Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akankah Kesenjangan Pendidikan Dasar Mendapat Perhatian Serius?

13 Mei 2018   08:56 Diperbarui: 13 Mei 2018   09:18 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kontributor Kompas TV, Raja Umar)

Topik Kompasiana minggu lalu mengenai kesenjangan dalam dunia pendidikan merupakan hal yang menggelitik sehingga saya tertarik untuk urun rembuk. Sebagai latar belakang, saya adalah salah satu dari sekian ribu orang yang secara sukarela duduk di dewan pimpinan sekolah. Di setiap sekolah di Inggris, tim eksekutif yang terdiri dari guru dan kepala sekolah selalu didampingi oleh dewan pimpinan yang diambil dari tenaga sukarela Anggota tenaga pimpinan sukarela bekerja di waktu luang di sore/malam hari tanpa diupah. 

Hubungan kedua tim ini memang mirip dengan eksekutif dan legislatif di pemerintahan. Kebetulan saya sudah lama duduk sebagai ketua tim finansial dan anggota tim kurikulum dari dewan pimpinan sekolah dasar lokal.

Perdebatan seputar tes masuk untuk membuat sebuah sekolah memilih bibit unggul dan meninggalkan anak yang kurang mampu memang sudah berlangsung lama dan hingga saat ini tidak ada pemecahannya. Di satu pihak, kebijakan pendidikan Nasional Indonesia dan Inggris adalah untuk mencerdaskan generasi muda, tanpa memandang bulu.

Namun di lain pihak haruslah diakui bahwa sumber daya negara sekalipun terbatas, sehingga menghasilkan  pemikiran untuk memfokuskan sumberdaya yang ada ke sekelompok anak yang berpotensi saja. Maka munculah praktek seleksi. Di Inggris, ujian yang dikenal dengan nama 11+ pernah menjadi kunci proses untuk seleksi ini. Saat itu anak kelas 6 SD (usianya 11 - 12 tahun) harus melakukan ujian ini untuk menentukan apakah ia cukup pandai untuk masuk ke Grammar School yang akan berujung di pendidikan universitas atau sekedar masuk ke sekolah kejuruan. 

Sejalan dengan pemikiran untuk menutup kesenjangan maka ujian 11+ sudah lama tidak diwajibkan, demikian pula banyak Grammar School yang saat ini sudah diubah menjadi sekolah menengah umum.

Apakah kita setuju dengan sistem seleksi atau tidak, pertanyaan pertama yang muncul adalah kapankah anak dapat dianggap untuk cukup dewasa sehingga potensinya akademisnya dapat dinilai? Tulisan ini tidak bermaksud mendidkuiskan keuntungan dan kerugian sistem seleksi.

Penilaian pra SD (umur 5-6 tahun) jelaslah terlalu awal. Sayangnya praktek ujian pra SD sangat subur di Cina, bahkan Indonesia 12 tahun yang lalu dan tentu saja makin marak saat ini. Awal 2000-an keponakan saya harus menjalani tes hanya sekedar untuk dapat masuk ke sebuah SD negeri favorit di Surabaya. Terus terang anak saya tidak akan lulus tes tersebut apabila ia ingin bersekolah di SD tersebut karena sewaktu masuk sekolah belum bisa menulis / membaca bahkan kurang lancar berbicara. 

Di tahun pertama seorang tenaga pengajar di kelasnya harus bekerja sama dengan seorang ahli bahasa anak untuk memberi latihan khusus berbicara. Saat ini anak itu sudah duduk di kelas 4 dan tidak saja mampu membaca/menulis aksara latin namun juga notasi musik balok (cukup untuk memainkan lagu Fur Elise yang disederhanakan di piano). Singkatnya penilaian di usia 5-6 tahun akan sulit untuk menangkap potensi anak.

Dalam banyak hal penilaian di akhir jenjang SD, sebagaimana ujian 11+, cukup masuk akal. Mengapa ? Karena pada saat ini si anak sudah menjalani setidaknya 5 tahun pendidikan formal. Di Inggris si anak sudah menjalani kelas 0 hingga 6. Terlepas dari permasalahan apakan kemampuan anak tersebut sudah dewasa pada jenjang ini, yang tidak dapat dipungkiri adalah pendidikan di jenjang SD memegang kunci yang sangat penting. Singkatnya kalau kita memang serius untuk memberantas kesenjangan, maka hal ini harus dilakukan di jenjang SD.

***

Kesenjangan tentu saja mencakup hal yang luas, bukan hanya kemampuan akademis anak. Bahkan isyu yang paling utama tentunya adalah ekonomi. Dalam hal ini UUD jelas mengatakan negara memiliki kewajiab untuk mendidik anak, terutama mereka yang memiliki hambatan ekonomi. Layak untuk disebut di sini, Kanon 803 Gereja Katolik dan ensiklik turunuan konsili Vatikan II yang dikenal dengan nama "Gravissimum Educationis" juga mengupas permasalahan serupa: pendidikan bagi semua anak untuk mengatasi semua kesenjangan yang ada. 

Artinya dalam konteks Indonesia sekolah swasta keagamaan yang berbasis Katolik, harus menghindari semua tindakan yang melanggengkan kesenjangan di sektor pendidikan.Saya yakin pemikiran keadilan sosial ada di semua agama sehingg pemikiran ini sifatnya cukup universal.

Konsekuensinya adalah kebijakan pendidikan nasional yang mapan haruslah dibangun dengan pendidkan dasar sebagai pondasi utama. Tidak mengherankan apabila Ki Hajar Dewantara memulai gerakan pendidikannya melalui Taman Siswa (Bukan Tama Madya ataupun Taman Dewasa) Pengalaman pribadi saya ketika masih menjadi dosen adalah setiap mahasiswa harus memiliki basis pendidkan dasar yang kuat sebelum dapat meresap ilmu di perguruan tinggi secara efisien. Untuk menguasai pendidikan dasar sang anak haruslah mengusai pendidikan dasar. 

Melihat kenyataan yang ada di Indonesia seputar ujian nasional untuk SMP dan SMA, yang terlihat sangat jelas adalah sektor pendidikan dasar Indonesia yang masih cukup rapuh. Apabila guru SD mengakui bahwa ujian seleksi membaca harus dilakukan agar mereka dapat memenuhi target kurikulam nasional untuk kelas 1 dan 2, maka hal ini menunjukan rapuhnya kurikulum SD.

Sebenarnya mengajar anak untuk dapat membaca dalam 1 tahun bukanlah hal yang mustahil. Sistem di Indonesia saat ini (Apalagi yang memakai ujian masuk SD) sebenarnya mengandalkan sumbder daya orang tua. Masalahnya tidak semua orang tua, terutama mereka yang berprofesi buruh tidak akan mempunyai sumber daya ini. Maka jawabanya adalah sekolah harus menyalurkan sumber daya uang dan tenaga pengajar di sektor pendidkan awal jenjang SD (kelas 1, 2, bahkan 0). Dalam semua rapat finansial yang saya pimpin, sember daya tenaga pengajar memang selalu mendapat priorias utama. 

Di SD tersebut sudah sejak lama (bahakan jauh sebelum saya pindah menjadi penduduk lokal) ruang kelas 0 adalah yang paling besar di sekolah tersebut. Sejalan dengan peraturanpemerintah Inggris, guru kelas 0 hanya diperbolehkan untuk memiliki siswa maksimum 30 anak. Sang guru akan memiliki satu orang asisten tetap dan seorang asisten tambahan yang di pakai dalam pelajaran membaca dan menulis. 

Dalam prakteknya seringkali anggota masyarakat -- pensiunan guru atau orang tua murid -- akan hadir di kelas sebaga tenaga tambahan sehingga bisanya terdapat seorang tim pengajar untuk tiap 5-10 anak. (Siapa bilang di negara barat tidak ada gotong royong ?) Untuk anak dengan kebutuhan khusus, seperti ketika anak saya belum lancar berbicara, dibuatkan waktu khusus untuk interaksi 1 lawan 1.

Apabila pemerintah Indonesia memang sudah menganagarkan 20% APBN untuk pendidikan nasional, yang menjadi pertanyaan adalah sebarapa banyak dana tersebut dipakai untuk mengatasi  permsalahan kesenjangan di awal, sebelum persoalan tersebut menumpuk. Tidak ada gunanya menjalankan ujian HOTS apabila anak yang diuji memang tidak penah diberdayakan. Sejalan dengan menguatnya pendidikan dasar di masa depan, maka fokus anggaran pendidikan bisa diarahkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun kita tidak sepatutnya menyerahkan semunya ke pemerintah. Tanggung jawab pendidikan yang utama ada di orang tua. Semua orang yua yang berdomisili di satu lingkungan akan membentuk masyarakat. Masyarakat inilah yang memikul tamggumg jawab sekunder. Pemerintah dan sekolah sebenarnya menudukui posisi tersier. Marilah kita bertanya apak yang dapat saya lakukan ?

Secara pribadi saya berterima kasih dengan masyarakat sekolah dan sekitar yang sudah membantu pendidikan anak saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun