Dialog tersebut menggambarkan bagaimana tersiksanya kaum wanita pada saat itu, mereka seakan-akan tidak memiliki kuasa atas tubuh mereka sendiri, jiwa mereka serasa telah mati. Hidup kaum wanita pada zaman kerajaan memang sulit untuk mendapatkan kebebasan dan hak-hak mereka.
Namun, Kartini memiliki pemikiran dan cita-cita yang luar biasa, di mana Kartini ingin membebaskan kaum wanita agar memiliki kebebasannya sendiri. Kartini mengambil langkah awal dengan membaca sebuah karya dari negara Belanda mengenai kebebasan wanita di negeri tersebut, lalu Kartini mengajarkan huruf kepada kaum wanita yang di mana pada masa itu kaum wanita yang tidak termasuk ke dalam ningrat tidak dapat membaca (buta huruf).
Selain itu Kartini juga ingin mengubah tradisi pingitan. Tradisi pingitan merupakan sebuah tradisi di mana anak raja dikurung dan tidak dapat pergi kemana-mana, namun Kartini ingin mengajarkan kepada kedua saudarinya walaupun Kartini dipingit, Kartini tetap dapat menghasilkan sebuah karya.
Kartini bahkan tidak ingin menikah, karena pada saat itu pernikahan dianggap sebagai objek seksual pria, pada saat itu pula pria boleh menikah dan bebas memiliki banyak istri.Â
Dalam suatu adegan, Kartini berencana untuk mendapatkan pendidikan ke Negeri Belanda, namun ditentang oleh keluarganya (kecuali ayahnya), karena pada saat itu Kartini dianggap telah melanggar tradisi di mana seharusnya wanita tidak boleh menempuh penididikan yang terlalu tinggi. Dalam adegan ini terlihat bahwa wanita sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan hak atas pendidikan
Adegan lainnya yang menunjukkan gebrakan feminisme adalah adegan saat Kartini dinikahkan. Kartini meminta syarat agar Kartini tidak mencuci kaki dari Raden Mas Joyoadiningrat, yang pada saat itu wanita wajib untuk mencucikan kaki calon suaminya.Â
Selain itu Kartini juga mengharuskan agar calon suaminya mendirikan sekolah bagi wanita dan orang miskin, serta menaikan derajat ibunya yang dijadikan pembantu agar tidak tinggal di rumah belakang tetapi pindah ke rumah depan dan tidak memanggil dengan sebutan Yu Ngasirah tetapi Mas Ajeng Ngasirah. Raden Mas Joyoadiningratpun akhirnya menyetujui hal tersebut.
Walaupun Kartini harus meninggalkan impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda, namun Kartini berhasil mendirikan sekolah bagi wanita dan orang miskin. Hal ini membuktikan bahwa Kartini memiliki tekad yang besar dan kuat untuk merubah nasib wanita.
Film ini sangat menarik dan memberikan gambaran bagaimana terkekangnya perempuan pada saat itu, namun Kartini merasa bahwa harus ada orang yang mengubah keterkengan itu menjadi kebebasan
"Tubuh bisa hancur terkubur di dalam tanah atau habis terbakar oleh kayu bakar. Ananging pikiranmu ni tidak ada batas waktunya, jangan biarkan pikiranmu terpenjara"- Kartini