Judul yang saya buat mungkin agak sedikit tendensius. Tapi, melihat sudah ratusan petugas menjadi korban, tidak bisa dipungkiri kalau Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 memang kacau. Keinginan untuk menghemat anggaran dengan merapel Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) justru harus dibayar dengan jatuhnya korban jiwa. Kompensasi terhadap korban pun terhambat birokrasi karena peraturan KPU tidak memiliki pasal untuk mengantisipasi hal ini.
Melihat hal tersebut, patutlah kita berfikir kembali:Â
Haruskah Pemilu serentak kembali dilaksanakan di periode berikutnya?
Sebelum memikirkan jauh lima tahun ke depan, mari kita lihat apa yang sudah terjadi pertengahan bulan ini.
Pemilu 2019 menggabungkan Pileg dan Pilpres dalam satu waktu. Alhasil, pemilih mendapatkan lima surat suara (capres-cawapres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupate/Kota) yang harus dicoblos. Petugas KPPS pun harus menghitung lima-kali-jumlah-pemilih surat suara. Penghitungan yang wajib dilaksanakan setelah pemilihan tanpa jeda membuat petugas KPPS bekerja sampai larut malam.
Resiko kerja lembur yang tidak diperhitungkan KPU ini mengakibatkan banyak petugas kelelahan dan sebagian meninggal dunia. Di tingkatan lebih tinggi, beban kerja yang diterima juga lebih besar. Di tingkat kecamatn (PPK), misalnya, jumlah TPS yang lebih banyak dari sebelumnya (karena jumlah maksimum DPT setiap TPS dikurangi) membuat proses rekapitulasi menjadi lebih lambat.Â
Di tingkat kabupaten/kota, petugas input data ke Sistem Penghitungan (SITUNG) KPU jamak melakukan kesalahan sehingga muncul tuduhan kecurangan dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas, penyebab kacaunya Pemilu tahun ini adalah beban kerja yang terlalu berat untuk para petugas. Beban tersebut muncul karena penggabungan lima pemilihan dalam satu waktu. Untuk mengurai masalah tersebut, setidaknya ada empat opsi yang ditawarkan oleh @revolutia di akun Twitter-nya:
Opsi 1: e-voting
E-voting memang menjadi solusi paling menarik dan paling efisien untuk mengatasi masalah Pemilu di Indonesia. Petugas KPPS tidak perlu capek-capek menuliskan dan menyebarkan undangan memilih karena KTP elektronik berfungsi sebagai kartu pemilih. Ketika memilih, data di KTP kita direkam dan tidak bisa memilih lagi di Pemilu itu.
Saat memilih, pemilih tidak perlu repot-repot membuka dan melipat kembali kertas suara karena pemilih hanya perlu menekan tombol di layar gawai yang tersedia. Sistem ini juga lebih ramah disabilitas, terutama tuna netra, karena gawai bisa dihubungkan dengan perangkat suara untuk memandu pemilih tuna netra.