Ayat 2 : Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
Ayat 3 : Izin pembakaran lahan tersebut tidak diperbolehkan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang dan iklim kering.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dalam peraturan tersebut masyarakat diizinkan membuka lahan asal terlebih dahulu mengajukan izin. Pasal 1, Ayat 1: Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Gubernur ini. Ayat 2: Pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota.
Peraturan versi pemerintah daerah Kalimantan Tengah ini juga mengatur luas areal pembakaran. Ayat 3: Kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:
a. Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;
b. Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha;
c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha
Ayat 4: Pemberian izin untuk pembakaran secara kumulatif pada wilayah dan hari yang sama:
a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 Ha atau
b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha.
Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Lingkungan Hidup.
Peraturan tersebut membolehkan pembakaran lahan untuk pertanian, perkebunan, dan perladangan. Syarat pembakaran diatur melalui Pasal 3 Ayat 4 ketentuan mengenai perizinan pembakaran lahan diatur peraturan tingkat desa dan kabupaten terkait hak ulayat.
Wah, kalau begini saya sangat setuju dengan usul Mamah Muda nan cantik dan cerdas kawan saya itu, Undang-undang No 32 tahun 2009 harus direvisi, harus!!. Kalau perlu diganti dan harus ramah lingkungan serta menutup peluang kerusakan lingkungan , seperti pembakaran lahan. Jika, undang-undang tersebut direvisi otomatis semua peraturan dibawahnya harus mengikuti, sebab peraturan menteri dan peraturan gubernur yang dibuat adalah bentuk akomodasi dan mengacu pada Undang-undang tersebut.
Jika beleid-beleid ini tidak direvisi penegakan hukum terhadap para pembakar hutan nan durjana itu susah dilakukan. Lha wong ada aturanya saja susah nian, apalagi ini semacam tindakan yang ‘direstui’ oleh negara. Pasal karet yang plekentar plekentur di aturan-aturan itu bisa banget menjadi tameng mereka.
“Lho yang membakar bukan perusahaan, itu kan oknum-oknum masyarakat, bukan kita. Oknum itu kan mbakar kurang dari 2 hektar, kalau kurang dari dua hektar kan boleh oleh undang-undang, dalam peraturan menteri juga diizinkan, gubernur juga mbolehin, kenapa harus dihukum??,” itu kira-kira argument yang akan digunakan.