin lahan dan hutan itu pada hidup dimana sih? Apa abis mbakar langsung minggat?? Apa mereka sudah punya ilmu kebal asap dan anti sangit?? Apa mereka punya paru-paru cadangan? Kan mereka dan keluarganya ngerasain efek dari yang diperbuatnya kali?,” tanyaku.
"Ah, buat mereka lebih penting 'lambung' daripada 'paru-paru', " kata Si Mahmud dengan intonasi yang lemah menandakan kesedihan mendalam.
Ya ya, benar katamu Mud. Mereka, oknum-oknum itu, kadang gelap mata atau terpaksa demi memenuhi kebutuhan lambungnya. Mereka mungkin sekarang juga sama-sama merasakan kabut asap, lha mereka juga wong cilik, mau minggat kemana sig?. Kalau wong gede, yang nyuruh, yang punya perusahaan, itu ya mereka nggak ngerasain. Mereka masih bebas menghirup udara yang cukup segar di pemukiman atau apartemen elit di Jakarta, Malesia, Singapur atau malah lagi pesiar ke Eropa.
Miris ya??
Semoga kabut asap segera berlalu dan kita semua disadarkan untuk lebih mencintai alam. Amin