Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Warning!Generasi Bengek Karena Kabut Asap

27 Oktober 2015   12:03 Diperbarui: 27 Oktober 2015   12:25 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Anak Korban Kabut Asap (www.infopku.com)"][/caption]

Saya sebenarnya sudah enggan nulis lagi kisah Mamah Muda alias Mahmud kawan saya, korban kabut asap itu. Takut dia ngambek. Males saya diambekin seorang 'Mahmud', cakep, smart, sexy, imud lagi. Rugi besar saya kalau sampai kehilangan kawan berkualitas tinggi seperti itu. Kisah ‘Mahmud Korban Kabut Asap’ sebelumnya ada disini http://www.kompasiana.com/igoendonesia/curhat-ibu-ibu-muda-korban-kabut-asap_56177016117f61d207dfe4b8 dan disini http://www.kompasiana.com/igoendonesia/berabe-negara-restui-pembakaran-hutan_562b78c9c1afbd2c09857d14 

Akan tetapi, kawan saya ngompor-ngomporin terus, plus sedikit muji. "Ayo tulis lagi dong, agar semua orang tambah tahu, negeri ini sudah darurat asap, Bro. Kisah ‘Mahmud Korban Kabut Asap’ yang loe tulis itu menyentuh sekali dan semoga bisa membuat kita semua sadar dan bergerak serempak dengan segala daya yang bisa dilakukan untuk menangani kabut asap sekarang ini dan mencegah terjadi lagi di kemudian hari, " katanya.

Ok, baiklah kawan, saya mau nulis lagi. Kebetulan, Mahmud itu juga curhat lagi. Kali ini, dia melenguh, eh mengeluh (tuh kan, baru awal sudah gagal fokus), soal dirinya yang sudah kena gejala Infeksi Saluran Pernafasan Atas alias ISPA akibat kelamaan menghirup asap.

"Hari ini gue udah kayaknya sudah kena ISPA nich. Dalam kerongkongan gue, kayak ada sarang laba-laba yang malang melintang antara tenggorokan sama kerongkongan. Mau ditelen nggak bisa mau dibuang juga gak bisa. Kabarnya gejala ISPA begitu dan gue udah ngerasa gitu, hiks-hiks, " katanya dengan nada sedih plus ada kemarahan di dalamnya.

Duh, puk-puk...

Sarang laba-laba di tenggorokan? Sebuah analogi yang unik untuk menggambarkan betapa tidak nyamanya kerongkongan dan tenggorokan yang diserbu asap. (Yang lebih tepat yg mana si? Tenggorokan atau kerongkongan? Ah, yang jelas dua-duanya ndak nyaman karena asap). Biasanya sarang laba-laba itu kan menggambarkan sesuatu yang sudah lama tidak terpakai atau dijamah. Saya juga memprediksi, landasan pesawat terbang disana sekarang juga sudah ditumbuhi sarang laba-laba karena jarang didarati pesawat. Betul kan Mud?

Duh, tambah kasihan saya.

Akhirnya, saya pun menimpali, "Uh, uuh, sudah segitunya yah," kata saya sedikit bercanda karena mencoba mencairkan suasana diawal pembicaraan. Eh, dia tersulut emosi, mungkin dia mengira saya kurang percaya kata-katanya atau menilai dia terlalu lebay bercerita.

"Gue lagi serius neh. Loe malah ah uh ah uh… Kalau loe penasaran ngerasain bernafas pake asap main kesini! Dua hari aja, nggak usah 2 bulan. gue juga males didatengin loe dua bulan. Loe disini dua hari aja, gue jamin loe makin jelek, udah item bau sangit lagi. Loe juga pasti makin tak terlihat karena asap. Upil sama belek loe makin banyak dan loe pasti megap-megap kayak ikan keabisan air. Loe juga nggak akan selera lagi mau merokok. Hirup asep aja tuh, dijamin kliyengan," katanya.

Skak mat! Asyem, kok gue jadi dihina-hina gini. Sialan!. Sialnya gue cuma bisa beladiri sedikit. "Eh, maksud gue bukan gitu," kataku memelas.

Dia nyerocos lagi. "Sini gue bilangin. Air purifier yang sering dibersihkan saja dalam waktu tiga hari sudah tebel banget debunya. Gmana paru-paru kita yang 4 bulan menghirup asap coba!? Bayangin! Awas ya kalau loe malah bayangin yan nggak-ngak," katanya galak.

Dia lalu menarik nafas yang terdengar seperti mendesah ditelinga saya (ah, offside nih otak gue), lalu melanjutkan cerita dengan intonasi yang lebih rendah. "Kayanya kita semua sudah dalam taraf ikhlas. Orang Jambi, Riau, Sumsel, Medan, Kalimantan dan lainnya yang terpapar asap berbulan-bulan cuma bisa ikhlas. Mungkin kalau jaman dulu evolusi melalui suksesi alam seperti teori Lamarck, Weissman atau Darwin, sekarang ini evolosi pakai suksesi asap. Siapa yang tahan asap, dialah yang akan menjadi mahluk yang bertahan," katanya.

Wah, kabut asap sudah benar-benar merubah Mahmud itu jadi cerdas dan kritis sampai bisa bikin teori suksesi alam baru segala, ‘Teori Mahmud’. "Jadi, akibat kabut asap berkepanjangan ini, nanti akan ada yang namanya Generasi BENGEK di Indonesia, " katanya.

Saya tak lagi menimpali dulu, saya resapi. Hmmh, sebuah hal yang rasanya seperti hiperbolik, namun jika dianalisa mendalam benar juga. Begini, kabut asap sudah mendera 4 bulan di Sumatera dan Kalimantan sana. Otomatis, anak-anak disana terpapar asap terus menerus. Orang dewasa aja sengsara mengirup asap apalagi anak-anak. Sudah banyak berita, korban asap jatuh sakit bahkan meninggal dinia. So, bukan tidak mungkin mereka nantinya akan menjadi generasi dengan paru-paru yang sudah 'remuk-redam' diruyak asap. Betul kaya Si Mahmud, mereka bisa menjadi 'Generasi Bengek'. Jika sudah begini, berabe betul! Generasi yang digadang-gadang menjadi penerus bangsa, mosok bengek dan atit-atitan. Mana bisa kita mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dengan generasi muda macam gitu. Sekarang saja, eranya saya yang 30an, megap-megap mau mengejar ketertinggalan dari negara lain.

Hmmh, saya semakin prihatin. Benar-benar mengkhawatirkan kabut asap ini. Ternyata, sudah dalam taraf mengancam regenerasi dan nasib bangsa ini.

Epilog

"Yang gue heran, yang bakarin lahan dan hutan itu pada hidup dimana sih? Apa abis mbakar langsung minggat?? Apa mereka sudah punya ilmu kebal asap dan anti sangit?? Apa mereka punya paru-paru cadangan? Kan mereka dan keluarganya ngerasain efek dari yang diperbuatnya kali?,” tanyaku.

"Ah, buat mereka lebih penting 'lambung' daripada 'paru-paru', " kata Si Mahmud dengan intonasi yang lemah menandakan kesedihan mendalam.

Ya ya, benar katamu Mud. Mereka, oknum-oknum itu, kadang gelap mata atau terpaksa demi memenuhi kebutuhan lambungnya. Mereka mungkin sekarang juga sama-sama merasakan kabut asap, lha mereka juga wong cilik, mau minggat kemana sig?. Kalau wong gede, yang nyuruh, yang punya perusahaan, itu ya mereka nggak ngerasain. Mereka masih bebas menghirup udara yang cukup segar di pemukiman atau apartemen elit di Jakarta, Malesia, Singapur atau malah lagi pesiar ke Eropa.

Miris ya??

Semoga kabut asap segera berlalu dan kita semua disadarkan untuk lebih mencintai alam. Amin

Salam Lestari, Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku

NB :
Eh, Mud, aku dah 3 kali nulis kisahmu. Mohon maaf kalau ada salah atau kamu ndak berkenan yah. Soal tantanganmu main ke sana, nanti pas kabut asap dah reda aja yaa? Kita lebih bisa leluasa melepas kangen,kan lebih asik bercengkerama seperti dulu tanpa diganggu asap to?.. Hehe. Salam Hangat dari Purbalingga

baca juga :

http://www.kompasiana.com/igoendonesia/jomblo-dan-penanganan-kebakaran-hutan-di-indonesia_5626faf8147f611505db3df0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun