Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Bagaimana Seorang Caleg Ditetapkan Sebagai Anggota DPR?

26 November 2018   16:54 Diperbarui: 28 November 2018   01:10 5677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah dua bulan lebih kampanye untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dilaksanakan. Setiap kontestan dari lima pemilihan (Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten) telah mengerahkan segala upaya untuk menarik hati masyarakat agar mencoblos nama mereka di surat suara 17 April kelak.

Masyarakat pun sudah mulai dicekoki berbagai materi kampanye. Bangun tidur, buka HP, muncul postingan kampanye capres. Bersiap beraktifitas pagi, menyalakan TV, tayang berita tentang Pemilu. Keluar rumah, di sepanjang jalan menuju kantor bertebaran spanduk kampanye setiap calon yang mengharap suara anda.

Dari bermacam wajah dalam materi kampanye yang kita terima, kebanyakan adalah muka-muka baru yang jarang (atau mungkin belum pernah) kita lihat sebelumnya. Jika muka kedua calon presiden dan wakil presiden sudah kita kenal baik, muka-muka para calon yang memperkenalkan diri sebagai calon legislatif DPR/DPRD memang masih sangat asing.

Bisa dibilang usaha para calon legislator ini mungkin lebih berat daripada usaha para capres karena saingan mereka lebih buaaaanyak. Ambil contoh para caleg DPR RI yang bertarung di daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat I (dapil saya). Di sana terdapat 102 caleg dari 16 parpol yang memperebutkan tujuh kursi DPR RI.

Tapi pernahkah kita bertanya: Bagaimana para legislator ini ditetapkan?

Tentu saja kita sudah akrab dengan penentuan pemenang pilpres: salah satu calon harus mengantongi lebih dari 50% suara nasional dengan minimal 20% suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Singkatnya, pilihan mayoritas.

Maka, karena pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan calon, hampir pasti pemenang pilpres dapat ditentukan dalam satu putaran. Bahkan, dengan  quick count, pemenangnya sudah bisa diterawang sebelum KPU mengumumkan hasil resmi.

Untuk para caleg, penetapan anggota pemenang pemilu tidak semudah itu.

Pada hari pemilihan, kita hanya melihat hasil hitung cepat untuk pasangan capres-cawapres dan perolehan suara nasional untuk parpol. Jarang sekali yang memberitakan tentang calon A yang terpilih menjadi legislator atau calon B yang terpilih menjadi senator menurut quick count.

Hari pemilihan di Indonesia memang tidak seperti di Amerika Serikat yang mana, bagi yang mengikuti kabar 2018 mid-term election kemarin, hasilnya dapat langsung diketahui. Selain karena pemilihan di sana sudah berbasis elektronik, juga karena setiap dapil hanya menghasilkan satu pemenang.

Pemilih melihat nama calon legislatif pada Pemilu 2014 lalu. (Sumber: commons.wikimedia.org)
Pemilih melihat nama calon legislatif pada Pemilu 2014 lalu. (Sumber: commons.wikimedia.org)
Di Indonesia, banyak hal yang berbeda. Pasal 186 undang-undang nomor 7 tahun 2017 yang mengatur tentang pemilu menyatakan penambahan jumlah kursi DPR RI dari 560 menjadi 575. 

Pasal berikutnya juga menjelaskan secara umum tentang pembagian dapil yang diatur lebih lanjut dalam lampiran UU. Singkatnya, pemilu kali ini terdiri dari 80 dapil dengan minimal 3 legislator terpilih (maksimal 10) dari setiap dapilnya.

Parpol, seperti tercantum di pasal 244, berhak mencalonkan legislator di sebuah dapil paling banyak sejumlah kursi yang diperebutkan. Dalam kasus dapil Jabar I, dengan 7 kursi DPR yang dikonteskan, 11 dari 16 parpol mencalonkan 7 orang. Oleh karena itu, dalam dapil yang memperebutkan banyak kursi, jumlah caleg bisa lebih dari 100 orang.

Bagaimana membagikan kursi yang sedikit ini kepada sebegitu banyak orang?

Penghitungan suara caleg di Indonesia menggunakan metode Sainte-Lague. Metode tersebut merupakan salah satu metode untuk menetapkan caleg dalam pemerintahan dengan perwakilan proporsional multi-anggota (multi-member proportional representation).

Selain metode Sainte-Lague, di tingkat DPR RI juga ditetapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4% suara nasional untuk menyederhanakan parlemen (pasal 414). 

Angka tersebut lebih tinggi dari pemilu sebelumnya yang hanya 3,5% suara nasional. Adapun di tingkat DPRD, tidak diberlakukan ambang batas sehingga semua parpol mendapat kesempatan duduk di DPRD Provinsi atau kabupaten/kota.

Maka, hasil quick count suara nasional bisa menjadi awal yang bagus bagi para caleg DPR RI yang harap-harap cemas dengan hasil pemilu. Jika parpol mereka bisa melewati angka keramat 4%, ada harapan mereka bisa melenggang ke Senayan.

Tapi...

Sumber: mastekno.com
Sumber: mastekno.com
Perjuangan parpol untuk meraih 4% suara nasional boleh berakhir, tapi perjuangan para caleg yang sesungguhnya baru dimulai di dapil mereka masing-masing.

Pembagian kursi legislator dengan metode Sainte-Lague dilakukan di setiap dapil. Pembagiannya merujuk pada pasal 415 UU no. 7 tahun 2017 yaitu sebagai berikut: suara sah PARPOL di dapil tersebut dibagi dengan bilangan pembagi ganjil (1, 3, 5, 7, dst.) kemudian diurutkan dari yang paling besar. Suara teratas berhak mendapat kursi dan kemudian posisi kedua sampai seluruh kursi terbagi habis.

Untuk memberikan ilustrasi, berikut saya sertakan sebuah contoh:

Di sebuah dapil yang memperebutkan 7 kursi parlemen, partai A mendapatkan 64 ribu suara sah, partai B 26 ribu suara dan partai C 12 ribu suara. Pembagian kursi di dapil tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Contoh perhitungan pembagian kursi. Dokumen pribadi.
Contoh perhitungan pembagian kursi. Dokumen pribadi.
Angka di setiap kolom adalah suara sah parpol dibagi dengan pembagi di baris atas. Angka yang dicetak tebal adalah 7 angka terbesar dalam tabel.

Kursi pertama diberikan kepada parpol A, kursi kedua kepada parpol B, kursi ketiga untuk calon kedua parpol A, keempat untuk calon ketiga parpol A, kelima untuk parpol C, keenam untuk calon keempat parpol A dan kursi terakhir untuk calon kedua parpol B.

Proses ini menyaring ribuan nama calon legislator menjadi 575 nama legislator DPR RI dan menjaring ribuan anggota DPRD dari puluhan ribu caleg.

Pembagian kursi untuk setiap parpol berdasarkan jumlah suara yang diterima individu caleg. Namun, peraturan pemilihan Indonesia yang membolehkan HANYA memilih parpol tanpa memilih caleg dapat merugikan beberapa caleg terutama dari partai menengah-kecil yang sering terjegal oleh caleg dari partai besar yang lolos ke parlemen walau perolehan suara individunya lebih kecil karena bantuan suara parpol.

Dari contoh Parpol A-B-C di atas, misalkan calon keempat dari parpol A hanya mendapatkan 4,000 suara sah (karena pemilih banyak yang hanya memilih parpol A saja dan calon pertama lebih populer), sedangkan calon kedua di parpol C mendapat 5,500 suara (karena parpol C lebih fokus pada ketokohan calonnya). Pada skenario ini, calon keempat parpol A akan terpilih walau suara yang didapat lebih sedikit dari calon kedua parpol C.

Fenomena di atas menyebabkan disproporsionalitas parlemen dengan hasil pemilu nasional. Mengambil contoh dari pileg 2014, Partai Hanura yang mendapatkan 5,26% suara nasional hanya mampu menduduki 16 kursi parlemen (2,86% total kursi). Sebaliknya, partai besar seperti PDI-P dan Golkar justru mendapat jatah kursi lebih besar dari perolehan suara nasional sebesar 0,51% dan 1,50% secara berurutan. Selain itu, karena diterapkannya ambang batas parlemen, 2,37% suara nasional pemilih PBB dan PKPI tidak terwakilkan di DPR RI.

Menurut saya, ada beberapa masalah dari sistem pencalonan dan pemilhan di Indonesia ini yang mungkin butuh satu tulisan khusus tentangnya.

Pada akhirnya, di pemilu mendatang kita memilih SIAPA yang akan menggaungkan suara kita di parlemen untuk berbagai tingkatnya. Memilih adalah hak setiap warga negara, namun berpikir jernih untuk memilih calon yang tepat adalah kewajiban setiap pemilih. 

Jadi, jangan hanya terpaku pada gaduhnya pilpres. Coba sempatkan waktu untuk melihat daftar caleg di dapil anda. Masih banyak waktu untuk mempelajari rekam jejak dan prestasi setiap calon.

Selamat memilih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun